Mafia dan Politisasi Anggaran
KOALISI Anticalo Anggaran mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut indikasi praktik calo anggaran di DPR RI (www.suaramerdeka.com, 28/06/11). Koalisi yang terdiri atas Indonesia Bugdet Center (IBC), Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Jakarta, YLBHI, GPSP, dan Aliansi Pembayar Pajak itu menyampaikan beberapa dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam penganggaran di DPR, khususnya dalam kasus alokasi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID).
Tahun 2011, pemerintah menggelontorkan dana DPID Rp 7.700.800.000.000. Dana itu dialokasikan ke provinsi, kabupaten, dan kota yang masih tertinggal untuk membantu mendanai kegiatan infrastruktur dan mendorong percepatan pembangunan daerah guna pelaksanaan desentralisasi fiskal. Alih-alih didistribusikan ke daerah yang berhak, yakni daerah dengan kapasitas fiskal rendah, dana itu malah dikorupsi.
Akibatnya, ada daerah tertinggal justru tak mendapatkan alokasi DPID. Sebaliknya, beberapa daerah yang cukup maju mendapat tambahan alokasi.
Kasus alokasi DPID hanya salah satu contoh. Di negeri ini, praktik mafia anggaran hampir dalam setiap kebijakan, alokasi, dan program pembangunan. Di sisi lain, sistem peganggaran masih sangat lemah dalam setiap proses. Dalam sistem perekonomian, entah itu kapitalis atau sosialis, pemerintah senantiasa punya peranan penting. Peran pemerintah itu dalam ekonomi modern meliputi fungsi alokasi, distribusi, dan stabilitas. Pertama, fungsi alokasi; pada dasarnya sumber daya dan anggaran suatu negara terbatas. Jadi pemerintah harus menentukan seberapa besar sumber daya yang dimiliki digunakan untuk memproduksi barang publik. Untuk kesejahteraan rakyat, pemerintah harus menentukan seberapa besar yang disediakan pemerintah dan yang disediakan swasta.
Kedua, fungsi distribusi; pemerintah harus membuat kebijakan agar alokasi sumber daya efisien dan merata. Agar kekayaan terdistribusi dengan baik di masyarakat dilakukan melalui kebijakan perpajakan, subsidi, pengentasan kaum miskin, transfer penghasilan dari daerah kaya ke daerah miskin, bantuan pendidikan, bantuan kesehatan, dan lain-lain. Ketiga, fungsi stabilitas; pada pemerintahan modern saat ini hampir semua negara menyerahkan roda perekonomian ke sektor swasta atau pemerintah. Pemerintah harus menjaga stabilitas agar perekonomian berjalan normal.
Korupsi Politik
Dalam fungsi ini, pemerintah harus menguatkan posisi agar perekonomian tidak didominasi swasta.
Sebenarnya terjemahan dari ketiga fungsi itu sudah dilaksanakan dalam APBN. Beberapa regulasi juga diadopsi dengan mengatur keuangan negara, seperti UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Dana Pusat dan Daerah. Namun dalam pelaksanaan fungsi perekonomian, pemerintah sering tidak adil dalam alokasi dan distribusi.
Lihat saja, baru-baru ini, warga dan Pemprov Kalimantan Timur (Kaltim) mempersiapkan pengajuan uji materi UU Nomor 33 Tahun 2004 karena selama ini merasa diperlakukan tidak adil oleh pusat. Contohnya, PDRB Kaltim 2010 Rp 320 triliun, tetapi dana yang kembali ke daerah tak lebih dari 10 persen. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) juga mengajukan uji materi berkait dengan salah fungsi pemerintah dalam UU APBN 2011.
Permasalahan lain adalah penegakan hukum. Setiap pelanggaran berupa penyalahgunaan kekuasaan dalam anggaran belum bisa dijerat oleh peraturan hukum. Bahkan dalam UU Tipikor belum ada satu pasal pun yang bisa menjerat mafia anggaran atau korupsi politik. Tindakan yang bisa mencegah hanya bersifat jangka pendek, yakni menemukan suap dalam setiap proses dengan wewenang KPK untuk menangkap tangan.
Praktik mafia anggaran tak dibiarkan terus-menerus karena berdampak negatif terhadap pembangunan, menumbuhkan korupsi, suap, dan penyalahgunaan wewenang yang hanya menguntungkan elite politik serta menyebabkan kesukaran dalam perencanaan dan upaya pembangunan. Sebab, angka statistik dan anggaran bias, tidak menyentuh sektor riil atau kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Melihat dugaan praktik mafia anggaran yang menggurita, perlu revolusi sistem anggaran yang signifikan. Rencana KPK memasukkan korupsi politik, seperti kasus mafia anggaran dan politisasi anggaran, ke dalam UU Tipikor perlu didukung. Dengan tujuan, kejahatan anggaran berupa penyalahgunaan wewenang politikus dapat dijerat hukum. (10)
Apung Widadi, anggota Badan Pekerja ICW Divisi Korupsi Politik
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 12 Juli 2011