Mantan Dirut ASDP Tersangka; Kasus Korupsi Kapal Tiongkok
Gedung Bundar mulai bangun dari tidur panjang. Untuk kali pertama sejak dipimpin Marwan Effendy, Gedung Bundar menetapkan tersangka kasus korupsi.
Gedung Bundar mulai bangun dari tidur panjang. Untuk kali pertama sejak dipimpin Marwan Effendy, Gedung Bundar menetapkan tersangka kasus korupsi.
Tidak tanggung-tanggung, JAM Pidana Khusus Marwan langsung menetapkan tiga tersangka sekaligus dalam kasus korupsi pengadaan kapal roll on-roll off (roro) Tiongkok oleh PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) USD 2,8 juta atau Rp 23,8 miliar.
Para tersangka itu adalah mantan Dirut PT ASDP Sumiarso Sonny, Direktur Keuangan Sonatha Halim Yusuf, dan Dirut PT Bima Intan Kencana (BIK) Lutfi Ismail. PT BIK merupakan rekanan PT ASDP dalam pengadaan kapal roro Tiongkok tersebut.
Mereka ditetapkan sebagai tersangka pada Senin (28/4) malam, kata Kapuspenkum Kejagung B.D. Nainggolan dalam jumpa pers di gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) kemarin (29/4).
Menurut Nainggolan, Sumiarso dkk bakal dipanggil sebagai tersangka pada Rabu depan (7/5). Mereka diminta menghadap tim penyidik yang dikoordinasi Faried Hariyanto.
Ditanya apakah Sumiarso dkk akan ditahan atau tidak, Nainggolan enggan berkomentar. Lihat saja nanti. Yang penting, mudah-mudahan mereka memenuhi panggilan, ujar Nainggolan.
Meski ditetapkan sebagai tersangka, kejaksaan tidak mencekal Sumiarso dkk. Tim penyidik masih menganggap mereka bersikap kooperatif. Mereka ini kan orang Indonesia semua. Kita lihat juga kepentingannya dan apakah mereka punya akses ke luar negeri, ungkap jaksa berkacamata itu.
Nainggolan lantas membeber kronologi kasus ASDP. Semua berawal ketika Dirut PT ASDP dan Dirut PT BIK menandatangani kerja sama pembangunan dan pengoperasian kapal roro pada 21 Januari 2003. Kerja sama tersebut ditindaklanjuti lewat kontrak pekerjaan pembangunan dengan kontraktor asal Tiongkok, China Geo Engineering Corporation (CGEC) seharga USD 14 juta.
Untuk pembiayaan (pengadaan) dua kapal tersebut, PT ASDP membayar uang muka 20 persen dari nilai kontrak atau senilai USD 2,8 juta, jelas mantan wakil kepala Kejati Kalimantan Selatan itu. Uang muka tersebut, lanjut Nainggolan, ditransfer ke rekening PT BIK di Bank Panin, kemudian dilanjutkan ke rekening CGEC. Sisanya, 80 persen, akan ditanggung PT BIK, imbuh Nainggolan.(agm/kim)
Sumber: Jawa Pos, 30 April 2008