Mampukah Kita Memberantas Korupsi?
Organisasi massa berbasis umat Islam terbesar di Indonesia Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 15 Oktober 2003 mencanangkan gerakan memberantas korupsi dari bumi persada Indonesia. Beberapa waktu sebelumnya organisasi Kadin (Kamar Dagang dan Industri) juga melakukan hal serupa, yakni menentang segala praktik korupsi.
Ada secercah harapan dengan munculnya tekad memberantas praktik-praktik korupsi, utamanya sebagaimana dicanangkan oleh NU dan Muhammadiyah. Khutbah agama saja kiranya sudah tidak mempan lagi menyentuh hati nurani para pelaku korupsi yang mabuk materi dan kehidupan duniawi. Namun pertanyaannya mampukah kita memberantasnya?
Saat ini tercatat negara kita merupakan negara paling korup di Asia dan di dunia pada peringkat ketiga (sesuai hasil survei beberapa lembaga termasuk ICW (Indonesian Corruption Watch). Korupsi terjadi pada semua lini, mulai dari rumah tangga, kalangan pemerintah maupun swasta serta para pejabat negara. Gerakan memberantas korupsi selama ini masih hanya sebatas retorika (pidato), tidak disertai langkah-langkah konkrit bagaimana menghempangnya, bagaimana pengawasannya dan bagaimana pula penghukumannya. Ironisnya orang yang sudah dipidana sebagai koruptor pun masih bisa memimpin instansi/lembaga pemerintahan. Lantas masihkah ada harapan untuk terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa?
Konon korupsi pada era reformasi lebih ganas dari korupsi pada era sebelumnya, korupsi kini dibicarakan di atas meja, tanpa rasa malu-malu. Karenanya lihatlah pembangunan apa yang bisa dilaksanakan, kondisi jalan sebagai sarana vital masih tetap buruk seperti masa-masa sebelumnya. Padahal jika kondisi jalan saja bisa dibuat bagus akan sangat membantu para petani mengangkut hasil pertaniannya ke kota. Ke manakah peruntukan dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) ?
Sistem Penggajian
Pakar ekonomi Kwik Kian Gie dalam sebuah tulisannya menyoroti masalah sistem penggajian yang harus dibenahi sesuai dengan 'merit system,' bahwa yang tingkat pekerjaan serta tanggungjawabnya lebih berat harus mendapat pendapatan neto yang lebih besar. Penjenjangan tingkat pendapatan neto harus proporsional dan adil. Karenanya tindakan pertama yang harus dilakukan adalah membenahi seluruh pendapatan neto pegawai negeri sipil maupun TNI dan Polri yang diselaraskan sampai proporsional dan adil berdasar merit system.
Masalah penggajian yang diungkapkan oleh pakar ekonomi vokal ini merupakan masalah klasik. Betapa tidak, semenjak dulu gaji pegawai negeri memang me-'ngeri'-kan namun entah dengan cara bagaimana mereka mampu hidup layak bahkan banyak di antaranya yang mampu hidup secara berkelebihan. Bagaimana caranya jika bukan dengan berkorupsi?
Hampir dalam setiap urusan, mulai tingkat kepala lingkungan, kelurahan, kecamatan, mempergunakan uang, walau tidak ada ketentuan tertulis. Begitu pula saat berurusan di lingkungan peradilan, biaya tidak resmi ada kalanya melebihi yang tertulis secara resmi, dan mereka berani memintanya secara terang-terangan, tidak ada lagi rasa malu atau sungkan. Jika di lingkungan dunia peradilan saja, yang seyogianya segalanya dipenuhi nuansa hukum dan aturan-aturan, sudah demikian buruk, apakah masih ada harapan tercipta lingkungan yang bebas korupsi, bebas KKN?
Secara logika, sistem penggajian yang tidak sesuai dengan kondisi pasar, bagaimanapun membuka peluang untuk terjadinya praktik-praktik korupsi. Minimnya gaji, sementara harga kebutuhan pokok melambung, biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan sebagainya kian hari kian mahal, mau tidak mau, suka tidak suka, mendorong timbulnya praktik korupsi, minimal korupsi waktu untuk mencari-cari uang tambahan. Bahkan muncul pula moral yang buruk yakni melakukan kebohongan-kebohongan dalam rangka memuluskan praktik korupsi itu.
Tanggungjawab Umat Islam
Umat beragama Islam selaku mayoritas di negeri ini adalah orang yang paling bertanggungjawab atas situasi dan kondisi yang sedang melanda negara kita. Selaku umat Islam mayoritas seyogianya merasa sangat malu hati pada apa yang sedang terjadi, kita sepantasnya merasa malu pada bangsa lain. Kenapa? Bukankah ajaran Islam melarang korupsi, melarang memakan sesuatu yang bukan haknya, menganjurkan keadilan, menganjurkan menyayangi anak buah/karyawan baik sesama muslim maupun berbeda agama sebab perbedaan adalah rahmat. Lantas kapankah terwujud Islam sebagai 'rahmatan lil alamin' sementara perilaku umatnya tidak konsist seperti dianjurkan agama. Padahal agama yang sudah dianut seyogianya menjadi sebuah gaya hidup yang tercermin dalam perilaku sehari-hari, bukan sekadar ucapan di hadapan anak, melainkan menjadi sebuah keteladanan.
Kita berharap Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah konsisten melakukan gerakan menentang dan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, dan kita bersama-sama ikut mendukung sekaligus menerapkan mulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan masyarakat. Pada saat sama marilah mulai memberi perhatian pada masalah kesejahteraan agar jangan ada lagi pemikiran untuk melakukan korupsi, atau tidak jujur dalam bekerja. Jika sudah begini maka ke-Islam-an kita pun patut dipertanyakan.
Penentangan terhadap korupsi merupakan sebuah gerakan besar untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini dari kehancuran dan kepunahan. Lihatlah jumlah penduduk miskin kian hari kian bertambah, terlihat dari meningkatnya angka pengemis dan pengamen di jalanan serta wanita tuna susila (WTS). Terlihat juga dari masalah moral yang kian merosot, angka kriminilitas dan pemerkosaan meningkat. Apakah kondisi ini belum membuka mata kita juga?
Kiranya, apa yang dikatakan oleh Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Cabang Medan - Sumatera Utara, HMK. Aldian Pinem, SH., bahwa pemberantasan korupsi hanya bisa dilakukan dengan cara revolusi, menghabisi atau memutus sebuah generasi dan digantikan dengan generasi di bawahnya yang berpendidikan, bermoral dan dengan memperhatikan kesejahteraannya. Pendapat ini kedengarannya ekstrim namun ada juga benarnya melihat praktik korupsi yang sudah tak ketulungan dan tak malu-malu lagi. Masalahnya mampukah kita melakukannya?(Erma Miraza Tarigan,Penulis adalah wartawati Waspada)
Tulisan ini diambil dari Waspada, 18 Okt 03 23:23 WIB