Mafia Hukum Terbukti Ada
Mahkamah Agung Langsung Berhentikan Hakim yang Terima Suap
Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Ibrahim, yang tengah menerima suap dari pengacara Adner Sirait di Jalan Mardani Raya, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa (30/3). Dari tangan Ibrahim, disita uang Rp 300 juta.
Penangkapan pengacara dan hakim itu, menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto, membuktikan mafia hukum itu memang ada. Mafia kasus itu ada di pengacara, institusi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
”Keduanya ditetapkan sebagai tersangka. Suap itu dimaksudkan agar kasus yang ditangani pengacara itu dimenangkan hakim,” papar Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa.
Bibit menambahkan, penyuapan itu diduga terkait kasus kepemilikan tanah yang ditangani Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta, tetapi ia tak merinci kasus itu.
Berdasarkan data dari Mahkamah Agung (MA), kasus yang sedang ditangani Ibrahim terkait sengketa tanah yang melibatkan PT SG. Kasus itu ditangani majelis banding PT TUN Jakarta.
Pasca-penangkapan Ibrahim, MA menggelar rapat pimpinan mendadak. Ibrahim diberhentikan sementara dari jabatan hakim tinggi sejak Selasa kemarin.
”Pimpinan MA memerintahkan kepada Direktur Jenderal Peradilan Militer dan TUN untuk membuat surat keputusan pemberhentian sementara. Mengapa diberhentikan sementara? Karena kasus ini masih terus berproses,” tutur Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi, Selasa.
Nurhadi menambahkan, keputusan pemberhentian sementara atas Ibrahim menunjukkan MA memang serius dalam menindak hakim-hakim yang bermasalah.
Terus dikembangkan
Johan menyebutkan, Ibrahim sebagai tersangka dijerat dengan Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adner dijerat dengan Pasal 6 Ayat (1) UU Antikorupsi.
Menurut Bibit, KPK akan mengembangkan kasus ini lebih jauh. KPK juga akan melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi. ”Tempatnya tidak bisa disampaikan. Yang jelas tempat yang dicurigai ada barang bukti,” katanya.
Harry Ponto, penasihat hukum Ibrahim, menyebutkan, kliennya sampai Selasa malam belum diperiksa KPK karena masih dirawat di sebuah rumah sakit di Jatinegara, Jakarta Timur. ”Hari Selasa, saat penangkapan, Pak Ibrahim memang harus menjalani cuci darah. Ia melakukan cuci darah dua kali seminggu,” tuturnya.
Harry mengakui, ia belum bertemu kliennya. KPK melarangnya bertemu Ibrahim. ”Dari keluarganya, saya tahu Pak Ibrahim tak tahu kalau sedang diikuti KPK,” katanya.
Kronologi penangkapan
Johan mengatakan, kedua tersangka dipantau sejak sepekan terakhir setelah KPK mendapat informasi akan adanya transaksi di antaranya keduanya. Selasa sekitar pukul 9.00, keduanya bertemu di PT TUN Jakarta.
Mereka lalu bergerak ke Cempaka Putih Barat dengan mobil masing-masing. Adner menyetir sendiri mobilnya Honda Jazz. Ibrahim naik Toyota Kijang Innova yang dikendarai sopirnya.
Ibrahim sempat mengganti sopir. Pukul 10.30, di Jalan Mardani Raya, kedua mobil berhenti. Ibrahim dan Adner turun. Ia langsung menyerahkan kantong plastik hitam ke Ibrahim dan bergegas ke mobil masing-masing.
Saat kedua mobil hendak bergerak, mobil KPK menghalangi jalan. Penyidik KPK langsung menyergap keduanya. Dari tangan Ibrahim, KPK menyita barang bukti berupa tas plastik berisi uang Rp 300 juta dalam pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000. Sebagian uang itu kumal.
KPK menyita telepon genggam milik kedua tersangka. ”Tidak ada perlawanan dalam penangkapan itu. Mereka hanya kaget saja,” ujar Johan. Setelah ditangkap, keduanya langsung dibawa ke Kantor KPK untuk menjalani pemeriksaan.
Namun, pukul 14.00, Ibrahim dibawa ke rumah sakit untuk cuci darah. Ia mengeluh sakit. (AIK/ANA/TRA)
Sumber: Kompas, 31 Maret 2010