Makelar Kasus; Ingat Susno, Ingat Ahmad Djunaedi
Kamis, 27 April 2006, mantan Direktur Utama PT Jamsostek Ahmad Djunaidi mengamuk, seusai divonis delapan tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia melemparkan papan nama ke jaksa penuntut umum Heru Chaeruddin. Ia berteriak telah memberikan uang Rp 600 juta ke jaksa.
Insiden itu memicu kehebohan. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan Achmad Lopa memeriksa jaksa yang menangani perkara korupsi di PT Jamsostek itu. Meski begitu, publik mempertanyakan, kenapa tudingan itu tak diproses secara hukum. Tidak cukup secara administratif. Setelah Burdju Ronni Alan Felix dan Cecep Sunarto dinyatakan terbukti melakukan perbuatan tercela dari sisi pengawasan, perkaranya ditangani Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tim Tastipikor bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2005 itu dipimpin Hendarman Supandji. Saat itu Hendarman menjabat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Cecep dan Burdju diperiksa, ditahan, lalu diadili di PN Jaksel. Hakim PN Jaksel pada sidang 27 Februari 2007 memvonis Cecep dan Burdju dengan hukuman satu tahun delapan bulan penjara karena terbukti menerima uang Rp 550 juta dari Ahmad Djuanidi melalui Aan Hadie Gusnantho.
Kisah lemparan papan nama dan tuduhan Djunaidi itu nyaris senada dengan ”lemparan” informasi dari Komisaris Jenderal Susno Duadji. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri itu menyebutkan dugaan makelar kasus dalam perkara pajak yang diduga melibatkan pegawai Ditjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan dan sejumlah pejabat Polri kepada Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum.
Namun, reaksi berkaitan dengan laporan Susno berbeda dengan peristiwa Djunaidi. Satgas yang diketuai Kuntoro Mangkusubroto memang segera menindaklanjuti laporan itu. Langkahnya antara lain membahas dengan pimpinan Kejaksaan Agung dan Polri.
Kejaksaan Agung melangkah dengan memeriksa jaksa peneliti dan jaksa di Tangerang dan Banten yang menjadi penuntut perkara Gayus. Pemeriksaan atau eksaminasi dilakukan Bidang Tindak Pidana Umum, sesuai perkara Gayus yang didakwa menggelapkan uang PT Megah Jaya Citra Garmindo. Namun, itu belum cukup. Jika Jaksa Agung Hendarman Supandji menduga ada aliran dana dalam penanganan perkara itu, semestinya ditindaklanjuti bidang Tindak Pidana Khusus.
Polri mengambil langkah lain, yakni memeriksa Susno, menindaklanjuti laporan Brigadir Jenderal (Pol) Edmon Ilyas dan Brigjen (Pol) Raja Erizman. Susno bahkan pernah ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik dan melanggar disiplin polisi.
Padahal, dugaan makelar kasus dalam penanganan perkara Gayus belum terungkap. Perkara yang melibatkan uang Rp 25 miliar itu ditangani penyidik Polri dan disidangkan jaksa di PN Tangerang. Vonisnya? Bebas.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki berpendapat laporan Susno harus ditindaklanjuti polisi. Kasus itu bukan persoalan internal Polri.
Kualitas laporan Susno, kata Teten, adalah dari whistle blower atau dari pihak internal. Meski tidak diketahui motifnya, laporan itu diyakini dapat mengungkap hal yang lebih besar. Pengakuan pencuri kecil bisa digunakan untuk menangkap pencuri yang lebih besar.
”Tak penting apakah yang melaporkan itu orang bersih atau tidak,” kata Teten. (idr)
Sumber: Kompas, 27 Maret 2010