Mahalnya Biaya Politik, Buruknya Pelayanan Publik
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dua minggu lalu mengungkapkan turunnya popularitas Partai Demokrat karena keterlibatan beberapa pengurus partai dan anggota DPR dari Fraksi Demokrat dalam kasus korupsi.
Kasus korupsi terakhir melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazarudin dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Keterlibatan kader parpol dalam kasus korupsi di era Reformasi ini semakin banyak.
Partai Demokrat tidak sendirian menjadi parpol yang kadernya terlibat korupsi, partai lain seperti Partai Golkar, PDIP, PKS,PAN, dan partai lain yang mempunyai kursi di parlemen tidak bebas dari kader yang terlibat korupsi.
Sekalipun sering kali keterlibatannya sudah terang benderang, kesan yang ditangkap publik terkait pengusutan keterlibatan kader parpol yang tersangkut korupsi sangat lamban. Publik kemudian menyimpulkan bahwa pemberantasan korupsi lamban karena parpol saling menyandera dalam penyelesaian kasus korupsi.
Pelayanan Publik
Sesengit apa pun parpol saling berperang dan berebut lahan korupsi, selalu saja publik yang menjadi abu.Masalah yang paling dirasakan adalah sektor pelayanan publik yang belum memuaskan. Padahal Indonesia butuh sektor pelayanan publik yang mumpuni untuk menopang kemajuan rakyatnya yang berdikari,yang masih bisa maju sekalipun para wakilnya sedang sibuk korupsi.
Sebagai sebuah negara dengan penduduk hampir 237 juta orang (BPS, 2010) dan penghasilan per kapita penduduk mencapai USD3.000, Indonesia adalah negara berkembang dengan prospek ekonomi sangat cerah. Studi yang dilakukan Bank Dunia menyebutkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia saat ini mencapai 30 juta orang.
Studi lain yang dilakukan Indonesia Forum menunjukkan bahwa pada 2025 perekonomian Indonesia tumbuh pesat dan penghasilan per kapita negara ini sama dengan negara-negara maju. Selama ini yang menjadi salah satu indikator negara berkembang dengan prospek ekonomi cerah adalah kualitas pelayanan publik yang disediakan penyelenggara negara.
Anehnya, hal inilah yang tidak terjadi di Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara dengan kualitas pelayanan publik yang buruk. Indikator yang paling mudah adalah dengan melihat fakta bahwa negara tidak mampu menyediakan jaminan kesejahteraan sosial bagi rakyat.
Pertanyaannya mengapa pemerintah tidak mampu? Apakah kondisi keuangan pemerintah tidak mampu menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional? Penulis mencoba melakukan sebuah perhitungan kasar kemampuan keuangan Pemerintah Indonesia. Sumber keuangan pertama adalah APBN yang saat ini mencapai Rp1.200 triliun.
Fakta empirik menunjukkan setiap tahun kemampuan penyelenggara negara untuk menyerap anggaran hanya 70%.Misalnya jumlah tersebut ditambah dengan angka defisit,maka sebenarnya setiap tahun masih ada sisa anggaran. Apakah sumber keuangan pemerintah hanya pajak saja?
Ternyata tidak karena sumber dana yang diperoleh dari kontrak karya migas dan pertambangan angkanya cukup besar. Penulis mempunyai data laporan keuangan dari sebuah perusahaan migas multinasional yang menyebutkan keuntungan bersih mereka dari operasional eksplorasi minyak bumi di Indonesia mencapai Rp150 triliun.
UU Migas menyebutkan perusahaan asing mitra BP Migas dalam kontrak karya eksplorasi migas mendapatkan 20% dari keuntungan bersih ditambah dengan biaya pemulihan (recovery cost). Artinya dari satu perusahaan migas besar tersebut pemerintah dalam hal ini BP Migas harusnya mendapatkan setoran sebesar Rp750 triliun atau lebih dari tiga per empat APBN.
Kita bisa membayangkan berapa penerimaan yang diterima pemerintah dari ratusan kontrak karya dalam eksplorasi pertambangan dan migas. Pertanyaannya dengan sumber penerimaan negara sebanyak itu, mengapa pemerintah tidak mampu membiayai pelayanan publik di Indonesia?
Biaya Politik Mahal
Khalayak pembaca tentu dengan mudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas karena semua disebabkan kejahatan korupsi yang mengakar di negeri ini.Reformasi tahun 1998 lalu mempunyai tujuan agar proses demokrasi politik di Indonesia berjalan dengan baik sehingga ada transparansi penyelenggaraan negara.
Namun saat ini kehidupan demokrasi di Indonesia berujung pada lingkaran setan biaya politik yang mahal. Kita bisa melihat berapa miliar rupiah yang harus dikeluarkan seorang politikus untuk menjadi anggota Dewan di tingkat pusat maupun daerah. Belum lagi miliaran rupiah yang juga harus keluar dari calon presiden, gubernur, dan wali kota/bupati untuk membiayai kampanye mereka.
Partai politik juga membutuhkan dana besar untuk menjalankan mesin politiknya. Ringkasnya, para politikus mengeluarkan “investasi” yang besar untuk mencapai kedudukan politik. Hal ini berakibat, pada saat berkuasa, mereka mencari imbal balik dari investasi yang mereka lakukan.
Imbal balik “investasi”para politikus ini adalah dana penyelenggaraan negara yang mereka selewengkan dengan berbagai cara.Beberapa bagian dana penyelenggaraan negara masuk ke kantong pribadi, tetapi banyak juga yang masuk ke kas parpol untuk dana kampanye di masa mendatang.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak parpol besar yang mempunyai kursi di parlemen mengincar beberapa departemen dan BUMN yang basah demi menjaga kelancaran sumber pendanaan politik mereka. Alhasil, anggaran dan penerimaan negara yang sedianya dipergunakan untuk membiayai pelayanan publik diselewengkan untuk melanggengkan kekuasaan.
Hal ini yang sebenarnya terjadi di balik kasus M Nazarudin, Nunun Nurbaeti, dan politisi lain yang terlibat kasus korupsi besar di negeri ini.Pertanyaan terakhir adalah apakah mereka bertindak atas nama individu dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau partai yang “menugasi” mereka mencari dana kampanye atau malah kombinasi dari keduanya? Pembaca silakan menentukan sendiri jawabannya.
ANTON A SETYAWAN Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 8 Juli 2011