Mahaduka Rekonstruksi Aceh-Nias
Apakah parodi satiris menjelang satu tahun bencana tsunami Aceh-Nias? Ratusan mobil mewah.
Lihatlah mobil mewah Ford, Pajero, dan Land Cruiser milik LSM/lembaga internasional berseliweran di tengah kota Banda Aceh, Lhok Seumawe, Meulaboh, dan lain-lain; puluhan rumah mewah milik pejabat/mantan pejabat disewa LSM asing dengan harga gila-gilaan, bahkan hingga Rp 1 miliar setahun; rangkaian seremoni pejabat daerah menyambut tamu asing dan pejabat pusat untuk kunjungan kerja atau sekadar wisata bencana.
Sementara ribuan tenda buruk nan bocor masih menjadi tempat tinggal sekitar 60.000 pengungsi. Mereka adalah bagian dari 500.000 pengungsi yang terus menuntut hak perumahan dan uang jatah hidup. Kondisi ekonomi mereka sebagian besar tak kian membaik karena banyak lembaga hanya datang menanyakan data, menyerahkan formulir, dan jarang kembali. Tak sulit mencari anak-anak buruk gizi, pendidikan, dan kesehatan.
BRR dan LSM
Paradoks-paradoks kemanusiaan bencana tsunami di Aceh dan Nias ini telah menjadi sorotan tajam di kalangan organisasi masyarakat sipil. Gaung internasional merespons bencana ini sungguh luar biasa. Janji lembaga ekonomi seperti IMF, World Bank, dan Asian Development Bank, organisasi PBB, LSM internasional, dan masyarakat dunia membantu memulihkan situasi terutama di Indonesia adalah sebuah kebanggaan.
Pemerintah menanggapi komitmen itu dengan membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias yang diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan donor, menghindari ketakutan dana dikorupsi.
Sayang, kinerja BRR sebagai superbody dengan mandat memperpendek rentang kendali pembangunan terkesan powerless. Keberadaan BRR untuk mengonsolidasikan seluruh potensi bantuan asing dan melakukan koordinasi di antara lembaga donor dan LSM internasional tidak berjalan efektif. Bahkan, rencana BRR tahun ini membangun 30.000 rumah berasal dari Multi Donors Trust Fund/MDTF dari moratorium bunga utang Indonesia seperti pucuk layu. Sebanyak 12.000 rumah terbangun murni dari LSM internasional di luar dana proyek BRR.
Persoalan muncul karena sikap ultra hati-hati BRR yang tak ingin terjebak ke arah program tanpa profesionalisme manajemen pembukuan. Indikasi korupsi yang terjadi di masa tanggap darurat akibat ketidakjelasan laporan belanja Satkorlak Bencana Alam yang mencapai Rp 400 miliar menjadi trauma khusus.
Namun, sikap lambat BRR tidak pula aman mencegah potensi korupsi. Saat ini saja Satuan Anti Korupsi (SAK) telah menemukan 22 kasus indikasi penyelewengan proyek tender BRR. Belum lagi biaya operasional dan dana rutin BRR, termasuk gaji pejabat dan karyawan yang fantastis (Rp 371 miliar) dan menghebohkan. Ini tentu dianggap korupsi karena besarnya reward tidak sebanding dengan kualitas prestasi kerja.
Serba ketakutan BRR turut memengaruhi laju percepatan pembangunan. Sejak awal harus dipahami, keberadaan BRR dan lembaga donor tidak selamanya di Aceh dan Nias. Komitmen bantuan paling lama berumur empat tahun, setelah itu mereka angkat kaki, selesai atau tidak program rehabilitasi dan rekonstruksi. Ketika situasi belum memberi harapan, masyarakat akan kian terjerembab oleh ketergantungan baru yang makin berat.
Begitu juga keberadaan lembaga donor tidak sepenuhnya putih. Saat ini ada 400 LSM lokal, nasional, dan internasional yang bekerja di Aceh, namun tidak semuanya pantas dianggap penggerak perubahan dan pelaku pemulihan sosial. Kebanyakan hanya dikenal dari label kantor, tetapi tidak terlihat program lapangannya. Melalui BRR, pemerintah harus memberi deadly penalty bagi LSM yang tak mampu memberi bukti. Bagaimanapun anggaran bantuan akan habis untuk biaya operasional dan gaji pengurus yang memakai standar internasional. Masyarakat kembali menjadi korban politis atas nama bantuan kemanusiaan.
Fokus pada prioritas
Meski saat ini banyak program LSM nasional dan internasional di Aceh dan Nias seperti pelayanan dokumen kepemilikan, peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan, kesehatan, pendidikan, pemulihan ekonomi, bahkan transformasi konflik, namun yang amat penting adalah prioritas proyek perumahan.
Rumah adalah tempat seseorang dapat mengidentifikasi diri secara eksistensial terlindungi lalu mengatur perencanaan hidup secara benar. Bagi pengungsi, membangun rumah (mereka pernah memilikinya) adalah mengembalikan kepercayaan diri, menyembuhkan luka batin, dan memotivasi kerja lebih kreatif. Penyediaan rumah akan melupakan pengalaman traumatik yang pernah dimiliki. Tanpa rumah, proyek pemulihan ekonomi kurang sempurna karena seseorang merasa terus dalam kondisi darurat.
Saat ini konsentrasi kerja BRR dan LSM seharusnya diarahkan pada percepatan pembangunan perumahan. Diasumsikan, pembangunan 120.000 unit rumah dalam waktu tiga tahun. Kemungkinan, tahun ini maksimal hanya selesai 20.000 unit. Maka, di tahun 2007 komitmen bantuan harus mampu mewujudkan pembangunan 60.000 unit rumah sehingga tahun 2008 seluruh persoalan perumahan selesai.
Titik tekan perencanaan program pembangunan berbasis kecamatan harus diubah ke unit desa/kelurahan. Selain mempercepat realisasi, juga telah terbukti berhasil dilakukan oleh LSM dan lembaga internasional untuk proyek perumahan.
Teuku Kemal Fasya Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh Lhok Seumawe
Tulisan ini disalin dari Kompas, 19 November 2005