Mahal Jadi Pejabat Publik
Mahal. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan ”syarat” menjadi pejabat publik di negeri ini. Mahal tak hanya biaya yang harus dikeluarkan si calon pejabat, tetapi juga anggaran yang harus ditanggung negara. Juga tak ada jaminan pejabat yang dihasilkan proses itu kredibel dan bebas dari perilaku koruptif.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho di Jakarta, Sabtu (16/10), mengakui, pemilihan pejabat publik di negeri ini bermasalah. Biaya tinggi yang dikeluarkan tak menghasilkan pemimpin seperti yang diharapkan. Mereka terjerat persoalan hukum atau pelanggaran kode etik.
Tengoklah biaya yang harus dikeluarkan negara untuk memilih tujuh anggota Komisi Yudisial (KY) periode 2005-2010, mencapai Rp 3,6 miliar. Hasilnya, pengawasan terhadap hakim kini masih bersoal, dan seorang komisioner KY periode itu, Irawady Joenoes, pada 2007 ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap terkait pengadaan tanah untuk kantor KY.
Biaya memilih tujuh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2007-2012 mencapai Rp 5,7 miliar. Namun, Pemilu 2009 dipersoalkan kualitasnya. Tahun 2010, anggota KPU, Andi Nurpati, juga memilih menjadi pengurus Partai Demokrat, yang lalu memunculkan kecurigaan atas kemandirian KPU.
Seleksi pemimpin KPK periode 2007-2011 dan seleksi pemimpin Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan biaya Rp 2,4 miliar juga menyisakan masalah. Ketua KPK hasil seleksi saat itu, Antasari Azhar, menjadi tersangka kasus pembunuhan berencana. Dua anggota LPSK, Myra Diarsi dan Ktut Sudiharsa, dinonaktifkan karena diduga melanggar kode etik.
Biaya calon
Calon pejabat publik pun ditengarai mengeluarkan dana, atau disponsori pihak lain, agar bisa terpilih. Kasus terbaru adalah penetapan 26 anggota DPR periode 1999-2004 sebagai tersangka korupsi penerimaan cek perjalanan, terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004, yang dimenangi Miranda S Goeltom. Sebelumnya, empat anggota DPR periode 1999-2004 menjadi terpidana untuk kasus ini.
Dalam perkara ini, belum ada indikasi Miranda membiayai keterpilihannya. Namun, terungkap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, cek perjalanan senilai lebih dari Rp 23 miliar disalurkan kepada anggota DPR oleh pengusaha Nunun Nurbaeti, melalui stafnya, Ahmad Safari (Ari) Malangyudo. Miranda hanya terungkap pernah bertemu Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR sebelum pemilihan. F-PDIP mendukung Miranda. Anggota fraksi ini diduga menerima Rp 9,8 miliar, terkait kasus ini.
Namun, politisi PDI-P Panda Nababan mengakui, pertemuan dengan calon pejabat publik adalah hal biasa. Bahkan, dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR dengan KPK, Kamis pekan lalu, ia mengaku melakukan pertemuan dengan Chandra M Hamzah, yang kini menjadi Wakil Ketua KPK, di sebuah hotel, sebelum uji kelayakan dan kepatutan calon pemimpin KPK tahun 2007. Biaya pertemuan itu ditanggung pengundang.
Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengakui, mungkin saja calon pejabat publik melakukan pendekatan pada anggota DPR. ”Secara resmi tidak ada biaya yang harus dikeluarkan calon agar terpilih. Namun, pendekatan mungkin dilakukan lewat fraksi dan di luar kegiatan resmi,” katanya.
Sebagai hakim konstitusi yang dipilih DPR, Akil mengaku tidak mengeluarkan biaya sepeser pun agar terpilih. Ia juga melobi anggota DPR.
Saat menjadi anggota Komisi III DPR periode 2004-2009, Akil mengaku tidak melakukan pertemuan dengan calon pejabat publik sewaktu menyeleksi pemimpin KPK, Kepala Polri, hakim agung, KY, atau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Namun, ia tidak menampik kemungkinan ada lobi atau pertemuan yang dilakukan anggota DPR lainnya.
”Mereka yang ingin direkrut butuh dukungan DPR sehingga melakukan pendekatan. DPR itu lembaga politis, jadi tidak mungkin dinisbikan dari kepentingan politik,” kata Akil.
Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Alamsyah Saragih, yang juga terpilih melalui perekrutan di DPR, mengaku tidak melakukan lobi dan mengeluarkan uang saat mengikuti proses seleksi. ”Kemungkinan KIP itu institusi baru yang tidak dilihat strategis untuk diperebutkan,” katanya.
Tidak menjamin
Emerson mengingatkan, sebesar apa pun biaya yang dikeluarkan untuk memilih pejabat publik tidak menjamin hasil yang baik. Persoalannya tak cuma anggaran, tetapi juga di tingkat internal panitia seleksi, DPR, dan regulasi.
”Penyakit” yang sering diderita panitia seleksi, jelas Emerson, adalah kebiasaan terlalu kaku membaca aturan, misalnya terkait aturan mengumumkan kepada publik. Ketua Panitia Seleksi KY periode 2010-2015 Harkristuti Harkrisnowo mengakui, anggaran terbesar adalah untuk iklan di media massa. Dari anggaran yang diajukan sekitar Rp 6 miliar, sebanyak Rp 4,2 miliar untuk iklan di media. Ini dilakukan untuk memenuhi UU.
Namun, kata Emerson, aturan itu bisa disiasati. Pengumuman tak harus dilakukan dengan iklan di media massa, tetapi dapat memaksimalkan semua instansi pemerintah dan juga situs resmi yang dimiliki panitia seleksi.
Selain itu, panitia seleksi tidak melakukan assessment terhadap lembaga yang akan ditempati calon pejabat publik itu. Panitia tidak menemukan profil yang tepat untuk kebutuhan lembaga. Mereka hanya berpatokan pada kriteria yang ditentukan UU.
Direktur Indonesia Legal Roundtable Asep Rahmat Fajar mengatakan, pola perekrutan yang dilakukan tidak menjamin terjaringnya calon yang bebas masalah. Tes kepribadian yang diharapkan mampu mengungkap karakter dan kepribadian calon terbukti tidak mampu menguak sisi integritas calon. Integritas, katanya, hanya dapat diketahui melalui pelacakan rekam jejak. Sayangnya, panitia kurang serius menelusuri rekam jejak calon.
Emerson juga menyebutkan tentang ketidakpercayaan pada proses seleksi di DPR. Sudah menjadi rahasia umum, minimnya orang bagus (berkualitas dan berintegritas) dalam proses seleksi pejabat publik (komisi negara) antara lain proses uji kepatutan dan kelayakan di DPR yang ”menakutkan”.
”Proses di DPR bukan fit and proper test, tetapi kadang jadi fee and property. Sulit jika tidak ada lobi. Orang baik, orang kredibel, jadi tidak akan mau mengikuti proses seleksi yang berujung di DPR. DPR jadi momok,” ujar Emerson.
Namun, perekrutan pejabat publik oleh DPR, menurut Akil, memiliki kelebihan dalam hal transparansi. Hal ini mengingat sidang uji kepatutan dan kelayakan dilakukan terbuka dan diliput media massa. Di sisi lain, DPR juga membuka diri bagi masukan masyarakat atas rekam jejak calon itu. (ANA/WHY/TRA)
Sumber: Kompas, 18 Oktober 2010