Makna Hari Antikorupsi Sedunia untuk Indonesia
United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah ditandatangi oleh sebagian besar anggota PBB menandai sebuah inisiatif global dalam melawan korupsi. Meskipun gerakan berbasis regional seperti OECD yang melarang secara tegas suap dalam praktek bisnis bagi para negara anggotanya telah muncul sebelumnya, UNCAC dipandang sebagai tonggak kesadaran internasional bahwa korupsi harus diperangi oleh semua pihak.
Hal ini berarti bahwa kejahatan korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan domestik belaka, akan tetapi telah menjadi kriminal transnasional. Tidak sulit memahami paradigma ini karena korupsi memang telah melahirkan keterpurukan bagi sebuah negara yang akan mengganggu kestabilan internasional, sekaligus bahwa hasil kejahatan korupsi bisa dengan mudah ditempatkan atau dipindahkan ke negara lain. Jika hal ini sudah terjadi, sulit bagi sebuah negara untuk dapat mengambil kembali hasil dari kejahatan korupsi tersebut. Oleh karena itu, tanpa kerjasama internasional, pemberantasan korupsi tidak akan berjalan maksimal.
Supaya kerjasama global dalam memerangi korupsi berjalan secara efektif, tentu saja perlu ada dukungan dari negara anggota, khususnya yang memiliki persoalan besar dalam korupsi seperti Indonesia. Dengan meratifikasi UNCAC, Indonesia sebenarnya telah dianggap sebagai negara yang kooperatif dalam memerangi korupsi, meskipun perlu ada langkah-langkah konkret lainnya yang musti diupayakan.
Satu hal yang relevan adalah bagaimana Indonesia melakukan usaha serius untuk menerapkan standar internasional dalam pemberantasan korupsi. Hal ini berarti bahwa Pemerintah dan parlemen harus melalukan harmonisasi atas berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan usaha pemberantasan korupsi, dengan standar internasional yang diatur dalam UNCAC.
Sebenarnya Indonesia sendiri telah memiliki infrastruktur yang memadai untuk memberantas korupsi. Namun seringkali tidak efektif karena adanya proses pemandulan terhadap fungsi pemberantasan korupsi yang luar biasa. Sebut saja misalnya kelahiran berbagai komisi seperti Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial yang nyatanya tidak memiliki kewenangan besar untuk menjalankan fungsi kontrol atas pelaksanaan penegakan hukum.
Tidak berhasilnya berbagai lembaga antikorupsi dalam menjalankan tugasnya dikarenakan disain peraturan perundang-undangan yang tidak memadai. Bahkan lebih jauh dari itu, terkooptasi oleh kepentingan politik. Kontrol politik yang demikian ketat dalam berbagai rumusan peraturan perundang-undangan antikorupsi menyebabkan tidak berfungsinya lembaga-lembaga antikorupsi yang dibentuk, khususnya yang lahir paska reformasi. Pendek kata, usaha pemberantasan korupsi sebenarnya menghadapi resistensi yang luar biasa dari kelompok politik yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, dalam situasi dimana politik tidak mendukung pemberantasan korupsi, inisiatif internasional akan menghadapi kendala yang besar.
Indonesia juga dikenal sebagai negara yang paling mengesankan dalam menghasilkan berbagai peraturan perundangan-undangan antikorupsi beserta perangkat kelembagaannya, namun memprihatinkan jika melihat dari dampak pemberantasan korupsi yang selama ini dirasakan. Bukan mustahil sebenarnya Indonesia tidak memiliki political will yang cukup, melainkan sebatas kepentingan untuk dipandang sebagai negara yang punya itikad serius dalam memberantas korupsi oleh komunitas internasional.
Usaha domestik dalam memberantas korupsi sesungguhnya menjadi kata kunci bagi berhasilnya dukungan internasional. Melalui berbagai saluran, PBB memfasilitasi berbagai usaha untuk meningkatkan kapasitas bagi penegak hukum, merumuskan berbagai aturan yang relevan dengan standar yang diakui internasional, sekaligus membantu ditariknya kembali aset korupsi yang telah dilarikan ke luar negeri.
Akan tetapi jika Indonesia tidak memanfaatkan peluang internasional yang telah disediakan, maka kita akan menghadapi situasi dimana dukungan politik dalam negeri sebenarnya tidak memadai untuk itu. Pada akhirnya, kita akan selalu mengalami kesulitan dan mendapatkan hasil yang minimal dalam melawan korupsi.
Asset Recovery
Satu hal yang menjadi perhatian utama komunitas internasional dalam usaha mereka membantu negara-negara anggotanya dalam memberantas korupsi adalah pengembalian aset (asset recovery). Hal ini dapat dipahami karena keterpurukan sosial ekonomi sebagaimana misalnya dialami Indonesia tidak dapat dipisahkan dari praktek korupsi yang menggurita.
Untuk mendorong usaha pemulihan kondisi sosial ekonomi itulah maka sangat penting bagi Indonesia untuk menarik kembali hasil korupsi yang telah dilarikan ke berbagai negara. Bahkan khusus untuk kasus Soeharto, PBB dan Bank Dunia telah menggagas lahirnya StAR sebagai upaya membantu, sekaligus menekan Indonesia untuk menuntaskan perkara Soeharto.
Oleh karena itu, sudah seharusnya inisiatif internasional disokong secara penuh oleh Pemerintah Indonesia melalui berbagai upaya pembuktian hukum bahwa korupsi memang telah terjadi. Langkah penghukuman terhadap pelaku korupsi yang telah merugikan negara hingga triliunan rupiah sebagaimana dalam kasus korupsi yang diduga melibatkan Soeharto, skandal BLBI, illegal logging, korupsi di sektor pertambangan dan lain sebagainya pada akhirnya akan menentukan apakah dukungan internasional telah dimanfaatkan secara maksimal oleh Indonesia.
Pertanyaannya kemudian, seberapa serius Pemerintah Indonesia merespon ulur tangan dari komunitas internasional untuk melawan korupsi? Momentum pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu agaknya menjadi ukuran yang sangat konkret.
KPK sebagai lembaga penegakan hukum yang independen adalah bagian tak terpisahkan dari beberapa konsepsi dasar UNCAC. Dan sesungguhnya kita telah membentuknya. Namun ketika parlemen menempatkan orang-orang yang bermasalah menjadi pimpinan KPK, maka sebenarnya kita telah membuang momentum bersejarah bahwa kita memiliki keseriusan dalam memberantas korupsi. Pada konteks ini, barangkali komunitas internasional hanya bisa menyaksikan, bahwa negara ini memang tidak menghendaki pemberantasan korupsi dilakukan. Lantas, apa makna tanggal 9 Desember yang diperingati sebagai hari antikorupsi sedunia? Mungkin tak lebih dari peringatan seremonial belaka. Sungguh menyedihkan.
Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja ICW