Mafia Peradilan
Kasus suap yang menyelimuti Mahkamah Agung (MA) menjadi bukti runtuhnya puncak gunung peradilan di Tanah Air. Apalagi menyeret nama besar seperti Ketua MA Bagir Manan dan dua hakim agung, Parman Suparman dan Usman Karim. Memang belum ada bukti keterlibatan mereka.
Tetapi, ada pengakuan pengusaha Probosutedjo bahwa ia telah mengeluarkan uang sebesar Rp16 miliar. Uang itu digelontorkan untuk mengurus kasusnya di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga MA. Kasus ini membuka cakrawala bahwa jual beli perkara bukan omong kosong, tapi sudah menjadi tradisi. Tujuan utamanya jelas, memengaruhi keputusan hakim. Terkuaknya kasus mafia peradilan menjadi topik sajian kami. Pembaca bisa menyimaknya di halaman 13 dan 14.
KETIKA kasus suap di Mahkamah Agung (MA) meledak, sejumlah pegawai MA kaget. Kekagetan itu bukan karena kejadian tersebut telah melukai hukum, melainkan karena para pegawai yang tertangkap bukanlah satu 'klan'. Apa maksudnya?
Mereka terpisah. Bukan satu kelompok yang biasa beroperasi bersama-sama, ungkap seorang pegawai MA.
Bila ditelisik, kalimat itu menyelipkan pesan, operasi sejumlah pihak untuk mengutak-atik perkara itu ada di MA. Pegawai itu membenarkan. Dan praktik itu telah sedemikian lestari. Kasus suap yang baru saja diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cuma sebutir pasir di antara jubelan praktik sejenis. Celakanya, tidak hanya di MA, operasi itu pun bergemuruh di pengadilan negeri dan tinggi.
Orang menyebut secara gampang, mafia peradilan telah menggurita di mana-mana. Daniel Kaufmann dalam laporan Bureaucratic and Judiciary Bribery 1998, mengukuhkan Indonesia sebagai juara dalam hal korupsi (penyelewengan kekuasaan) peradilan, dibandingkan negara-negara seperti Ukraina, Venezuela, Rusia, Kolombia, dan Mesir.
Contoh hangat, perjalanan kasus korupsi dana reboisasi di Kalimantan Selatan sebesar Rp100,9 miliar dengan terdakwa konglomerat Probosutedjo. Belakangan, kasus ini membesar karena ocehan Harini R Wijoso, yang mengaku pengacara Probo dalam kasus itu, dan lima pegawai MA. Mereka 'bermufakat' untuk memuluskan perkara itu di tingkat kasasi.
Alhasil, menyuap hakim agung adalah pilihannya. Uang sebesar US$400 ribu dan Rp800 juta disita KPK sebagai barang bukti. Dari pengakuan para tersangka, tergambar betapa operasi mencederai hukum dengan senjata uang itu tampak benar.
Pono Waluyo adalah pihak yang paling disorot. Pengakuan Harini, Pono tak sungkan meminta uang Rp5 miliar kepada Probo dengan janji putusan bebas kasasi perkara Nomor 682/K/Pid/2004. Uang itu rencananya akan diberikan kepada Bagir Manan, Ketua MA yang juga Ketua majelis hakim kasasi perkara itu.
Tapi hal itu belum terbukti benar. Faktanya, justru bantah-bantahan yang terjadi. Di balik itu, nyata benar kantor MA sudah menjadi tempat di mana para pegawai-pegawainya bebas berkeliaran mencari mangsa.
Lihat pula Harini, yang mengaku sempat bertemu Bagir pada pertengahan September, dan 'melobi' perkara. Pun, situasi itu diwarnai dengan lalu lintas uang yang jumlahnya besar. Adanya permufakatan jahat menggores nadi hukum, makin pedih ketika Probo buka mulut.
Juli 2005, ia mengaku melapor ke KPK karena kesal ia seolah menjadi anjungan tunai mandiri (ATM) orang MA. Banyak orang MA yang menawari saya putusan bebas, akunya. Bahkan, adik mantan Presiden Soeharto itu menuturkan, tak hanya saat kasasi, di tingkat pertama dan banding ia sudah habis uang Rp10 miliar lebih! Kepada siapa saja uang itu menggelontor, belum terungkap penuh.
Kasus suap di atas bukan yang pertama terjadi di MA. Pada 2000 sempat buat heboh, nama Endin Wahyudin, pengacara ahli waris Aksan Bin R Saleh dalam perkara sengketa tanah seluas 17.140 meter persegi. Nomor perkara kasasinya 560/Pdt/K/1997.
Endin mengatakan pernah menyerahkan uang Rp196 juta kepada majelis hakim yang menangani perkara itu. Ia pun sempat mengadu ke Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dipimpin Adi Andojo. Alih-alih kasus penerimaan uang itu yang terkuak, justru Endin ketiban pulung.
Hakim agung Marnis Kahar dan Supraptini Suprapto menyerang balik, mengadukan Endin dan Adi ke Mabes Polri atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik. Pada 24 Oktober 2001, majelis hakim PN Jakarta Pusat memvonis Endin tiga bulan penjara, percobaan enam bulan penjara, karena terbukti memfitnah dan mencemarkan nama baik.
Sedangkan penerimaan uang itu sendiri tak disentuh sama sekali.
Cerita berikutnya bahkan lebih pedih. Dua hakim agung itu juga melakukan upaya lain, salah satunya judicial review PP Nomor 19/2000 tentang pembentukan TGPTPK. Majelis hakim MA yang menjadi ketua adalah Paulus Effendi Lotulung dengan anggota hakim Iskandar Kamil dan Arbijoto.
Mereka memutuskan PP Nomor 19/2000 tidak sah dan harus dibatalkan. Paulus adalah juga kuasa hukum Marnis dan Supraptini dalam kasus fitnah. Alhasil, TGPTPK bubar karena dasar hukumnya digoyang.
Selain di MA, suap juga tampak di pengadilan pertama atau banding. Yang sempat ramai adalah suap Rp250 juta oleh pengacara Abdullah Puteh, yang terlibat kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 Rostov Rusia, kepada panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Ramadhan Rizal dan M Soleh.
Kejadiannya 15 Juni 2005 dan saat ini sedang dalam proses pengadilan tingkat pertama. Yang terungkap, betapa mudahnya pengacara bertemu panitera, masuk ke kantornya, berjanji menyerahkan uang tunai kepada panitera. Tujuannya, seperti diakui oleh para terdakwa, untuk memuluskan putusan banding Puteh.
Miris. Begitulah orang mencibir kisah-kisah di atas. Praktik memperjualbelikan perkara, menyuap hakim, menjual putusan palsu, dan sejenisnya adalah bagian dari mafia peradilan. Putusan pun bisa diatur sesuai pesanan, kata Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas suatu kali.
Kendati demikian, hakim agung Artidjo Alkostar menilai istilah mafia adalah terlampau dipaksakan dan menyederhanakan. Tapi soal lemahnya penegakan hukum di Indonesia, Artidjo membenarkan. Hal itu tercermin pada loyonya sistem hukum, yang mencakup struktur hukum, budaya hukum, dan substansi hukum. Pun penegak hukum kita, mentalnya rapuh.
Mafia peradilan memang telah menjadi momok bagi para pencari keadilan. Ketidakseriusan untuk memberantasnya tercermin pula dalam miskinnya keinginan pemerintah untuk melenyapkan pelaku mafia peradilan sembari serius membenahi bangunan hukum secara keseluruhan (sistem dan aparatnya).
Untuk tak menyebut bobrok, bangunan kehidupan hukum dan keadilan di Indonesia memang di ambang kiamat. Jika tak cepat diselamatkan, bukan mustahil takkan ada lagi keadilan di negeri ini. Sejauh ini usaha memerangi mafia peradilan itu sudah ada, lewat pengusutan suap di MA, misalnya. Tapi itu bisa menjadi tak berguna jika cerita selanjutnya justru melindungi mafia yang sebenarnya. (Agustinus EK/Henri Siagian/Desi Mulyati/P-2).
Media Indonesia, 17 Oktober 2005