Memberantas Korupsi dengan Cara-cara Korup

TAHUN 2007 segera berlalu. Kita akan memasuki tahun 2008 dengan agenda-agenda krusial menjelang Pemilu 2009, baik menyangkut bidang politik, hukum, maupun ekonomi. Selain itu, masalah sosial budaya, pendidikan, dan internasional, serta isu-isu Jawa Tengah menjelang Pilgub 2008, menjadi fokus tema laporan akhir tahun Suara Merdeka yang dimuat mulai hari ini.

MASYARAKAT tersentak kaget mendengar berita Rabu 26 September lalu. Betapa tidak? Koordinator Pengawasan, Keluhuran, Kehormatan Martabat, dan Perilaku Hakim pada Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, tertangkap basah menerima sejumlah uang terkait pembelian tanah untuk pembangunan gedung kantor KY di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Saat ditangkap penyidik KPK di rumah adik iparnya Jalan Panglima Polim, Irawady membawa uang tunai senilai Rp 3,36 miliar yang diduga sebagai hasil suap dari Freddy Santoso, Direktur PT Persada Sembada, pemilik tanah seluas 5.720 m2 yang dibeli KY.

Rincian barang bukti itu berupa uang tunai Rp 600 juta, dan di kantong celana ditemukan 30 ribu dolar Amerika atau senilai Rp 2,76 miliar (kurs dolar Rp 9.150) atau total mencapai Rp 3,36 miliar. Apa yang sesungguhnya terjadi pada kasus Irawady dalam konteks pemberantasan korupsi di Tanah Air ini?

Memang sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemberantasan korupsi mengalami kemajuan. Dulu orang tidak membayangkan seorang gubernur, bupati, atau wali kota bisa dijerat kasus korupsi. Namun, sekarang masyarakat bisa menyaksikan lewat media cetak dan elektronik.

Pemberantasan korupsi yang dipandang sebagai kejahatan luar biasa dari bumi Indonesia, sepertinya masih butuh waktu panjang, meski sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apalagi, realitas membuktikan pemberantasan korupsi ternyata masih diwarnai cara-cara korup, tebang pilih, campur tangan kekuasaan, tidak sedikit yang jalan di tempat, dan sebagainya.

Boyamin Saiman, pegiat antikorupsi dari lembaga Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mengemukakan, semangat yang ditempuh SBY dalam pemberantasan korupsi, bukanlah semangat revolusi, melainkan semangat reformasi alias tambal sulam. Kalau kepolisian dan kejaksaan diibaratkan sebuah bangunan rumah, penguasa tidak meruntuhkan seluruh bangunan penegak hukum yang sudah ada dan kemudian mendirikan bangunan baru. Pemerintah hanya menambal kerusakan pada bangunan tersebut. Karena yang ditempuh adalah cara-cara tambal-sulam. Tidak heran bila jalan yang akan dilalui akan bertele-tele.

Sistem Rapuh
Sejumlah pengamat menyatakan, bangunan sistem dua lembaga yang dipakai sebagai kendaraan penguasa dalam rangka memberantas korupsi, yakni kepolisian dan kejaksaan, masih rapuh.

Rapuhnya sistem di internal kepolisian dan kejaksaan, memberi peluang bagi penanganan korupsi dilakukan dengan cara korup, seperti suap, bisnis perkara, dan sebagainya, karena memang ada lubang-lubang yang memungkinkan terhadinya hal tercela semacam itu.

Pegiat antikorupsi dari KP2KKN Jateng, Abhan Misbah berpendapat, selain faktor individu manusia, sistem bangunan suatu lembaga pemberantas korupsi, sangat menentukan bagi terciptanya budaya penegakan hukum, apakah penegakan itu sesuai dengan jalur yang benar atau sebaliknya.

Bobroknya budaya penegakan hukum, tampaknya sangat dipengaruhi faktor minusnya sarana-prasarana serta minimnya biaya penyelidikan dan penyidikan oleh polisi/jaksa. Dalam kondisi serbaterbatas atau mungkin minus, pengaruh eksternal seperti suap dan sejenisnya, akan mudah merasuk di tubuh lembaga penegak hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman.

Penanganan kasus korupsi, menurut Direktur Lembaga Pembela Hukum (LPH) Yoyakarta Triyandi Mulkan SH MM, masih melihat siapa yang akan diperiksa. Kalau kasus KUT, kepala desa, kepala dinas, atau pimpinan proyek, dengan cepat ditangani dan biasanya segera maju ke persidangan. Mereka dihukum hampir sama dengan hukuman pelaku korupsi yang nilainya lebih besar.

Tetapi, untuk menteri, anggota legislatif, atau tokoh politik, sangat lamban dan terkesan sengaja diperlambat sampai masyarakat lupa kasusnya, dan cenderung diberi label sedang dilakukan pendalaman, pengumpulan data (puldat), atau masih ada kekurangan alat bukti.

Penanganan korupsi juga cenderung dialihkan pada area politik atau dijadikan usaha berupa anjungan tunai mandiri (ATM) oleh para pemeriksa akibat lemahnya komitmen para penegak hukum, dan lemahnya kontrol dari atas.

Masih banyak penanganan kasus korupsi yang bernuansa politis. Contohnya, dua kasus besar ditangani Kejati yang ditarik ke Kejagung. Yaitu kasus Hartati Murdaya dan Laksamana Sukardi, ternyata yang berlanjut perkara Laksamana Sukardi. Maka, patut dipertanyakan ke mana kasus Hartati Murdaya? Apakah itu sebagai bukti adanya nuansa politis dan campur tangan kekuasaan. Hal ini perlu dijelaskan pemerintah, khususnya jajaran Kejagung secara transparan kepada masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Kalau tidak ada penjelasan, berarti pertanyaan dari masyarakat sudah terjawab.

Itulah bukti dan wujud tidak seriusnya pemerintah menegakkan hukum, khususnya di bidang korupsi. Berhenti di tengah jalan atau tidak jelas penanganannya adalah bukti nyata. Jajaran penegak hukum belum serius, bahkan tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan untuk kepentingan pemeriksa dan sanksi terhadap penegak hukum juga makin tidak jelas.

Sampai saat ini upaya pemberantasan korupsi masih sekadar lips service, tebar pesona, dan bukan program realisasi dan perbuatan, tetapi masih sebatas wacana dan ucapan. Karena itu, penegakan hukum yang paling utama dan wajib adalah membersihkan lingkungan sendiri. Penegakan hukum dalam bidang apa pun, khususnya kasus korupsi tidak pernah akan tercapai kalau lingkungan penegak hukum tidak bersih dari KKN.

Tingkat korupsi yang terjadi sekarang bukan lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan, tetapi sudah merupakan kerakusan dan keserakahan dari aparat penegak hukum dan pejabat negara. Tingkat kesadisan koruptor sudah harus diamputasi dengan cara-cara yang luar biasa pula, agar kondisi perekonomian, politik, sosial, serta hak-hak sosial rakyat tercipta dengan harmonis.

Prediksi penegakan hukum ke depan, Triyandi pesimistis akan terjadi perubahan perilaku para penegak hukum akan serius memberantas korupsi. Sebab, identitas sebagai penegak hukum belum hilang dari mempermainkan hukum untuk kepentingan pribadi, kelompok, maupun tujuan, dan kepentingan politik tertentu. Sampai akhir tahun ini saja tanda-tanda adanya perbaikan moral, semangat, dan kinerja dalam pemberantasan korupsi masih jauh dari yang diharapkan masyarakat.

Kejaksaan
Dr Yudi Kristiana SH MHum, seorang jaksa yang menempuh studi doktor di Undip membuat disertasi tentang seputar mafia di tubuh kejaksaan. Dalam pengujian disertasinya Maret 2007, Yudi membeber kejaksaan sebagai bangunan paling menentukan dalam pemberantasan korupsi, yang jaringannya tersebar di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, memiliki lubang-lubang yang berpotensi bagi terjadinya penyimpangan penanganan kasus korupsi dengan cara korup.

Ia mengungkapkan, dalam struktur bangunan kejaksaan yang sifatnya sentralistik, hirarkis, birokratis, dengan menganut pertanggungjawaban sistem komando, kerap terjadi penyimpangan dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah.

Bentuk penyelewengan itu antara lain berupa penyimpangan dengan cara pemenuhan biaya operasional penanganan perkara melalui pemerasan. Penentu kebijaksanaan (atasan), kerap menjadikan penanganan perkara sebagai komoditas. Misalnya, rencana tuntutan ditawarkan rendah guna mendapatkan imbalan uang.

Akibat praktik korup di tubuh lembaga pemberantas korupsi itu, memunculkan dampak: (1) banyak perkara korupsi yang sesungguhnya cukup bukti dihentikan penyelidikannya, (2) pelaku korupsi dengan kerugian negara besar dituntut jaksa dengan pidana ringan, (3) jumlah laporan dugaan korupsi yang masuk dengan yang diselesaikan tak sebanding.

Kepolisian
Apa yang diungkap Yudi tidak menutup kemungkinan terjadi di kepolisian dan kehakiman. Namun, penelitian tentang bangunan sistem di kepolisian dan kehakiman secara khusus dan terperinci, menurut Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Undip Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, memang belum ada.

Sementara AKP Suhartono, penyidik Satuan Tindak Pidana Korupsi (Sat Tipikor) Polda Jateng dalam diskusi di Gedung DRPD Jateng, Juni 2007, mengakui masalah terbatasnya sarana-prasarana dan keterbatasan biaya penanganan perkara, menjadi kendala utama internal kepolisian dalam pengusutan korupsi, di samping kendala lain yang sifatnya eksternal.

Untuk penangan sebuah kasus korupsi selama setahun, penyidik hanya disediakan anggaran Rp 2,5 juta. Anggaran itu untuk membiayai saksi ahli saja sudah habis. Negara hanya menganakemaskan KPK. Apa-apa yang menjadi kebutuhan KPK dipenuhi. Jadi anggota KPK itu kentut saja dibayar. Jadi polisi seperti saya ini, rasanya jadi pupuk bawang saja, ucapnya.

Siapa yang bisa disalahkan kalau pemberantasan korupsi pada kenyataannya dilakukan dengan cara-cara korup? Sistem atau pelaku sistemnya? Rasanya dua pihak itu saling terkait. Dua-duanya sepertinya sama-sama harus diperbaiki.

Prof Satjipto Rahardjo mengatakan, studi yang dikemukakan Yudi Kristiana bisa menjadi bahan untuk refleksi dan evaluasi besar bagi dunia penegakan hukum pemberantasan korupsi, mulai dari perbaikan sistem sampai sumber daya manusia. Dia menilai, sistem memang punya pengaruh bagi kultur penegakan hukum, sebab ia (sistem) ibarat kendaraan menuju tujuan dari apa yang sedang diprogramkan (pemberantasan korupsi).

Kultur peradilan kita ini kan kultur liberal. Polisi, jaksa, hakim, jadinya ya saling terkam. Agar polisi, jaksa, dan hakim bersatu, membutuhkan perubahan kultur yang radikal, tuturnya.

Satu resep yang ditawarkan Prof Tjip, adalah sikap jangan terbelenggu oleh sistem. Pada sistem yang sudah ada saat ini, polisi, jaksa, dan hakim, harus memiliki sifat progresif.

Dalam sistem yang sudah baik, belum tentu penegak hukum tidak akan menyeleweng. Dalam sistem yang buruk, namun kalau pelaku penegak hukumnya progresif, akan menghasilkan penyidikan, penuntutan, dan putusan yang progresif pula, ucap dia.

Prof Tjip tidak ingin berandai-andai tentang masa depan pemberantasan korupsi. Bagi dia, mengedepankan bekerja sebaik-baiknya akan lebih berguna daripada berandai-andai. Yang jelas, koruptor akan belajar dari masa lalunya. Itu yang akan dihadapi.

Besar Pasak
Direktur Pascasarjana Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII) Prof Hendrawan Supratikno mengemukakan, pemberantasan korupsi sampai beberapa puluh tahun lagi, seperti masih akan besar pasak daripada tiang.

Biaya yang dikeluarkan untuk mendanai pemberantasan korupsi di KPK, kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, akan lebih besar daripada uang yang diselamatkan dari para koruptor.

Menurutnya, ini bagian dari proses pembelajaran yang harus dilalui. Roma tak dibangun dalam semalam. Untuk menumbuhkan budaya antikorupsi, prosesnya panjang. ''Budaya antre, cuci tangan sebelum makan atau sesudah kencing, baru matang setelah puluhan tahun, apalagi budaya antikorupsi, tutur Hendrawan yang pengajar Program Doktor Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.

Mantan Dekan Fakultas Ekonomi UKSW Salatiga ini tetap optimistis, budaya antikorupsi suatu saat akan terlahir. Interaksi kontrol, penegakan sistem tata kelola yang baik (good governance system), contoh kepemimpinan, dan sebagainya, akan melahirkan budaya antikorupsi. (Tim SM-37,77)

Sumber: LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG HUKUM, Suara Merdeka, 17 Desember 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan