Membongkar Mafia Peradilan
Isu praktik permainan uang dalam penyelesaian perkara di Mahkamah Agung sudah lama didengar. Begitu luasnya isu itu, dalam suatu kesempatan berkunjung ke Gedung Mahkamah Agung, secara berkelakar seorang teman mengatakan, Kalau semua tiang dan dinding gedung ini berbicara, maka ia juga akan meminta uang kepada setiap orang yang berperkara di Mahkamah Agung.
Meski harus dibuktikan lebih lanjut, kelakar itu mulai menjadi fakta. Misalnya, Jumat (30/9), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah Gedung Mahkamah Agung (MA).
Terkait penggeledahan itu, KPK menangkap seorang mantan hakim tinggi, Harini Wijoso, dan lima pegawai MA serta menyita uang 400.000 dollar AS dan Rp 800 juta dari mereka (Kompas, 30/9). Uang itu diberikan Harini Wijoso, yang kini pengacara, untuk mengurus perkara tingkat kasasi MA (Kompas, 3/10).
Peristiwa penggeledahan MA itu mengingatkan kita pada penangkapan pengacara Abdullah Puteh, Tengku Syaifuddin Popon, di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Saat itu (16/6), KPK menangkap Popon ketika sedang melakukan transaksi dengan Wakil Ketua Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Syamsu Rizal Ramadhan. Transaksi yang dilakukan Popon terkait proses banding kasus korupsi yang dilakukan Abdullah Puteh.
Dari kedua kasus yang dibongkar KPK itu, sulit untuk dibantah bahwa pengadilan bersih praktik permainan uang dalam proses mendapatkan keadilan. Pertanyaannya, mengapa pengadilan kita begitu rentan terhadap praktik jual beli perkara?
Amat tertutup
Rifqi S Assegaf & Josi Katharina dalam Membuka Ketertutupan Pengadilan (2005) memulai bagian awal buku mereka dengan mengutip pendapat Jeramy Bentham, In the darkness of secrecy, sinister interest and evil in every shape have full swing. Only in proportion as publicity has place can any of the checks applicable to judicial injustice operate. Where there is no publicity there is no justice. Publicity is the very soul of justice.
Pandangan Bentham mengingatkan kita, lembaga yang tidak terbuka menjadi begitu rentan untuk terjadinya segala macam bentuk penyimpangan. Begitu juga dengan pengadilan, meski hampir setiap proses persidangan dimulai dengan kalimat, sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, tidak berarti pengadilan lebih terbuka dibanding lembaga- lembaga negara yang lain. Kalau mau jujur, mungkin dengan pengecualian Mahkamah Konstitusi, pengadilan kita jauh lebih tertutup dibandingkan lembaga lain.
Sejauh yang bisa diamati, banyak informasi yang tidak terkait dengan independensi hakim dalam memutus perkara begitu sulit disentuh pihak lain. Misalnya, menyangkut berita acara persidangan, biaya yang diperlukan dalam proses berperkara, dan jumlah serta penggunaan anggaran pengadilan satu periode tertentu. Padahal, semua informasi itu tidak terkait independensi hakim.
Isu lain yang cukup menarik menyangkut salinan kasus korupsi yang telah punya kekuatan hukum tetap (inkracht). Salinan kasus korupsi bisa punya nilai ekonomi cukup tinggi. Caranya, memperlambat salinan putusan sampai ke tangan eksekutor. Bagi koruptor, perlambatan salinan putusan tidak sekadar memperlambat eksekusi, tetapi juga membuka kesempatan untuk melarikan diri. Bukan tidak mungkin, sebagian koruptor yang melarikan diri tertolong oleh perlambatan salinan putusan sampai ke pihak eksekutor.
Meski sering mendapat kecaman, hingga kini hampir tidak ada perubahan perilaku pengadilan guna mempercepat penyampaian salinan putusan. Contohnya, sejak awal Agustus lalu MA menolak permohonan kasasi 43 orang mantan anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat Periode Tahun 1999-2004 dalam kasus korupsi APBD Tahun 2002. Tetapi, sampai saat ini, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat belum menerima salinan putusan itu. Akibatnya, putusan MA tidak bisa dieksekusi.
Sebetulnya, pada batas-batas tertentu, MA bisa belajar dari Mahkamah Konstitusi (MK). Sampai sejauh ini, hampir semua informasi dan proses persidangan di MK dapat diakses publik. Salah satu titik penting yang amat tertutup hanya rapat permuswaratan hakim dalam memutus suatu perkara. Bahkan, salinan putusan MK sudah dapat diakses selang beberapa saat setelah putusan dibacakan. Kalau hal serupa juga dilakukan MA, praktik jual beli perkara bisa diminimalkan.
Starting-point
Jual-beli perkara hanya salah satu bentuk dari praktik mafia peradilan. Dalam skala lebih luas, mafia peradilan adalah jejaring yang berupaya memperdagangkan kewenangan hukum. Semakin tertutup pengadilan, seperti diisyaratkan Bentham, mafia peradilan akan semakin menemukan puncak kekuatannya.
Karena itu, penangkapan lima orang pegawai MA harus dijadikan starting-point guna mengungkap praktik mafia peradilan. Langkah ke arah itu mulai terbuka dengan adanya janji Ketua MA untuk membantu dan memberi akses seluas-luasnya bagi KPK mengungkap tuntas kasus indikasi suap yang melibatkan pegawai MA.
Namun, jika ada political will memperbaiki citra pengadilan, Ketua MA harus memberi ruang kepada KPK untuk mengungkap semua indikasi jual-beli perkara yang terjadi selama ini. Kalau tidak, jangan pernah berharap untuk membongkar dan memutus jejaring mafia peradilan.
Saldi Isra Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang; Consultant Parliamentary Caucus Partnership for Governance Reform in Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, 7 Oktober 2005