Melacak Aset Korupsi Para Diktator

Mengembalikan aset korupsi para tiran yang telah diinvestasikan melalui sistem keuangan internasional bukanlah pekerjaan yang mudah. Dari pengalaman melacak aset hasil korupsi para diktator di berbagai negara, tingkat keberhasilan pengembalian aset (asset recovery) itu sangatlah rendah. Upaya pengembalian aset tersebut menghadapi kendala hukum yang pelik.

Pola korupsi
Banyak pola korupsi yang dilakukan oleh para diktator. Namun, pada umumnya mereka memanfaatkan celah dalam sistem keuangan dan hukum negara tertentu. David A. Chaikin (2001), penasihat hukum pemerintah Filipina dalam pengembalian aset hasil korupsi mantan presiden Ferdinand Marcos, mencatat berbagai pola korupsi diktator dan kesulitan yang dihadapi dalam pengembalian aset.

Di Afrika, Mobutu Sese Seko dari Zaire termasuk diktator yang korup itu. Dia mencuri miliaran dolar Amerika dari salah satu negara termiskin di dunia tersebut. Tapi otoritas pemerintah dan bank Swiss hanya menemukan sekitar US$ 3,4 juta. Kematian Mobutu di pengasingan dan permasalahan legitimasi internasional pemerintahan baru yang berkuasa mempersulit pengembalian aset tersebut.

Di Amerika Latin, Manuel Antonio Noriega, sang tiran Panama dan terpidana dalam perdagangan kokain, mentransfer sekitar US$ 20 juta dari hasil korupsinya ke bank-bank Eropa pada 1988. Namun, fakta bahwa Dinas Intelijen Amerika Serikat juga memberikan bantuan keuangan resmi kepada Noriega telah menimbulkan masalah hukum--apakah uang tersebut bersifat korupsi atau bukan.

Masalah hukum
Berdasarkan kasus peradilan terhadap para diktator korup, ada dua permasalahan hukum utama yang dihadapi dalam upaya pengembalian aset (Chaikin 2001). Pertama, pengacara pembela koruptor menggunakan doktrin tindakan resmi negara (act of state doctrine) untuk membenarkan tindakan kliennya. Atas dasar doktrin ini, pengadilan dapat menolak mengadili tindakan atau keputusan pemerintahan asing yang diambil berdasarkan hukum negara itu.

Doktrin inilah yang digunakan oleh pengacara Marcos untuk melawan klaim pemerintah Filipina atas aset Marcos di New York dan California. Tapi pengadilan banding New York menolak penggunaan doktrin ini. Pengadilan tersebut beralasan bahwa perbedaan harus dibuat antara tindakan pribadi dan tindakan resmi kepala negara. Di Amerika Serikat, peradilan tidak memiliki wewenang mengadili tindakan resmi kepala negara, tapi tindakan kepala negara dalam kapasitas pribadi tidak termasuk dalam pengecualian ini. Tapi, dalam kasus tuntutan pengembalian aset milik Duvalier, diktator Haiti, Mahkamah Agung Prancis membenarkan penggunaan doktrin ini.

Masalah hukum kedua terkait dengan penggunaan asas forum non-konveniens (court of convenience). Berdasarkan asas ini, di Amerika Serikat, pengadilan dapat menolak memeriksa suatu kasus, meskipun kasus tersebut berada dalam yurisdiksinya. Penolakan ini dilakukan jika pengadilan memutuskan kasus tersebut akan lebih layak dan tepat bila diadili oleh forum atau pengadilan lain.

Asas ini digunakan untuk menolak klaim pemerintah Iran atas aset hasil korupsi Shah Iran yang disembunyikan di New York. Berdasarkan asas ini, pengadilan banding New York memperkuat putusan pengadilan bawahan yang menolak memeriksa klaim tersebut. Dalam kasus ini, pemerintah Iran gagal meyakinkan hakim dalam membuktikan adanya hubungan yang substansial antara tindakan korupsi tersebut dan forum tempat tuntutan diajukan.

Solusi hukum
Dari permasalahan hukum tersebut, jelas bahwa dalam upaya pengembalian aset, kerja sama internasional dalam bidang peradilan dan penegakan hukum antikorupsi sangatlah penting. Harmonisasi sistem hukum perdata dan pidana internasional perlu segera dilakukan untuk memudahkan pengembalian aset itu. Sebab, selama masih ada satu negara yang memberikan celah hukum kepada koruptor untuk menyembunyikan asetnya, selama itu pula upaya hukum tersebut akan sulit dilakukan.

Selain itu, masyarakat hukum internasional harus segera membentuk kaidah-kaidah hukum (jus cogens) yang dapat mempersempit ruang gerak para diktator korup untuk melakukan kejahatan mereka. Sudah saatnya kejahatan korupsi disamakan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan atau hak asasi manusia. Perlakuan hukum terhadap penguasa korup harus sama seperti perlakuan terhadap penjahat kemanusiaan. Sebab, korupsi sudah sangat merusak serta menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Roby Arya Brata, KANDIDAT DOKTOR DAN DOSEN TAMU BIDANG ANTIKORUPSI DI THE AUSTRALIAN NATIONAL UNIVERSITY

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 11 Maret 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan