Mahasiswa BSI Belajar Antikorupsi
ICW menerima kunjungan dari Universitas Bina Sarana Informatika (BSI) Bandung pada Rabu (6/3), dalam rangka pendidikan antikorupsi, agar para mahasiswa memiliki kesadaran dan semangat antikorupsi saat mereka nanti lulus, bekerja, dan terjun di tengah masyarakat.
ICW yang diwakili Sely Martini dan Illian Deta memberikan materi seputar aktivitas ICW, korupsi, serta peran anak muda dalam melawan korupsi.
“ICW melakukan riset dan investigasi, advokasi, kampanye, dan capacity building,” jelas Sely. “Hasil riset kami gunakan untuk bahan advokasi. Capacity building untuk menguatkan SDM yang bekerja dalam gerakan antikorupsi. Pelatihan ke daerah-daerah juga dilakukan, agar masyarakat bisa melakukan pengawasan mandiri.”
Sely menjelaskan mengapa ICW dan gerakan antikorupsi bisa berkembang. “Kita sangat terbantu kebebasan pers. Informasi sampai pada masyarakat, sehingga masyarakat bisa berpikir,” tukas Sely. “Ada juga institusi baru seperti KPK. Mengapa ICW mendukung KPK, salah satunya karena KPK tidak pernah membebaskan koruptor, dibanding institusi lain.” Menurut Sely, masyarakat sekarang lebih sadar tentang korupsi dan memahami alasan mengapa mereka harus mendukung KPK. Misalnya ketika gerakan “Cicak vs. Buaya”, masyarakat sangat terlibat dan mendukung gerakan itu.
Illian menjelaskan peran yang dapat dilakukan anak muda untuk melawan korupsi. “Anak muda bisa melakukan dua hal: pengawasan dan pencegahan. Kita bisa mulai mengawasi proses-proses keuangan yang terjadi di sekitar kita. Misalnya mengawasi dana kegiatan di sekolah dan kampus. Bila ada penyalahgunaan, itu harus dilaporkan.”
Anak muda juga bisa melakukan pencegahan. Salah satunya dengan ikut serta dalam kampanye antikorupsi. Anak muda bisa mengoptimalkan berbagai medium untuk mengampanyekan gerakan antikorupsi, misalnya: musik, film, media sosial, menulis, video, dan bergabung di berbagai komunitas yang melakukan gerakan antikorupsi.
Para mahasiswa menyadari bahwa mereka bisa memulai perlawanan terhadap korupsi dari diri sendiri. Mencontek dan memberikan uang pelicin, misalnya, adalah bentuk korupsi dalam hidup sehari-hari. Mahasiswa juga bertanya soal nepotisme dan pelaporan dugaan kasus korupsi. Mereka ingin tahu, apakah diam saja ketika melihat kasus korupsi dapat dipidana.
Illian menanggapi soal nepotisme yang marak terjadi. “Misalnya pejabat memberikan proyek pada familinya. Jelas itu korupsi. Secara conflict of interest itu masuk, dan kalau ada aliran dana, itu jelas melanggar. Contoh konkretnya, Bupati Kutai Kartanegara. Dia mau membuat bandara standar internasional. Untuk membuat bandara perlu pembebasan lahan. Ternyata sebelum APBD diketuk palu, anak bupati ini membeli tanah sekian ribu hektar dengan harga murah dari masyarakat, kemudian dia jual murah ke pemerintah sebagai area bandara. Ini karena dia mendapatkan informasi dari ayahnya,” jelas Illian.
Contoh lain, lanjut Illian, ada banyak. “Korupsi pengadaan Al-quran, bapaknya di DPR, anaknya di Kementerian Agama. Kongkalikong seperti itu. Atau Bahasyim, eks pegawai Ditjen Pajak yang menyimpan uang haram 25 miliar di rekening anaknya yang baru berusia 23 tahun. Dalam hal seperti ini, keluarga bisa menjadi tempat pencucian uang.”
Mahasiswa juga diajak kritis dalam menerima berita dari media, karena konglomerat media di Indonesia memiliki koneksi politik dengan beberapa pihak. “Kita harus bisa melihat, apa kepentingan para pemilik media? Maka, ketika menerima informasi, kita harus punya tiga standar yaitu benar, lengkap dan akurat,” saran Sely.
Mengetahui tindak pidana korupsi dan mendiamkannya, memiliki dua konsekuensi, yaitu secara sosial dan hukum. Mendiamkan berarti membiarkan. Jika sikap ini dimiliki banyak orang, sikap membiarkan ini menjadi bibit permisif/ pemakluman atas praktek korupsi. Pada akhirnya, tidak ada mekanisme kontrol yang kuat dari masyarakat. “Korupsi dapat terungkap juga karena ada yang berani menyuarakan. Misalnya whistle blower, atau pembocor walaupun ia bukan pelaku. Inilah peran yang harus diambil masyarakat,” kata Illian.
Konsekuensi kedua adalah secara hukum yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) No. 31 tahun 1999. Dalam UU ini, pasal 21 dan 22 mengatur soal sanksi pidana dan denda bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi, dapat dipidana. Pun bagi setiap orang yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dapat dikenai sanksi pidana dan denda.
“Banyak orang yang diam melihat kasus korupsi karena takut disingkirkan atau karena memang tidak peduli. Sebenarnya, dalam Undang-undang, melaporkan tindak pidana itu dilindungi. Sampai kini, ICW pun melindungi pelapor, demikian juga dengan KPK. Ini untuk menjaga keamanan dan keselamatan,” tutup Illian.