Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Aceh
Hasil kajian terhadap fenomena korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh ICW pada tahun 2004 menunjukan bahwa NAD menempati urutan ke enam terbesar wilayah yang paling banyak terjadi praktek korupsinya, setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Setidaknya terdapat 22 kasus korupsi yang terjadi di berbagai wilayah NAD, dengan berbagai variasi aktor, modus dan tingkat kerugian negara yang ditimbulkannya. Penilaian itu didasarkan pada beberapa sumber data utama, yakni pemberitaan di media massa dan laporan masyarakat. Barangkali maraknya praktek korupsi yang terjadi di NAD tidak bisa dilepaskan dari persoalan tiadanya kepastian hukum dan tertib birokrasi yang dikombinasikan dengan besarnya alokasi anggaran yang diberikan oleh pemerintah dari berbagai sumber pendanaan, khususnya yang terkait dengan program bantuan kemanusiaan dan pembangunan infrastruktur.
Kemungkinan praktek korupsi di NAD meningkat dan menyebar akan menjadi kenyataan mengingat tidak ada satupun kasus korupsi yang telah diproses hukum, kecuali perkara mark-up pembelian helikopter Mi-2 Rostov yang melibatkan Abdullah Puteh, Gubernur NAD. Terbengkelainya penyelesaian berbagai macam praktek korupsi di NAD mau tidak mau mengarahkan pada satu kesimpulan awal bahwa institusi penegak hukum, yakni kejaksaan dan kepolisian di NAD telah mengalami kematian fungsi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat paska bencana nasional tsunami yang menghantam berbagai wilayah NAD, aliran dana bantuan kemanusiaan dan anggaran untuk rehabilitasi-rekonstruksi untuk NAD tidak kecil jumlahnya.
Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Khusus Korupsi menyeret dan mengadili kasus mark-up pengadaan pesawat atas nama terpidana Abdullah Puteh telah memicu harapan banyak kalangan, agar KPK juga menangani kasus korupsi lainnya yang hingga kini tidak jelas ujung penyelesaian hukumnya. Harapan itu tidak hanya ditujukan kepada kasus korupsi yang terjadi di NAD, melainkan juga perkara korupsi di wilayah lainnya. Hal itu menjadi mungkin mengingat dalam UU No 30 Tahun 2000 tentang KPK pasal 8 ayat 2 disebutkan bahwa dalam melaksanakan wewenangnya sebagai supervisor penanganan korupsi, KPK juga berwenang untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Sesungguhnya harapan masyarakat yang besar kepada KPK untuk dapat menyelesaikan berbagai macam perkara korupsi dapat dilihat sebagai cermin tingginya ketidakpercayaan masyarakat kepada institusi kejaksaan dan kepolisian.
Secara teoritik, penegakan hukum yang diarahkan pada semua perkara tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi mengandung beberapa tujuan. Pertama, memberikan penegasan kepada semua pihak bahwa siapapun yang melakukan kejahatan, apapun posisi dan jabatan seseorang, harus berhadapan dengan hukum sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuatnya. Kedua, memberikan efek jera bagi orang yang melakukan kejahatan sehingga tidak dilakukan oleh yang lain.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah vonis yang telah dijatuhkan kepada Abdullah Puteh oleh Pengadilan Khusus Korupsi di Jakarta sudah dapat memberikan rasa takut bagi pejabat pemerintah lainnya di NAD sehingga tidak melakukan korupsi? Sesungguhnya vonis 8 tahun penjara untuk Gubernur NAD itu bisa dipandang masih terlalu ringan bagi pelaku korupsi di wilayah yang sedang dalam kondisi tidak menentu sehingga sangat tidak memadai untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi di NAD.
Dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat 2 dinyatakan