Membaca Manuver Nazaruddin
TIAP detail informasi dari Muhammad Nazaruddin, salah satu tersangka kasus suap pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI di Jakabaring Palembang harus disaring dengan seksama. Pasalnya, keterangan yang disampaikannya kadang bertolang belakang dengan beberapa kejadian. Merunut beberapa pernyataannya dulu misalnya, bahwa ia tak mau makan karena takut diracun, ternyata terbantahkan. Rekaman CCTV yang diputar KPK pada awal pemeriksaan memperlihatkan mantan bendahara umum Partai Demokrat itu lahap memakan nasi padang.
Tak hanya dia, informasi yang keluar dari kuasa hukum Nazaruddin pun perlu dipilah-pilah dengan teliti. Contohnya, ketika tim pengacaranya ngotot mengatakan bahwa penegak hukum berusaha menghalang-halangi agar Nazaruddin tidak didampingi kuasa hukum, ternyata bukti yang ada mengarah ke Nazar sendiri yang memang belum mau didampingi. Dari dua peristiwa itu saja, apa yang disampaikan oleh Nazar dan kuasa hukumnya mengandung kesimpangsiuran atau jangan-jangan juga kebohongan.
Di depan Komite Etik KPK pun, Nazaruddin berkata bahwa ada duit ratusan ribu dolar AS Serikat yang akan diberikan ke Chandra M Hamzah, salah satu pimpinan KPK, terkait dengan beberapa program. Nazar bahkan mengaku lima kali bertemu. Namun, ketika Komite Etik mencecarnya dengan pertanyaan penggunaan uang itu, Nazar berkilah dengan menjawab uang tak jadi diberikan. Dia berkata ada program, tetapi ketika ditanya apa programnya, jawabannya hanya,”...adalah...”
Dengan berubah-ubahnya keterangan yang dia sampaikan, kita patut merasa tak yakin dengan keseriusan dirinya yang berjanji membongkar segala tindak pidana korupsi yang sedang menjerat dirinya. Penulis sendiri merasa tak yakin sejak Nazar di depan media memohon agar dia langsung divonis dan pemerintah menjaga keselamatan istrinya. Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan, Nazaruddin titip pesan via pengacaranya untuk Presiden SBY. Isinya meminta agar kasusnya berhenti hanya pada dirinya. Dia berjanji tak akan membuka borok politikus ataupun partai politik yang masuk ke 31 kasusnya. Untuk itu, dia meminta jaminan keselamatan anak istrinya. (SM, 18/08/11).
Patut Diragukan
Dari sini, keseriusan Nazaruddin membongkar kasus korupsi besar patut diragukan. Selain itu, beberapa pernyataannya terkesan sebagai sebuah manuver yang sedang dimainkannya untuk tujuan tertentu. Penulis menganalisis bahwa tujuan manuver tersebut boleh jadi dimaksudkan untuk menyerang dan melemahkan KPK.
Ketika bicara mengenai isu kebobrokan KPK, perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pimpinan KPK, Nazaruddin begitu bersemangat. Mulai pernyataan tak diberi makan, tak didampingi pengacara, bertemu dengan pimpinan KPK, mau memberikan duit ke pimpinan KPK, hingga menyatakan tak mau diperiksa KPK, adalah serangkaian pernyataan yang menyudutkan KPK. Seakan-akan Komisi itu kotor, dan diragukan integritasnya.
Tetapi tatkala diminta bicara dan dimintai keterangan mengenai siapa saja yang terlibat dalam kasus suap pembangunan wisma atlet, Nazar tanpa ditekan pun berinisiatif untuk bungkam, sampai harus menitip pesan ke Presiden SBY.
Lindungi KPK
Manuver Nazaruddin, yang boleh jadi jurus menyerang KPK, harus diawasi betul. Komisi itu perlu dilindungi. Secara kelembagaan mutlak dilindungi bila ingin didapatkan informasi hukum yang sesungguhnya dari Nazar mengingat belum lama ini terasa ada serangan yang ditujukan ke KPK. Mulai wacana pembubaran KPK, hasil survei yang menyoroti kinerja KPK sehingga mengarah pada isu yang mengatakan ada intervensi terhadap seleksi calon pimpinan KPK. Saat ini, Nazaruddin yang terlihat ikut-ikutan menyerang KPK.
Wacana dan isu yang terkesan mendiskreditkan KPK tersebut, boleh jadi menghambat dan memperlambat kinerja KPK dalam memeriksa Nazaruddin. Adalah sia-sia belaka tatkala komitmen untuk melindungi tersangka korupsi tidak dibarengi dengan perlindungan lembaga pemeriksa tersangka korupsi.
Kasus Nazaruddin dan pembangunan suap wisma atlet harus dituntaskan. Kalau manuvernya tak bisa dibendung maka berrisiko mengebiri pemeriksaan hukum. Kita berharap KPK tidak pernah terjebak dengan manuver dan pernyataan Nazaruddin. Jika pun tak mendapatkan informasi dari Nazaruddin, informasi lain masih bisa diperoleh dari tersangka lain, yang nanti memberikan pengakuan di muka persidangan. (10)
Hifdzil Alim, peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 14 September 2011