Masalah Wewenang Komisi Yudisial
Ini kejadian di Australia. Ketika sejumlah putusan pengadilan distrik pada September 1986 dirasakan tidak adil, Senator Vinson membuat laporan. Tidak lebih dari seminggu, pemerintah New South Wales mengumumkan pendirian Judicial Commission. Lalu pada 18 November 1986, dengan Judicial Officers Act, kiprah komisi ini disempurnakan untuk membantu pengadilan dalam menjaga konsistensi putusannya (Ernest Schmatt, 2000).
Di Australia, jarak ide dan realisasi dalam hitungan minggu, tapi di Indonesia lain ceritanya. Memang istilah Komisi Yudisial diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 dan dilegitimasi secara konstitusional dalam Amendemen Ketiga UUD 1945 pada 2001.
Tapi ide awal institusi semacam ini ada sejak konsep UU Kehakiman diajukan pada 1968 dengan nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hukum. Implementasinya baru dibuktikan dengan UU Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Bila tidak ada rintangan, 2-3 bulan lagi anggotanya terpilih dan siap beroperasi.
Jelas 30-an tahun bukan waktu yang pendek (sejak gagasan awal muncul). Kalaupun kemudian ia eksis, apakah bisa menjadi obat penyakit peradilan kita? Pasti bukan hanya Komisi Yudisial sebagai faktor penentu. Toh, peran institusi ini hanya bergerak sekitar hakim. Jaksa/polisi/advokat yang sebagian berorientasi demi uang, rule of the games dalam sub-sub sistem peradilan yang terkadang tidak sinkron, kultur publik (baca: klien) yang suka lewat jalan pintas, dan kepentingan politik yang kental dalam penentuan jabatan publik adalah sedikit contoh yang perlu dibereskan juga.
Kita perlu bukti apakah racikan obat Komisi Yudisial memang sudah pas dengan problem hakim kita. Riset atas Komisi Yudisial di tujuh negara Uni Eropa menunjukkan adanya dikotomi fungsi. Di Eropa Selatan (Prancis, Italia, Spanyol, dan Portugal), fungsinya sempit, yakni rekrutmen dan supervisi saja. Sebaliknya, di Eropa Barat (Irlandia, Swedia, dan Denmark), fungsinya luas, termasuk manajemen pengadilan, perkara, dan keuangan serta fasilitas perumahan dan pendidikan. Konklusinya, fungsi ditentukan konteks sosial dan ketatanegaraan serta perkembangan kultural (Wim Voerman, 1999).
Dengan kata lain, wewenang berbanding lurus dengan kelemahan. Misalnya, jika kelemahan pengadilan adalah soal kualitas hakim, Komisi Yudisialnya diberi wewenang peningkatan pendidikan hakim. Bagaimana kelemahan hakim di Indonesia?
Uraian berikut ini mengangkat sedikit contoh. Soal rekrutmen, misalnya. Reformasi sukses mengatrol derajat hakim dengan diubahnya status hakim (pengadilan tingkat pertama dan banding) dari pegawai negeri sipil menjadi pejabat negara (lihat UU Nomor 43/1999 tentang Kepegawaian). Masalahnya, prosesnya sekarang masih memakai pola lama buat pegawai negeri sipil. Kriteria seleksinya mengandalkan loyalitas, bukan profesionalitas. Beragam pendidikan dan latihan kemudian tidak bisa menjadi jaminan karena intake-nya di bawah standar. Implikasi paling serius: bobot hakim dapat kita bayangkan bersama.
Soal supervisi. Tidak ada lagi parameter yang jelas untuk pendisiplinan hakim setelah berstatus nonpegawai negeri sipil. Sebelumnya ada Peraturan Pemerintah Nomor 30/1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, tapi sekarang cuma tinggal Kode Etik Profesi Hakim. Selain sangat umum, penegakannya oleh Ikatan Hakim Indonesia tidak efektif karena dilatari semangat l'esprit de corps, sehingga tidak transparan dan tak akuntabel.
Peraturan lain, metodenya kurang pas. Praktek negatif hakim demikian variatif dan perlu kejelian. Dalam penentuan majelis hakim, kok, hakim tertentu selalu mendapat perkara basah atau sering menangani perkara dengan lawyer tertentu?
Soal manajemen. Isu penyatuan atap pengadilan sudah berakhir dengan beralihnya urusan administrasi, keuangan, dan organisasi pengadilan dari departemen teknis ke Mahkamah Agung. Tapi prosedur operasi standarnya belum eksis. Padahal manual ini signifikan.
Di sisi lain, tidak ada klasifikasi kasus menurut bobot berat-ringannya perkara dan kesamaan masalah hukumnya (similarity question of law). Akibatnya, hakim tertentu bisa jadi banyak memutus perkara berat dan hakim yang berbeda mungkin memutus perkara yang sama esensinya. Jelas ini tidak efisien.
Soal fasilitas. Benar bahwa gaji dan tunjangan hakim lebih tinggi dari pegawai negeri sipil. Itu sudah cukup jika dilihat kebutuhan nyata yang menyangkut status sosial dan tanggung jawabnya. Mestinya standar gaji hakim diukur dengan gaji di negara lain, biaya hidup, pemasukan profesi hukum lain, risiko jabatan, gaji pejabat negara lain, dan produktivitasnya. Survei terhadap hakim agung menunjukkan bahwa mayoritas hakim agung (95 persen) menganggap gaji dan insentif yang diterima tidak memadai (Cetak Biru Pembaruan MA, 2003).
Merujuk premis dikotominya Wim Voerman, Komisi Yudisial di Indonesia mestinya berfungsi luas. Masalahnya, justru UU Komisi Yudisial sendiri membatasinya. Wewenangnya tinggal mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (pasal 13).
Fungsi pertamanya, rekrutmen hakim--yang cuma hakim agung, tidak termasuk hakim pengadilan di bawah MA--mungkin tidak terlalu mendesak direvisi saat ini. Fungsi keduanya dimaknai pasal 20 sebagai tugas supervisi semata (yakni melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim).
Ini tegas mereduksi makna fungsi yang diamanatkan pasal 13, yakni menegakkan kehormatan.... Otomatis, penjabaran lebih lanjut soal pengawasan saja, misalnya usulan ke MA untuk penghargaan dan hukuman terhadap hakim. Tidak ada tugas lain. Padahal banyak kelemahan hakim lainnya. Kalau begitu, bagaimana solusinya?
Literatur mengajarkan metode interpretasi atas hukum. Fungsi kedua Komisi Yudisial perlu dilihat secara multitafsir. Misalnya secara sistematis. Pasal 24B ayat 1 Amendemen Ketiga UUD 1945 menyebut Komisi Yudisial ...mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ini berarti landasan konstitusional menjamin adanya wewenang lain. Bukan hanya rekrutmen dan supervisi, tapi seyogianya mencakup juga wewenang manajemen dan fasilitas.
Tafsir lain, misalnya, secara gramatikal. Kata wewenang lain... dengan pengertian umum diterjemahkan menjadi sejumlah wewenang lain. Termasuk wewenang mendisiplinkan perilaku, memperjuangkan peningkatan kesejahteraan, merekomendasikan penghargaan, menginformasikan pedoman perilaku hakim, dan memberikan pertimbangan ke lembaga lain (Naskah Akademis dan RUU Komisi Yudisial, 2003).
Dengan cara tafsiran ini, barangkali kandungan dalam racikan obat Komisi Yudisial lebih cocok dengan diagnosis penyakit serius hakim kita. Ini bab pertama pekerjaan Komisi Yudisial. Untuk bab selanjutnya, kita lihat kinerjanya. (Firoz Gaffar, Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 29 April 2005