Memberantas Mafia Peradilan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memilih Basrief Arief sebagai Jaksa Agung pada hari yang sama saat DPR memilih Busyro Muqoddas sebagai Ketua KPK.
Penentuan dua petinggi institusi hukum di Indonesia yang dilakukan pada saat yang sama barangkali bisa dipandang sebagai keinginan presiden agar tercipta sinergi penegak hukum. Sebelumnya SBY telah memilih Timur Pradopo sebagai Kapolri sehingga harapan sinergi adalah sesuatu yang wajar. Dengan adanya pemimpin baru di ketiga lembaga, akan lebih mudah dilakukan sinergi dan koordinasi di antara penegak hukum untuk memberantas korupsi, bukan kompetisi.
Salah satu tantangan dalam pemberantasan korupsi adalah pemberantasan mafia peradilan atau praktik korupsi di lembaga peradilan. Berbagai kasus yang terungkap pasca-kriminalisasi terhadap pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan bagaimana mafia peradilan masih menjadi persoalan yang parah di institusi kejaksaan dan kepolisian.
Mulai dari kasus besar seperti rekening gendut polisi dan kasus Gayus Tambunan hingga kasus-kasus kecil kontroversial: kasus Nenek Minah yang didakwa mencuri kakao, kasus Prita yang diadili karena keluhan pelayanan rumah sakit dan berbagai kasus lainnya, sesungguhnya adalah puncak dari gunung es mafia peradilan.
Korupsi telah menyandera institusi penegak hukum sehingga dari kasus-kasus tersebut tampak pelakunya tersebar, mulai dari pejabat tinggi hingga jaksa dan polisi rendahan. Kasus-kasus itu menunjukkan bagaimana korupsi telah merasuk semakin dalam ke struktur kepolisian dan kejaksaan sehingga setiap upaya memberantasnya tidak mudah untuk dilakukan.
Presiden telah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Namun, satgas ini tak memiliki wewenang yang cukup sehingga pada akhirnya dalam pelaksanaannya kembali kepada kejaksaan dan kepolisian. Dalam beberapa kasus satgas tak menemui hambatan, tetapi dalam kasus-kasus besar yang disorot publik, seperti kasus Gayus dan rekening gendut polisi, serta dalam kasus yang terkait dengan petinggi di dua institusi tersebut, tampak satgas tidak berdaya.
Sulitnya memberantas mafia peradilan juga bisa dilihat dari kinerja KPK. Puluhan anggota dan mantan anggota DPR telah dipenjarakan dalam kasus korupsi, demikian juga kepala daerah. Pejabat tinggi negara pun tidak bisa lepas dari penindakan oleh KPK, bahkan kasus korupsi yang melibatkan sejumlah mantan menteri berhasil dituntaskan oleh KPK.
Akan tetapi, dalam daftar terpidana KPK hanya ada satu jaksa, yakni Urip Tri Gunawan yang dipenjara karena suap Arthalyta Suryani, dan satu polisi AKP Suparman yang diadili karena melakukan pemerasan dalam kasus PT Industri Sandang saat bertugas di KPK.
Meskipun posisinya secara politik independen, ketika berhadapan dengan kasus yang melibatkan penegak hukum, KPK tampak kehilangan independensinya. Salah satu sebabnya adalah bahwa penyidik dan penuntut di KPK diterjemahkan secara sempit oleh pemimpin KPK harus direkrut dari polisi dan jaksa.
Sinergi dengan presiden
Hukum di Indonesia diadopsi dari sistem hukum yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Jika hukum di negara-negara Eropa pada mulanya ditujukan untuk mengontrol kekuasaan bangsawan, maka hukum di Indonesia didesain untuk mengontrol rakyat (Jayasuriya, 1999). Apalagi hukum yang diberlakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda jelas sejak awal tujuannya adalah mengontrol rakyat untuk meredam protes dan pemberontakan. Sistem hukum seperti itu yang kemudian diwarisi oleh Indonesia dan kemudian dipergunakan dengan efektif, terutama pada masa Orde Baru untuk menopang kekuasaannya. Hukum adalah instrumen penopang kekuasaan, bukan pengontrol kekuasaan, apalagi menjamin hak-hak rakyat. Yang terjadi bukan rule of law, tetapi rule by law karena kekuasaan Orde Baru yang otoriter mendapatkan legitimasi hukum.
Sebagai imbalan atas jasa sebagai penopang kekuasaan, pada masa Orde Baru kekuasaan cenderung tutup mata terhadap praktik korupsi yang melibatkan penegak hukum. Ukuran keberhasilan hukum pada masa itu adalah bagaimana hukum mampu menciptakan ketertiban menurut kacamata penguasa Orde Baru.
Ketika kekuasaan Orde Baru tumbang, lembaga peradilan, terutama kepolisian dan kejaksaan, masih diisi orang-orang lama yang dibesarkan dalam paradigma pelayan kekuasaan dan menikmati privilese untuk melakukan praktik korupsi. Ketika Indonesia menikmati kebebasan pers, terungkaplah berbagai kasus korupsi peradilan yang pada masa lalu sering kali tidak terungkap dengan gamblang. Tak mengherankan jika dalam berbagai survei, lembaga peradilan, terutama kepolisian, ditempatkan sebagai salah satu instansi terkorup dibandingkan instansi lain.
Kondisi ini sebenarnya hendak diubah lewat berbagai program reformasi. Namun, tanpa efek pencegahan melalui penegakan hukum dan kepemimpinan yang kuat dari Presiden, program reformasi nyaris mustahil mencapai tujuannya. Celakanya, dalam berbagai kasus, seperti kriminalisasi pemimpin KPK dan kasus rekening gendut, tak tampak ketegasan Istana. Bisa jadi ketidaktegasan itu dibaca sebagai sikap tutup mata terhadap praktik korupsi seperti yang biasa terjadi di masa lalu.
Dengan warisan persoalan yang tidak ringan dan pilihan presiden kepada jaksa agung dari dalam yang praktis tak memiliki prestasi yang membanggakan, maka ketua KPK baru menghadapi persoalan berat. Tanpa rekam jejak memadai, sulit mengharapkan jaksa agung mampu buat terobosan membersihkan kejaksaan.
Situasi sama terjadi di kepolisian. Kapolri pilihan presiden juga bukan polisi dengan rekam jejak memukau sehingga sulit mengharapkan gebrakan dari Mabes Polri. Dalam situasi ini, sinergi KPK dan kejaksaan serta kepolisian adalah mimpi di siang bolong. Barangkali akan tercipta sinergi untuk kasus tertentu, tetapi dalam kasus yang memiliki konflik kepentingan terhadap para petinggi di kedua institusi itu, maka yang dihadapi KPK bukan sinergi tetapi resistensi.
Sejarah keberhasilan beberapa negara memberantas korupsi ditentukan keberhasilan membersihkan korupsi di lembaga peradilan. Juga pembentukan KPK dilandasi tingginya korupsi di lembaga penegak hukum. Keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia kelak akan ditentukan keberhasilan membersihkan korupsi yang melibatkan jaksa dan polisi. Untuk membersihkan praktik korupsi mafia peradilan, lebih tepat ketua KPK bersinergi dengan presiden agar menunjukkan ketegasan dan kepemimpinan yang kuat untuk memberantas korupsi, terutama di kepolisian dan kejaksaan.
J Danang Widoyoko Koordinator Badan Pekerja ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 2 Desember 2010