Mau Diperiksa, Pemkot Mbalelo; Kasus Rp 3,3 M Tak Bisa Diperiksa Bawasda [26/07/04]
Otonomi daerah agaknya membuahkan hubungan bupati dan wali kota se DIJ dengan gubernur ada jarak. Bahkan tak jarang, jarak itu juga ditandai dengan sikap mbalelo kota dan kabupaten terhadap pemprov. Contoh itu, setidaknya telah ditunjukan Pemkot Jogja.
Menurut Gubernur DIJ Sri Sultan Hamengku Buwono X, pemkot termasuk institusi yang menolak diperiksa Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Provinsi DIJ. Padahal sesuai aturan Bawasda punya kewengan mengadakan pemeriksaan tersebut, papar gubernur saat menyampaikan jawaban atas pertanyaan fraksi-fraksi Dewan Provinsi terhadap laporan pertangungjawaban (LPJ) Gubernur DIJ 2003, Kamis malam.
Secara rinci gubernur mengatakan aturan yang mendasari kewenangan Bawasda itu adalah PP 20/2001, Keppres 74/2001 dan Keputusan Mendagri 17/2001. Akibat mbalelonya sikap pemkot itu, mengakibatkan aparatnya tak bisa memeriksa dugaan penyimpangan dana senilai Rp 3,3 miliar yang terjadi di sana.
Pernyataan gubernur ini secara khusus disampaikan menanggapi pertanyaan FAN. Berbeda dengan kota, kabupaten lain ternyata jauh lebih akomodatif.
Terbukti, untuk Bantul dan Sleman, Bawasda bisa mengadakan pemeriksaan. Untuk Bantul, gubernur menjelaskan kasus dana supporting organisasi Rp 1,2 miliar telah diperiksa BPK Perwakilan III Jogja. Dengan begitu Bawasda tidak lagi mengadakan pemeriksaan.
Sedangkan kasus di Sleman, Bawasda telah menindaklanjuti adanya laporan soal kasus tanah senilai Rp 33 miliar. Setelah diadakan koordinasi dengan Bawasda Sleman, tak ditemukan adanya pengadaan tanah senilai itu. Di sisi lain, gubernur juga membeberkan secara keseluruhan hasil pemeriksaan Bawasda ada sejumlah 103 buah yang memuat 269 temuan dan 345 rekomendasi. Dari jumlah itu 328 telah selesai ditindaklanjuti dan 17 rekomendasi belum dapat ditindaklanjuti.
Terpisah, Kepala Bawasda Provinsi Suharto SH mengakui dari hasil pemeriksaan pihaknya menemukan sejumkah kasus. Rata-rata temuan itu terkait dengan aspek kedisplinan para karyawan. Kedisplinan itu bukan hanya dilihat dari kerap mangkirnya karyawan atau tidak. Tetapi pihaknya melihat hal itu secara lebih luas. Yakni dengan mengkaitkan antara jumlah karyawan dengan beban pekerjaan antar instansi.
Kasus selingkuh di kalangan karyawan, kata Suharto, juga masuk dalam temuannya. Tapi dari data yang ada belum ada laporan yang melibatkan pejabat. Rata-rata pelakuknya bukan menduduki jabatan alias hanya staf biasa, beber Suharto. (kus)
Sumber: Radar Jogja, 25 Juli 2004