Mantan Pejabat Imigrasi Divonis 3 Tahun

Mantan Kepala Subbidang Imigrasi Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru, Malaysia, Prihatna Setiawan divonis tiga tahun penjara. Prihatna juga harus membayar denda Rp 50 juta dan uang pengganti Rp 5,774 miliar.

Dua hakim mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) mengenai perhitungan kerugian keuangan negara itu.

Vonis ini dibacakan dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi yang dipimpin Masrurdin Chaniago di Jakarta, Selasa (1/5). Pendapat mayoritas menyebutkan, Prihatna Setiawan harus membayar uang pengganti kerugian negara sebanyak Rp 5,774 miliar.

Sementara Masrurdin Chaniago menyebutkan, Prihatna hanya membayar kerugian negara sebesar Rp 1,137 miliar. Perhitungan Masrurdin, Prihatna memperoleh bagian sebesar 1,192 juta ringgit Malaysia atau sekitar Rp 2,650 miliar.

Masrurdin kemudian menyebutkan, angka Rp 2,650 miliar ini dikurangi dengan tanah, rumah, dan mobil Pajero yang telah disita KPK senilai Rp 1,513 miliar. Oleh karena itu, Prihatna hanya membayar Rp 1,137 miliar. Sementara itu, permintaan pengeluaran biaya operasional Subbidang Imigrasi yang dikelola Imam Windahji dan diserahkan ke Prihatna sebesar 2,376 juta ringgit Malaysia setelah dilakukan penelitian terhadap alat bukti surat yang berupa fotokopi, maka Masrurdin tidak bisa menggunakan surat tersebut sebagai alat bukti karena tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Sementara itu, hakim anggota keempat, Anwar, menghitung kerugian negara sebesar 2,376 juta ringgit Malaysia. Perhitungan Anwar berdasarkan keterangan ahli Irjen Deplu Triedi Mulyani, jumlah kerugian negara akibat pungutan di atas tarif selama 2001-2004 sebesar 2,928 juta ringgit Malaysia. Angka ini dikurangi dengan nilai yang diterima para home staff, yaitu 552,316 ringgit Malaysia.

Kuasa hukum Prihatna Setiawan, Posma Radjagukguk, mengatakan akan mengajukan banding. Ia menilai putusan majelis hakim sama sekali tidak berkualitas. Pada waktu persidangan kami katakan kalau kami memiliki bukti-bukti asli, tetapi hakim tidak mengizinkan untuk memperlihatkan. Lagi pula uang yang dinikmati staf lokal dan home staff dibebankan kepada saya. Ini akal-akalan saja, ungkap Posma. (VIN)

Sumber: Kompas, 2 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan