Mantan Kacab BRI Bogor Dituntut 20 Tahun [18/06/04]
Mantan Kepala Cabang Pembantu Bank Rakyat Indonesia (Kacabpem BRI) Suryakencana, Kota Bogor, Asep Tarwan, 38, terdakwa kasus korupsi senilai Rp93,5 miliar, dituntut 20 tahun penjara dan langsung masuk penjara.
Selain itu, Asep Tarwan juga diwajibkan mengembalikan uang negara senilai Rp83,615 miliar atau subsider tiga tahun penjara. Kami juga meminta supaya terdakwa dikenakan denda sebesar Rp250 juta atau subsider enam bulan penjara, ujar jaksa Adriansyah dan Nasran Azis di Pengadilan Negeri (PN) Kota Bogor, kemarin.
Dalam tuntutan setebal 47 halaman, jaksa memohonkan supaya majelis hakim --yang dipimpin Russedar dengan anggota Budi Hapsari dan Kamarudin Simanjuntak-- menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp93,5 miliar.
Dengan demikian, lanjut Adriansyah, terdakwa dapat dikenakan melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999, jo UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dengan lama hukuman 20 tahun penjara.
Pertimbangan yang memberatkan, terdakwa melakukan perbuatannya di tengah negara sedang gencar-gencarnya memberantas tindak pidana korupsi. Perbuatan tersebut, menurut jaksa, telah merusak citra BRI.
Di samping itu, terdakwa selalu berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan. Satu-satunya pertimbangan meringankan adalah terdakwa belum pernah dihukum.
Persidangan kemarin hanya dihadiri 10 pengunjung. Berbeda dengan bulan sebelumnya, ruang sidang selalu padat. Pengunjung kurang berminat mengikuti persidangan setelah PN Kota Bogor mengabulkan permohonan terdakwa untuk menjadi tahanan kota sejak 11 Maret 2004.
Hakim mengabulkan karena masa penahanan memang sudah berakhir, sedangkan jaksa lupa mengajukan perpanjangan. Sidang akan dilanjutkan pekan depan untuk mendengarkan pembelaan dari terdakwa maupun penasihat hukumnya.
Saksi ahli
Sementara itu di PN Jaksel, kasus korupsi senilai 1,3 triliun dengan terdakwa Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru, Koesadiyuwono, dan Kepala Bagian Pelayanan Luar Negeri, Edy Santoso, menghadirkan saksi ahli, Edie Renaldy.
Edie Renaldy yang menjabat Direktur Hukum Bank Indonesia menjelaskan BNI cabang Kebayoran Baru telah melakukan kesalahan mendasar terhadap prinsip kehati-hatian perbankan dalam melakukan praktik pencairan kredit ekspor berjaminan (letter of credit) sebanyak 37 lembar.
Dalam praktik perbankan yang baik, pimpinan bank seharusnya mengonfirmasikan terlebih dahulu kepada nasabah jika melakukan penarikan rekening minimal senilai Rp500 juta, paparnya.
Apalagi berkaitan dengan pengambilalihan suatu kredit bersifat internasional dan bernilai miliaran rupiah. Meski demikian, Renaldy menegaskan dirinya tidak dalam kapasitas memberikan pernyataan benar dan salah dalam kasus ini.
Dalam kasus ini, lanjut Edie, BI menyimpulkan jajaran pengambil keputusan di BNI harus bertanggung jawab atas tidak dijalankannya prinsip kehati-hatian dalam melakukan transaksi ekspor tersebut.
Dalam memberikan suatu kredit, setiap bank harus memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 UU Perbankan. Ketentuan itu mewajibkan bank melakukan penelitian dan analisis secara lengkap dan benar terhadap pihak yang meminta kredit. Laporan tertulis dari hasil penelitian tersebut selanjutnya diberikan kepada BI.
Penelitian antara lain mencakup, kejelasan tujuan dan sasaran kredit, kesesuaian antara jangka waktu peminjaman dan kemampuan peminjam, sumber-sumber dana yang akan digunakan untuk pengembalian kredit, serta jaminan yang jelas.
Di samping itu, bank juga harus mengetahui benar alamat, kegiatan usaha, dan kondisi keuangan suatu perusahaan yang mengajukan kredit itu. (DC/HW/Inv/J-1)
Sumber: Media Indonesia, 18 Juni 2004