Mantan Direktur Indofarma Masuk Bui; Disangka Rugikan Negara Rp 9 M
Satu lagi pelaku kasus korupsi di BUMN dijebloskan ke tahanan. Kali ini kehidupan di bui itu dirasakan mantan Direktur Keuangan PT Indofarma Tbk Purwo Kartiko. Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi penggelembungan (markup) anggaran pengadaan bahan baku obat-obatan senilai Rp 9 miliar.
Mantan ketua Tim Privatisasi Indofarma itu dijebloskan ke Rutan Salemba setelah menjalani pemeriksaan lima jam di gedung Kejati DKI kemarin (27/2). Dia (Purwo Kartiko) baru saja dibawa ke Rutan Salemba, kata Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI M. Yusuf kepada koran ini di gedung Kejati DKI.
Menurut Yusuf, Purwo merupakan satu-satunya tersangka dalam kasus korupsi pada perusahaan obat-obatan pelat merah tersebut. Kami masih menelusuri kemungkinan tersangka lain. Sejumlah saksi sudah kami periksa. Dan, kami berharap (penyidikan) kasus ini segera selesai, jelas mantan kepala Kejari Jakarta Selatan itu.
Dia menambahkan, Kejati DKI menyelidiki kasus tersebut sejak awal 2006. Tim penyidik baru menetapkan tersangka pada awal 2008 setelah penanganan perkaranya dinaikkan ke tahap penyidikan.
Secara terpisah, Kasipenkum Kejati DKI Mustaming mengatakan, Purwo ditahan 20 hari untuk memudahkan proses penyidikan. Ini sesuai ketentuan KUHAP, kata Mustaming kemarin.
Menurut Mustaming, tim penyidik menjerat Purwo dengan pasal 2 UU No 31 Tahun 1999 yang disempurnakan UU No 20 Tahun 2001 tentang Korupsi. Purwo disangka memanipulasi dokumen laporan keuangan Indofarma 2001. Modusnya, tersangka (Purwo) menggelembungkan angka pada anggaran pengadaan bahan baku obat-obatan, jelas jaksa yang pernah bertugas sebagai Kasipidum Kejari Sukabumi itu.
Mustaming membeberkan, Purwo hanya mencocokkan dokumen tanpa menghitung langsung fisik bahan baku obat-obatan. Ini jelas menyalahi prosedur, tegasnya.
Dia lantas menyebut, selain UU Korupsi, Purwo dianggap melanggar SK Direksi Indofarma No 751/Dir/SK/XI/2001.
Menurut Mustaming, satuan pemeriksa internal (SPI) menemukan kejanggalan dalam penyusunan laporan keuangan 2001 pada Mei 2004. Saat dicocokkan dengan data fisik barang, ternyata ada selisih anggaran untuk pengadaan bahan baku obat-obatan.
Dari selisih tersebut, terjadi penghitungan laba perusahaan yang menyusut. Ini mengakibatkan negara dirugikan sembilan miliar rupiah, bebernya. Terungkapnya dugaan markup juga dilaporkan masyarakat ke Kejati DKI. (agm/kim)
Sumber: Jawa Pos, 28 Februari 2008