Mematenkan Satgas Mafia Hukum
GEBRAKAN pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dalam memberantas mafia hukum di negeri ini, tampaknya, tidak akan pernah sepi dari berbagai rintangan. Di tengah perjalanan gebrakan pemberantasan itu, sejumlah tantangan baru bermunculan yang muaranya mulai tercium jelas. Yakni, upaya menghentikan pemberangusan para koruptor. Untuk memuluskan aksi yang berusaha melemahkan amunisi pemberantasan mafia hukum itu, setiap celah dengan berbagai sudut pandang yang beragam terus ditelusuri para mafia hukum.
Setidaknya, sinyal tersebut mulai bergejolak ketika ada gugatan terhadap eksistensi Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang lebih populer dengan istilah Satgas Mafia Hukum. Sebagaimana diketahui, sejumlah pihak yang bernaung dalam Petisi 28 sedang mempersiapkan diri untuk menggugat lembaga bentukan Presiden SBY itu. Upaya tersebut dikonkretkan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung terkait Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
Sementara itu, dalih yang dikumandangkan dalam pengajuan gugatan kali ini adalah Satgas Mafia Hukum diklaim tidak berdampak signifikan dalam proses penegakan hukum di tanah air. Bahkan, satgas dituding sebagai kepanjangan tangan pemerintahan SBY dalam mendongkrak popularitas serta membangun pembentengan kekuasaan.
Begitu juga, masalah landasan yuridisnya turut dipersoalkan dan dikategorikan telah menyalahi sistem ketatanegaraan yang ada. Pijakan hukum pembuatan Keppres Nomor 37 Tahun 2009 dianggap tidak selaras dengan ketentuan dalam pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Sebab, dalam ketentuan itu, tidak termuat kewenangan presiden dalam membentuk institusi yang bernama satgas.
Yang dipersoalkan Petisi 28 tersebut memang bisa dipahami sebagai sebuah bentuk kekecewaan terhadap institusi penegak hukum negeri ini. Kehadiran satgas dalam memberangus para mafia hukum yang sudah lama menggerogoti bangsa ini belumlah maksimal sebagaimana tujuan awal pembentukannya. Masih banyak lubang dalam bentuk kejahatan para mafia hukum yang belum mampu dibongkar satgas ke permukaan untuk kemudian ditata dengan langkah hukum permanen.
Patut Disesalkan
Namun, yang patut disesalkan adalah upaya menggugat eksistensi institusi Satgas Mafia Hukum. Idealnya, upaya hukum dalam bentuk gugatan yang sedang dilakukan saat ini ditempatkan sebagai kritik bagi pemerintah dalam membenahi kinerja institusi penegak hukum negeri ini. Kalau langkah itu diambil, tentu hampir bisa dipastikan mayoritas rakyat negeri ini akan mendukung sepenuhnya.
Karut-marut penegakan hukum di tanah air tentu telah membuat banyak kalangan merasa jengkel dan miris. Lalu, apakah dengan situasi yang runyam ini lantas perlu menggulirkan jalan pintas dengan merobohkan bangunan institusi hukum yang ada? Bukankah langkah itu justru akan melanggengkan berbagai upaya yang sedang ditata rapi para mafia hukum dalam merusak dan memorak-porandakan bangunan hukum bangsa ini?
Kehadiran Satgas Mafia Hukum memang sedikit banyak telah turut berpartisipasi dalam mendongkrak citra serta popularitas pemerintahan SBY. Namun, hal itu hanyalah pemaknaan politis semata. Kendati kinerja satgas belum mampu memenuhi harapan mayoritas rakyat Indonesia, setidaknya para personelnya telah menunjukkan bahwa mereka ada dalam bagian proses penegakan hukum negeri ini. Jadi, posisinya tidaklah berada dalam ruang hampa.
Terbongkarnya kasus sel mewah yang dihuni terpidana Artalyta Suryani alias Ayin, kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan, serta kasus mafia pajak yang dilakoni Gayus Tambunan beserta komplotannya menjadi bukti nyata betapa Satgas Mafia Hukum telah menyumbangkan karir terbaiknya dalam membuka tabir penegakan hukum negeri ini. Tanpa kehadiran satgas, tidak ada yang bisa memastikan bahwa kasus yang cukup menyedot perhatian publik tersebut akan muncul ke permukaan.
Melihat sepak terjang yang lumayan memukau itu, apakah relevan bila kemudian satgas dimusnahkan? Bukankah idealnya saat ini yang lebih urgen dilakukan adalah mendorong agar institusi tersebut lebih kencang menapaki jalan terjal penelusuran para mafia hukum?
Selain alasan kinerja satgas yang sudah menorehkan prestasi dalam perjalanan penegakan hukum negeri ini, langkah yang diusung Petisi 28 dengan menggugat Satgas Mafia Hukum ke Mahkamah Agung sangatlah tidak tepat. Bahkan, dari sisi hukum, gugatan judicial review kali ini justru salah alamat, cacat prosedural, dan keliru. Salah alamat karena mengajukan gugatan ke MA dengan merujuk ketentuan UUD 1945.
Sementara itu, cacat proseduralnya bisa dicermati dengan adanya upaya menghubungkan sebuah produk hukum yang bernama keputusan presiden dengan ketentuan dalam konstitusi. Yang bisa dikaitkan langsung dengan ketentuan UUD 1945 sebagai konstitusi kita dalam proses judicial review hanyalah produk hukum yang bernama undang-undang.
Bila di antara keduanya terjadi kontradiksi, ranah kewenangan pengujiannya menjadi domain Mahkamah Konstitusi. Namun, bila kontradiksi yang terjadi antara undang-undang dan produk hukum di bawahnya seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, hingga peraturan daerah (perda), ranah kewenangan pengujian menjadi domain Mahkamah Agung.
Sementara itu, kekeliruan yang terjadi adalah terkait dengan legal standing yang dimiliki para pemohon. Kalau dalih gugatan yang diajukan adalah masalah penyabetan kewenangan lembaga penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian, selayaknya yang berperan menjadi pemohon bukanlah masyarakat sipil, melainkan kejaksaan dan kepolisian. Melihat kompleksitas persoalan dalam gugatan ini, benang merah yang hendak dicapai para pemohon menjadi tidak terdeteksi.
Sebenarnya, yang justru perlu digagas adalah bagaimana agar Satgas Mafia Hukum bisa dipatenkan dengan memberikan wadah hukum yang lebih kuat. Pengaturan kedudukan yuridis institusi ini perlu dipayungi dengan sebuah produk hukum yang bernama undang-undang agar keleluasaannya dalam memberangus dan membabat habis para mafia hukum negeri ini segera terwujud.
Sembari menata payung hukumnya, personel satgas juga harus selalu diingatkan untuk tetap jeli serta peka dalam mendeteksi para mafia hukum yang masih berkeliaran di mana-mana. (*)
Janpatar Simamora, dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan; sedang berstudi di Program Pascasarjana UGM Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 24 Juni 2010