Masih Kuat Komitmen Antikorupsi Indonesia
Pemberantasan korupsi tentu membutuhkan komitmen dari penyelenggara negara. Meskipun ada banyak aktor pemberantasan korupsi, namun komitmen pemerintah sebagai pusat dari sumber kebijakan dan arah pemberantasan korupsi harus bisa diukur.
Tentu ada banyak cara mengukur seberapa kuat komitmen pemberantasan korupsi itu. Salah satunya adalah dengan melihat berapa banyak komitmen yang telah dipenuhi atau dilaksanakan sebagai syarat menuju kriteria sebuah negara telah baik dalam hal pemberantasan korupsinya.
Mengacu kepada London Anticorruption Summit (LACS) yang diselenggarakan tahun 2016 lalu, negara-negara yang hadir waktu itu diwajibkan untuk melaksanakan beberapa komitmen antikorupsi. Acara serupa yaitu International Anti-Corruption Conference (IACC) akan diselenggarakan di Kopenhagen pada tanggal 22-24 Mei 2018. Waktu dua tahun telah cukup untuk mereview kembali komitmen antikorupsi negara-negara peserta.
Terkait dengan itu, Rabu, 2 Mei 2018 bertempat di Kedutaan Inggris di Jakarta, Indonesia Corruption Watch bersama Transparency Internasional Indonesia mengadakan diskusi bertema "Evaluasi Capaian Indonesia Atas Komitmen Antikorupsi Internasional".
Moazzam Malik, duta besar Inggris untuk Indonesia mengklaim Indonesia merupakan salah satu negara yang paling baik dalam memenuhi komitmen LACS 2016 tersebut. Indonesia dianggap telah melaksanakan 17 komitmen dari 19 Komitmen. Komitmen yang telah dipenuhi tersebut antara lain regulasi sehubungan dengan Whistle-Blowing System (WBS), Beneficial Ownership (BO), dan sehubungan dengan pengadaan di sektor publik. Menurut Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko, masih ada 16% komitmen Indonesia yang belum dilaksanakan. Sisa komitmen yang belum dilaksanakan pemerintah Indonesia hanya mengenai registrasi pemilik manfaat korporasi (beneficial ownership) untuk bisa diakses oleh publik.
Di negara Inggris, data mengenai Beneficial Ownership telah terdaftar dan dapat diakses oleh publik. Sampai saat ini data-nya sudah diakses 2 milyar kali. Inggris akan membantu Indonesia untuk mengimplementasikan data Beneficial Ownership (BO) yang dapat diakses oleh publik
Bimo Wijayanto dari Kantor Staf Presiden, mewakili pemerintah Indonesia, mengatakan bahwa pemenuhan komitmen itu disumbang oleh antara lain dengan dibuatnya beberapa aturan seperti, Peraturan Presiden No. 13 tahun 2018 tentang Beneficial Ownership, Peraturan Presiden No. 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpu No. 1 tahun 2017 tentang Automatic Exhange of Information (AEOI). Juga dikembangkannya sarana pertukaran informasi antar sektor publik-privat melalui Open Government Indonesia serta penerapan whistle-blowing system (WBS) yang terintegrasi dengan KPK dan LPSK.
Namun demikian pendapat yang berbeda dilontarkan oleh Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, bahwa isu antikorupsi di Indonesia lebih sering difokuskan sehubungan isu ekonomi (bisnis, perizinan, pengadaan), namun jarang dikaitkan dengan isu yang menyentuh ke kesejahteraan masyarakat. Indonesia sudah mempunyai banyak regulasi anti korupsi, dan seharusnya berdampak terhadap peningkatan skor Corruption Perception Index (CPI), tetapi ternyata tidak.
Menurut Adnan, masalahnya ada di 2 (dua) sektor, yaitu hukum dan politik. Di sektor hukum, seringkali KPK terlihat bekerja “sendirian”, sedangkan kepolisian dan kejaksaan kurang efektif. Indonesia juga punya banyak lembaga yang bertujuan untuk memberantas korupsi, seperti Ombudsman, Komisi Informasi, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP)dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam proses Revisi UU KPK juga ada upaya pelemahan terhadap KPK.
Sementara itu di sektor politik, terutama karena ada banyak kelompok berkepentingan untuk mengeksploitasi SDA Indonesia. Presiden sulit untuk melakukan reformasi di kedua sektor ini, terutama karena kelompok politik pendukungnya bermain di dua sektor tersebut.
Menurut Rasmus Abildgaard Kristensen, Duta Besar Denmark untuk Indonesia, tema IACC tahun 2018 terkait dengan kerjasama pembangunan (cooperation development) dan Sustainable Development Goals (SDG), dan akan dibahas juga soal penggelapan pajak (tax evasion), pemulihan aset (asset recovery), dan pencucian uang (money laundering).
Rasmus mengatakan bahwa apabila Indonesia tidak memprioritaskan isu anti korupsi, Indonesia berpotensi untuk kehilangan investor yang berasal dari negara yang skor CPI-nya bagus. Konsekuensinya Indonesia akan memperoleh dana dari investor yang berasal dari negara yang skor CPI-nya rendah, dan berpotensi muncul kasus korupsi. (Abid/Emerson)