Masih Disorot, Vonis Korupsi DPRD Banten; Komisi Yudisial Surati Kejagung
Komisi Yudisial (KY) masih menyoroti penanganan kasus korupsi di DPRD Banten yang beberapa tersangkanya sudah divonis majelis hakim. Salah satunya adalah Tuti Indra Sutia, sekretaris panggar (panitia anggaran). Vonis untuk Tuti yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Banten dinilai keliru. Karena itu, KY akan melayangkan surat ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kami hanya ingin mempertanyakan, kenapa Tuti yang hanya sekretaris diseret ke pengadilan, sedangkan atasan atau yang lainnya tidak diadili?, kata Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran, Martabat, dan Perilaku Hakim KY Irawady Joenoes kemarin.
Dia menambahkan, Komisi Yudisial memang bertugas mengawasi hakim, bukan kejaksaan. Tapi, karena masalah ini terkait dengan kejaksaan, kami juga akan menyurati jaksa agung. Terserah, nanti bagaimana mereka menindaklanjutinya, kata Irawady.
KY memang pernah menyatakan bahwa majelis hakim yang terdiri atas Sanim Djarwadi (ketua), Soedarmo, dan Maswar Darmo Suwiro itu dinilai keliru dalam menurunkan vonis kepada Tuti. Di Pengadilan Negeri Serang, Tuti divonis dengan hukuman paling ringan, yaitu satu tahun penjara. Kemudian, di tingkat PT (pengadilan tinggi) pada 10 Oktober lalu, majelis hakim menurunkan vonis menjadi 10 bulan.
Selain Tuti, dalam kasus itu juga diadili mantan Ketua DPRD Banten Dharmono Konstituanto Lawi dan dua bekas wakilnya, Muslim Jamaluddin dan Mufrodi Muchsin. Ketiganya divonis PN Serang masing-masing empat tahun penjara.
Menurut Irawady, pengurangan vonis terhadap Tuti itu menyalahi pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut ditegaskan, hukuman bagi orang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi paling singkat satu tahun, paling lama 20 tahun. Selain itu, juga didenda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Dalam pasal itu sudah jelas, hukuman minimalnya satu tahun. Tapi, hakim menjatuhkan vonis di bawahnya. Apa mau bertindak menjadi pembuat undang-undang?, katanya. Sebenarnya, penurunannya kecil. Tapi, itu tetap saja salah. Undang-undang tersebut harus dipatuhi. Bila aparat penegak hukum dalam hal itu hakim tidak mematuhi, tidak akan ada kepastian hukum, tegasnya.
Meski menyatakan bersalah, di lain sisi, KY bisa memahami alasan yang dikemukakan majelis hakim ketika diperiksa KY terkait dengan vonis tersebut. Mereka bilang, alasannya penurunan vonis itu karena kemanusiaan. Pertama, karena Bu Tuti seorang perempuan. Kedua, mereka melihat ada sebuah ketidakadilan. Kenapa Tuti yang hanya bawahan diajukan ke pengadilan, sedangkan masih banyak atasannya yang tidak diadili? Apa dia bisa korupsi sendiri tanpa diperintah?, jelasnya.
Irawady menambahkan, pemeriksaan KY terhadap majelis hakim PT Banten itu berdasar surat dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada 31 Oktober yang ditandatangani Ketua KPK Taufiequrachman Ruki. (lin)
Sumber: Jawa Pos, 5 Desember 2005