Mahkamah Agung Abaikan Ancaman BPK

Disclaimer menunjukkan tidak akuntabelnya laporan keuangan.

Disclaimer menunjukkan tidak akuntabelnya laporan keuangan.

Mahkamah Agung menyatakan tak gentar menghadapi ancaman Badan Pemeriksa Keuangan yang akan memberi status disclaimer terhadap laporan keuangan MA. Mau diberi pendapat atau nggak oleh BPK, terserah, kata juru bicara MA, Djoko Sarwoko, di kantornya kemarin.

Dua hari lalu BPK mengancam memberi status disclaimer terhadap Laporan Keuangan MA 2007 jika pengelolaan biaya perkara di lembaga ini tidak bisa diaudit. Disclaimer menunjukkan tidak akuntabelnya laporan keuangan.

Itulah buntut perseteruan antara kedua lembaga itu sejak September 2007. BPK ngotot berhak mengaudit biaya perkara karena semua uang yang digunakan untuk pelayanan publik harus diaudit sebagai bagian dari keuangan negara. Sebaliknya, MA menilai biaya perkara hanya uang titipan pihak yang beperkara dan akan dikembalikan bila ada kelebihan.

Djoko mengatakan pengenaan biaya perkara sudah diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Jika BPK tetap ingin memeriksa, kata Djoko, Ubah dulu undang-undangnya.

Menurut dia, solusi tercepat untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah harus mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Anwar Nasution boleh jagoan di BPK. Tapi hukum, di sini jagonya, Djoko menegaskan.

Adapun BPK menyatakan tidak ambil pusing apakah pungutan biaya perkara di MA masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). PNBP atau bukan, itu urusan pemerintah dengan MA, kata auditor utama BPK, Soekoyo, kepada Tempo kemarin.

BPK, kata dia, akan mengikuti kemauan MA. Jika masuk PNBP, otomatis dana itu masuk kas negara dan pasti diaudit BPK. Jika tidak pun, kata Soekoyo, BPK tetap akan mengauditnya. Sebab, harus masuk neraca laporan keuangan MA yang dipertanggungjawabkan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Jika tidak masuk neraca MA, itu aneh, ujarnya.

Soekoyo mencontohkan pungutan biaya perkara sebesar Rp 10 juta. Dana itu digunakan untuk biaya sidang Rp 7 juta sehingga tersisa Rp 3 juta, yang harus dikembalikan ke pihak beperkara. Menurut Soekoyo, jika dana Rp 3 juta itu tidak hendak diaudit, BPK tetap harus memastikan apakah biaya sidang itu memang menghabiskan dana Rp 7 juta. Dana itu kan bisa kurang atau lebih. Kalau lebih, dari mana nomboknya? Kalau kurang dari Rp 7 juta. Purborini | Agus Supriyanto

Sumber: Koran Tempo, 16 April 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan