Memberantas Korupsi; Efektifkan yang Sudah Ada
Sebenarnya dengan membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor), Presiden SBY justru memperumit langkah pemberantasan korupsi sendiri.
Akibatnya, akan memperbanyak tim, lembaga, atau kepanitian yang niscaya akan mengaburkan upaya itu.
Jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memanfaatkan semua lembaga yang sudah ada (lembaga negara, setengah atau kuasi negara, maupun lembaga pemerintah ) niscaya langkah itu akan lebih mudah diterapkan. Karena setiap langkah dalam upaya memberantas korupsi jika berjalan baik dan sebagaimana mestinya, sebenarnya telah cukup memadai. Justru pada hal-hal tertentu perlu lebih disederhanakan.
BPK
Jika diurut dari kelembagaan negara, sebenarnya dengan sistem penyelenggaraan negara yang kita bangun berdasar konstitusi (UUD 1945), telah mengarah pada penyelenggaraan negara yang bersih dan baik.
Lihat lembaga-lembaga negara yang dibentuk sesuai UUD 1945, baik sejak awal berdirinya negara kesatuan RI maupun melalui perubahan UUD 1945 yang dilakukan MPR periode 1999-2004 lalu.
Sederhananya, melalui Panitia Sembilan yang diketuai Ir.Soekarno, BPUPKI telah sepakat untuk membentuk sebuah lembaga negara yang bertugas memeriksa keuangan negara. Lembaga inilah yang kemudian dikenal sebagai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan dalam penyelenggaraan negara, BPK merupakan salah satu lembaga tinggi negara, seperti DPR, DPA, Presiden, dan Mahkamah Agung.
Prinsip dasarnya, jika DPR yang menetapkan anggaran negara (melalui fungsi budget), lalu digunakan oleh pemerintah, maka BPK-lah yang memeriksa penggunaannya.
Dalam praktiknya, khususnya pada masa Orde Baru, Presiden juga membentuk lembaga pengawas yang dalam praktiknya bertindak sebagai pemeriksa. Sementara, di instansi pemerintah dibentuk Inspektorat Jenderal (lingkungan departemen dan LPND), serta Badan Pengawas Daerah (provinsi maupun kabupaten/kota). Inilah penyebab seringnya muncul keluhan, betapa banyak pemeriksa keuangan negara, BPK, BPKP (yang dibentuk berdasar Keppres), Itjen, atau Deputi Pengawasan, dan Bawasda.
Satu
Saat merumuskan perubahan UUD 1945, Badan Pekerja (BP) MPR (1999-2004) telah merumuskan upaya mengarah pada penyederhanaannya. Dengan mengundang berbagai lembaga, baik lembaga negara (BPK), instansi pemerintah (BPKP, Itjen, dan Bawasda) organisasi IAI, World Bank, Asian Development Bank, dan lain-lain termasuk pakar, disepakati meningkatkan fungsi dan peran BPK.
Lembaga negara yang semula pada UUD 1945 diatur melalui Pasal 23 Ayat (5) dikembangkan manjadi satu Bab tersendiri, yakni Bab VIIIA, dengan 3 Pasal (Pasal 23 E, Pasal 23F, dan Pasal 23 G). Dipertegas hanya satu Badan Pemeriksa Keuangan. Di luar rumusan UUD 1945 juga dirancang agar BPKP yang sudah telanjur membesar disatukan ke BPK. Jadi ketika ada usulan ADB agar BPKP dilebur ke dalam BPK (Kompas, 18/12/2004) sebenarnya sejalan dengan yang dirumuskan pada perubahan UUD 1945.
Langkah ini sejalan dengan perumusan dalam tiga paket UU di bidang keuangan negara (UU No 17 Tahun 2003, UU No 1 Tahun 2004, dan UU No 15 Tahun 2004) di mana seluruh pemeriksaan keuangan negara menjadi tugas BPK . Di internal pemerintah dibangun sistem pengendalian intern keuangan negara, yang pada prinsipnya mencakup penyusunan administrasi keuangan negara (mulai dari pembuatan neraca, arus kas, pelaporan, pertanggungjawaban, dan lainnya. Tugas utama ini seolah terlupakan karena aparat lebih tertarik memeriksa), melakukan pengawasan (kontrol) atas penggunaan keuangan negara (jika dianggap perlu dapat melakukan audit, meski ini bukan tugas utama). Pengendalian intern keuangan negara dilakukan dimana uang negara dikelola, yakni departemen dan LPND, dan Pemerintah Daerah. Dan instansi yang mengendalikan (dan mengontrol) ini tak lain dari Itjen dan Bawasda.
Melalui UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dijelaskan bila keuangan negara juga mencakup APBD, BUMD, serta aset-aset negara yang ada di daerah, maka tugas-tugas BPK juga sampai ke daerah. Langkah ini sejalan dengan rumusan Pasal 23 G Ayat (1) UUD 1945, BPK berkedudukan di Ibu Kota negara dan memiliki perwakilan di tiap provinsi.
Korupsi
Jika kita membicarakan pemberantasan korupsi, semestinya kita mulai pemeriksaannya lebih dulu. Bagaimana mungkin kita menuduh seseorang, sekelompok orang, atau sebuah instansi melakukan korupsi manakala belum dilakukan pemeriksaan. Dan lembaga yang ditugaskan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tak lain dari BPK. Bahkan lembaga negara BPK dibentuk untuk tujuan itu , yakni memeriksa penggunaan uang negara. Bisa jadi penggunaannya benar, bisa juga terjadi penyimpangan yang didasarkan kepatuhan hukum (artinya sesuai peraturan atau tidak) serta apakah terjadi kerugian negara atau tidak. Jika kedua unsur ini terpenuhi, akan menjadi bukti awal telah terjadinya penyimpangan.
Kesulitan yang dihadapi dalam pemeriksaan justru disebabkan karena tidak dibangunanya sistem pengendalian intern keuangan negara itu. Termasuk di dalamnya karena tiadanya pengaturan dalam mekanisme penggunaan keuangan sebagaimana kerap dihadapi di daerah (Kompas, 27/4/2004 ).
Jika sekiranya telah terjadi penyimpangan, seperti terpenuhinya kedua unsur di atas, maka tugas instansi yang berwenang atau penegak hukum untuk menindaklanjuti. Ini sejalan rumusan di UU No 5/1973 tentang BPK, yang dilengkapi UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara.
Dalam penjelasan kedua UU itu dijelaskan bila instansi yang berwenang itu tak lain dari Kepolisian dan Kejaksaan. Kedua instansi ini ada di bawah lingkup pemerintah alias Presiden. Jadi tindak lanjut dari penyelesaian kasus korupsi ada di bawah kendali Presiden. Artinya, tanpa harus dirumuskan ulang, Presiden menjadi koordinatornya. Kalaupun kedua instansi itu kurang berfungsi, maka tugas kita (pemerintahlah) yang memfungsikannya .
Namun demikian, dalam hubungannya dengan korupsi, kedua instansi itu telah dilengkapi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang juga punya hak untuk menyidik (bahkan juga menjebak!). Ini karena adanya tuntutan dibentuknya lembaga kuasi negara (state auxiliary bodies). Padahal kehadiran lembaga kuasi negara yang kian banyak seperti sekarang ini mulai mendapat banyak gugatan (selain terjadinya tumpang tindih, juga menjadi beban keuangan negara yang kian berat) (Kompas, 30/4/2005). Artinya, jika ada kasus yang lolos dari Kepolisian dan Kejaksaan, maka bisa dihadang oleh KPK.
Namun, jika kita mengikuti rumus di atas, dasar penyidikannya adalah hasil pemeriksaan BPK (mungkin dilengkapi dengan pengaduan masyarakat). Hasil pemeriksaan itu bisa dalam bentuk Hapsem atau yang berbentuk partial, baik permintaan DPR ( ke depan juga DPD ), DPRD, pemerintah (sekarang instansi pemerintah pun sudah lumrah meminta pemeriksaan BPK. Jika pemda, rasanya sudah berulang kali, melalui pemeriksaan on call) maupun yang lain.
Kalau perlu dilengkapi dengan pemeriksaan untuk tujuan tertentu, antara lain pemeriksaan investigatif yang akhir-akhir ini mulai populer. Kalaupun sebenarnya Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK ingin menindaklanjuti kasus-kasus korupsi, maka hasil pemeriksaan BPK yang ada saja akan cukup memadai. Kalaupun kurang memadai, maka tugas kita pula untuk meningkatkannya. Karena kita telah bersepakat bahwa itulah antara lain gunanya lembaga negara ini dibentuk. Jika tidak, tentu akan mubazir.
Karena itu, sepantasnya Presiden mengajak BPK dan lembaga negara lainnya untuk meningkatkan langkah-langkah pemberantasan korupsi. Karena bagaimanapun kita harus sadar, bila ujung dari pemeriksaan dan penyidikan itu adalah lembaga peradilan.
Karena itu perlu pula koordinasi dengan Mahkamah Agung (bahkan juga Mahkamah Konstitusi). Bukankh negara Indonesia adalah negara hukum? Karena itu tak perlu lebih banyak membentuk lembaga, tim, atau panitia. Kita cukup mengefektifkan yang sudah ada. Itu saja!(Baharuddin Aritonang anggota BPK; Tulisan ini pendapat pribadi)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 10 Mei 2005