Membaca Pengelolaan Keuangan Sumbar
Pengelolaan keuangan negara dan daerah yang baik sangat berhubungan penyelenggaraan pemerintahan bersih. Dan, pemerintahan yang bersih dapat berarti rendahnya tingkat korupsi di sebuah institusi atau daerah. Syarat terpenting terletak pada transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap hukum. Sebagai sebuah sub-sistem, maka ia akan mendorong perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan keuangan negara dan daerah yang baik sangat berhubungan penyelenggaraan pemerintahan bersih. Dan, pemerintahan yang bersih dapat berarti rendahnya tingkat korupsi di sebuah institusi atau daerah. Syarat terpenting terletak pada transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap hukum. Sebagai sebuah sub-sistem, maka ia akan mendorong perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Audit BPK
Laporan hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang disampaikan pada DPR Kamis, 17 April 2008 lalu cukup mengejutkan banyak pihak. Karena, pada dasarnya hasil audit dan temuan penyimpangan keuangan di berbagai institusi dan pemerintahan daerah tersebut semakin memperjelas catatan miring penyelenggaraan pemerintahan. Apa boleh buat. Memang demikianlah fungsi dan peran BPK yang diamanatkan konsitutsi. Ia adalah pengawal yang bertugas memantau sekaligus memastikan pengelolaan keuangan negara dan daerah telah berada di jalurnya.
Laporan keuangan pemerintah daerah, misalnya. Secara keseluruhan, BPK mencatat ada 5 persoalan dalam pengelolaan keuangan daerah. Pertama, indikasi kerugian negara Rp. 420 miliar. Kedua, terdapat kekurangan penerimaan mencapai Rp. 250 miliar. Ketiga, temuan administrasi lebih dari Rp. Rp. 20 triliun. Keempat, adanya pemborosan anggaran hingga Rp. 450 miliar. Dan, kelima, ditutup dengan penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan tujuan sebesar lebih dari Rp. 2 triliun.
Jumlah penyimpangan diatas tentu bukan sekedar angka. Ia berhubungan erat dengan berhasil atau tidaknya pemimpin kita mengelola keuangan. Keberhasilan ini sejatinya tentu berhubungan dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Atau, berbanding terbalik dengan angka kemiskinan. Dengan kata lain, semakin berhasil pemerintah mengelola daerah atau negara, maka semakin sejahtera rakyatnya. Dan, semakin turun tingkat kemiskinan. Bercermin dari laporan BPK diatas, agak sulit memberikan penilaian positif pada pemerintah.
Keuangan Sumbar
Lantas, bagaimana dengan provinsi Sumatera Barat? Tanpa bermaksud skeptis terlalu jauh terhadap pengelolaan keuangan provinsi ini, penting dicermati beberapa trend yang sempat diamati. Sayangnya, Sumbar masih dikategorikan sebagai propinsi yang tidak cukup patuh dalam menindaklanjuti temuan penyimpangan anggaran oleh BPK. Berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menggunakan hasil audit BPK sebagai bahan dasar, ditemukan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Tingkat kepatuhan Sumbar masih tetap rendah. Terdapat sekitar Rp. 4,94 triliun temuan yang belum ditindak lanjuti. Atau, dengan persentase 89,82%. Hal ini tentunya harus disikapi pemda sesegera mungkin. Selain berarti rendahnya komitmen untuk transparan dan akuntabel, catatan ini akan mengancam posisi gubernur dan wakil gubernur. Minimal untuk proses pilkada berikutnya.
Catatan kelam ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari temuan BPK di periode sebelumnya. Pada pemeriksaan semester 1 tahun 2007, tingkat ketidakpatuhan Sumbar mencapai angka 83,51%. Atau, BPK mencatat adanya dugaan penyimpangan sekitar Rp. 1,62 trilun yang belum ditindaklanjuti. Semoga catatan ini tidak justru ditanggapi sinis oleh rekan di Pemda Sumbar. Seperti yang diketahui, ICW juga salah satu lembaga yang mendorong Gamawan Fauzi dalam penganugerahan gelar Bung Hatta Award beberapa tahun lalu. Semacam penghargaan terhadap putra terbaik yang punya komitmen menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan anti korupsi. Tentunya, penting untuk terus menjaga konsistensi dan komitmen bung Gubernur.
Atas dasar itulah, disarankan agar Pemda segera mencermati rekomendasi BPK tersebut. Perlu diingat, gubernur dan wakil gubernur dipilih rakyat secara langsung. Pemilihan ini sekaligus berarti penitipan harapan untuk sang pemimpin. Sangat masuk akal jika masyarakat Sumbar tidak ingin terjadi penyimpangan pengelolaan uang rakyat. Apalagi penyalahgunaan kewenangan. Di sisi lain, harus diakui, kepemimpinan Sumbar memiliki catatan positif. Berdasarkan prediksi Bank Indonesia (BI), misalnya. Untuk triwulan I tahun 2008, diperkirakan akan dituntaskan dengan pertumbuhan ekonomi lebih dari 7%. Meskipun sempat jatuh di awal tahun 2007, kenaikan secara perlahan mulai terasa hingga akhir triwulan 2007. Catatan ini sangat berhubungan dengan efektifitas pemanfaatan dana APBD.
Satu hal yang penting dicatat, ketertiban administrasi dan keuangan daerah akan sangat berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Misal: tentu sektor informal tidak mungkin tumbuh jika alokasi APBD untuk sektor ini tidak dicairkan atau tidak dikelola dengan baik. Sehingga, dalam kajian lebih luas. Penyelenggaraan keuangan daerah yang baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Atau, pemerintahan yang bersih niscaya akan semakin memakmurkan rakyatnya. Apakah hal itu mungkin terjadi untuk Sumatera Barat? Mungkin, Ya. Dan, sebaliknya. Mungkin, Tidak. Pertanyaannya, dapatkah pemimpin daerah ini menjaga komitmen dan tetap serius menerapkan pengelolaan keuangan yang bersih tanpa KKN?
Kembali pada audit BPK semester II tahun 2007 yang baru dirilis pertengan April 2008 ini, sikap kenegarawanan pemimpin daerah mutlak diperlukan. Dari sudut pandang peraturan perundang-undangan harus diakui terdapat beberapa kelemahan. Seperti belum kunjung diterbitkannya peraturan pemerintah yang mengatur tentang detail pemenuhan tindak lanjut pemeriksaan BPK. Dan, belum adanya mekanisme sanksi yang tegas untuk kepala daerah yang melangar. Akan tetapi, kelemahan tersebut tentu tidak menghilangkan kewajiban kepala daerah atau pejabat negara melakukan pengelolaan keuangan yang benar. Karena hal ini melekat pada jabatan dan tugas anda sebagai pemimpin. Selain itu, deretan temuan penyimpangan juga mengarah pada makna adanya dugaan korupsi. Baik, korupsi yang dimulai dari penyelewengan administratif, ataupun penggunaan uang masyarakat di APBD yang tidak sesuai dengan tujuannya.
Lebih dari itu, masyarakat bukanlah objek yang pasif. Sebagain dari mereka terus mengawal kepemimpinan di Sumatera Barat. Mengawasi pengelolaan keuangan daerah. Dan, memastikan tidak serupiah pun uang rakyat yang bersarang di saku bapak atau ibu pejabat. Don't try to corrupt, We watch you!
Oleh : Febri Diansyah, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Padang Ekspres, 30 April 2008