Masa Depan Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam sidang terbuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, Selasa (15/2), tanpa dissenting opinion, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan judicial review Bram Manoppo. Dalam putusannya, majelis hakim konstitusi menyatakan, dasar pertimbangan pengajuan permohonan uji materiil oleh Bram Manoppo itu tidak terbukti. Direktur PT Putra Pobiagan Mandiri yang menjadi tersangka dalam kasus pengadaan helikopter Mi-2 itu mempersoalkan penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menggunakan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana diketahui, berbarengan dengan penyidikan terhadap Abdullah Puteh, KPK juga menetapkan Bram Manoppo sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembelian helikopter Mi-2. Merasa dirugikan dengan status tersangka, Bram Manoppo mengajukan permohonan gugatan dengan dalil bahwa tindakan penyidikan (dengan status tersangka) oleh KPK merugikan hak konstitusionalnya untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut atau asas retroaktif. Alasan konstitusional yang digunakan Bram Manoppo adalah Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Dengan putusan itu, Bram Manoppo gagal meyakinkan MK bahwa Pasal 68 UU KPK, yang menyatakan semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tidak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya KPK dapat diambil alih oleh KPK, bertentangan dengan Pasal 28I ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 tentang larangan pemberlakuan asas retroaktif. Artinya, penyidikan yang dilakukan KPK atas keterlibatan Bram Manoppo dalam pembelian helikopter Mi-2 (yang juga melibatkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh) dianggap sah.
Lalu apakah dengan putusan MK di atas KPK dapat menangani semua kasus korupsi yang terjadi sebelum 27 Desember 2002, saat terbentuknya KPK? Pertanyaan itu menjadi amat penting karena pertimbangan-pertimbangan hukum MK dapat mempengaruhi masa depan KPK.
Dalam kasus Bram Manoppo, MK menilai tindakan KPK tidak mengandung asas retroaktif. Sekiranya pun tindakan yang dilakukan oleh KPK terhadap tindak pidana yang disangkakan kepada Bram Manoppo dapat dinilai sebagai tindakan yang retroaktif, hal tersebut tidak berkaitan dengan masalah konstitusionalitas materi undang-undang a quo, tapi merupakan masalah penerapan undang-undang yang bukan merupakan kewenangan MK.
Sekalipun judicial review Bram Manoppo ditolak, itu tidak bermakna bahwa MK membenarkan pemberlakuan asas retroaktif. Pendirian MK dapat dibaca dalam menyikapi Pasal 72 UU MK yang menentukan bahwa undang-undang ini (UU KPK) mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Karena pengundangan UU KPK pada 27 Desember 2002, menurut MK, rumusan pasal 72 tersebut adalah jelas bahwa UU KPK berlaku ke depan (prospektif), yaitu sejak 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, UU KPK tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan.
Pendirian MK bahwa UU KPK hanya berlaku sejak undang-undang itu ditetapkan dapat juga dibaca dari penjelasan terhadap posisi Pasal 70 UU KPK yang menyatakan bahwa KPK melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat satu tahun setelah undang-undang ini diundangkan. Dalam pandangan MK, pasal 70 itu hanya mengatur batas waktu KPK mulai melaksanakan tugas dan wewenangnya, yaitu paling lambat satu tahun setelah UU KPK diundangkan. Karena UU KPK diundangkan pada 27 Desember 2002, berarti saat itu pulalah KPK melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Terkait dengan kemungkinan membongkar kasus-kasus korupsi yang terjadi sebelum 27 Desember 2002, sekalipun pertimbangan hukum yang dibangun oleh hakim konstitusi tidak mengikat, sulit dibantah bahwa putusan MK akan mempengaruhi perkembangan pengungkapan kasus korupsi di KPK. Benar adanya, MK tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Pasal 68 UU KPK bertentangan dengan Pasal 28I ayat 1 UUD 1945. Tapi, pascaputusan MK, upaya KPK mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang terjadi sebelum 27 Desember 2002 akan menjadi lebih sulit dilakukan.
Artinya, dengan putusan judicial review Bram Manoppo, KPK dapat dikatakan kehilangan salah satu kekuatannya sebagai superbody dalam mengungkap kasus korupsi. Padahal, sesuai dengan Pasal 9 UU KPK, pengambilalihan penyidikan dan penuntutan hanya dilakukan dengan alasan-alasan yang cukup terbatas, yaitu (a) laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti, (b) proses penanganan tindak pidana korupsi berlarut-larut (tertunda-tunda) tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, (c) penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya, (d) penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi, (e) hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau (f) keadaan lain yang, menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsinya sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh KPK? Sesuai dengan amanat Pasal 6 UU KPK, sekalipun tidak begitu mudah mengungkapkan kasus korupsi yang terjadi sebelum 27 Desember 2002, KPK masih mungkin memainkan peran penting dengan melaksanakan beberapa tugas, yaitu (a) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (b) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (c) penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi (terutama setelah 27 Desember 2002), (d) tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan (e) pemantauan (monitoring) terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bahkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat 1 UU KPK, dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf b, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik.
Meskipun demikian, bagi kalangan yang intens memperhatikan agenda pemberantasan korupsi, putusan MK tetap merupakan kabar yang tidak menggembirakan. Banyak yang percaya, kasus-kasus korupsi, terutama yang terjadi sebelum 27 Desember 2002, akan semakin sulit disentuh secara langsung oleh KPK.(Saldi Isra, Analis dan Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 17 Februari 2005