Membongkar Suap Pemilihan Rektor PTN
Dalam acara ”Anticorruption Summit” II di UGM, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menyatakan ada indikasi tak akuntabel dalam pemilihan rektor di beberapa perguruan tinggi negeri (Kompas, 25/10).
Terkait dengan itu, anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, menyatakan, setidaknya tujuh PTN di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi yang terindikasi ada praktik suapdalam pemilihan rektor. Permainan suap melibatkan elite partai politik serta petinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Uang suap bervariasi, mulai dari Rp 1,5 miliar sampai Rp 5 miliar. Bahkan, di tiga PTN sudah terjadi penyerahan uang.
Sungguh tragis! PT adalah institusi yang teramat penting karena melalui pendidikan yang diselenggarakannya akan melahirkan generasi muda berkualitas yang akan berkompetisi di arena global sekaligus menjadi manusia berintegritas (intelektual dan moral). Itulah sebabnya PT merupakan institusi penyumbang utama maju-mundurnya peradaban bangsa. Namun, kini, ia telah diracuni oleh perilaku suap dalam pemilihan rektor.
Fakta suap dalam pemilihan rektor ini menunjukkan PTN telah jadi arena transaksi politik kekuasaan yang sangat membahayakan pembumian asas demokrasi. Sebab, selama ini PTN dianggap salah satu institusi percontohan yang diharapkan mampu menjalankan substansi demokrasi dalam tata kelola kepemimpinannya. Salah satunya adalah pemilihan rektor. Dengan fakta suap ini, sakralitas PTN telah pudar dan langgamnya tak berbeda dengan institusi lainnya dalam memilih pemimpinnya yang menghalalkan praktik suap untuk mendapatkan kekuasaan.
Salah satu sebab praktik suap dalam pemilihan rektor adalah karenaPeraturan Menristek dan Dikti No 1/2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada PTN. Dalam Pasal 7 disebutkan: dalam penentuan rektor, menteri memiliki 35 persen hak suara dari total pemilih. Adapun senat memiliki 65 persen hak suara, dan setiap anggota senat punya hak suara yang sama. Peraturan Menristek dan Dikti ini adalah bentuk intervensi sistemik pada otonomi politik di PTN.
Dalam praktiknya, saham suara 35 persen Kemristek dan Dikti ini acap kali dijadikan amunisi sakti untuk dijadikan sebagai alat mendukung calon-calon rektor yang dapat melayani kepentingan dan keinginan sang menteri.
Tak pelak lagi, siapa pun yang jadi calon rektor harus mendekat dengan sang menteri untuk mendapatkan ”restu” dalam pemilihan rektor. Politik restu ini acap kali membuat sang calon rektor dipaksa menggunakan jejaring politik kekuasaan parpol dan tokoh-tokoh tertentu agar dapat terpilih menjadi rektor. Di sinilah dugaan permainan dimulai, dengan menggelontorkan uang suap dan kekuatan pengaruh politik, yang akhirnya bisa menekan menteri menjatuhkan dukungan pada calon yang mendekat.
Korupsi favoritisme
Praktik ini, menurut DW Chapman (2005), merupakan korupsi dalam kategori favoritisme (favoritism), yakni perilaku culas dalam membuat keputusan dan kebijakan untuk mengarahkan dan mempromosikan seseorang dalam jabatan-jabatan tertentu sesuai dengan imbalan dan jasa yang dikehendaki. Favoritisme merupakan penyakit kronis birokrasi, yang menyebabkanrelasi yang tak sehat. Seperti dinyatakan R Klitgaard (1988) dalam bukunya,Controlling Corruption, ia berupa relasi timpang dalam pengelolaan birokrasi(principal-agent relation), di mana sang menteri sebagai principal dan sang rektor sebagai agent.
Dalam relasi principal-agentini akan menghasilkan hubungan bisnis jangka panjang, berupa monopoli sangprincipal untuk meminta balas jasa kepadaagent. Pada relasi ini, konkretnya acap kali dipergunakan untuk meminta feeproyek-proyek di PTN atau setidaknya agar sang agent dapat mengarahkan lokasi proyek di PTN kepada keluarga atau kolega sang principal. Bahkan, acap kali proyek-proyek di PTN dimonopoli politisi yang berjuang menjadi tim sukses rektor saat berjuang meraih 35 persen suara dari menteri.
Korupsi dalam bentuk favoritisme ini tak bisa dianggap biasa karena PTN seharusnya menjadi penyelamat dan agen anti korupsi justru jadi ladang baru korupsi bagi petualang dan calo-calo politik. Dapat dibayangkan jika semua kebijakan pengadaan barang dan jasa di PTN dibangun dalam sistem ijon dan kolutif di antara principal-agent, dipastikan tata kelola birokrasi PTN tak akuntabel dan transparan. Itulah sebabnya korupsi dalam bentuk suap pemilihan rektor ini perlu dikuak dan dibongkar jejaringnya agar tak mentradisi di PTN.
Adalah tugas Ombudsman RI, KPK, serta Kemristek dan Dikti bersama-sama memanggul tugas melakukan penyelidikan secara terbuka terhadap dugaan adanya praktik suap ini. Dapat dimulai dengan melakukan verifikasi ulang terhadap proses pemilihan rektor di sejumlah PTN yang diduga melakukan suap.
Saatnya pemilihan rektor PTN dilepaskan dari gurita politik ”restu” Kemristek dan Dikti dengan mencabutPeraturan Menristek dan Dikti No 1/2015, yang memberi mandat otoritas menteri memiliki saham 35 persen suara dalam pemilihan rektor. Seharusnya pemilihan rektor tak diintervensi pemerintah pusat dan memberikan ruang otonomi politik pada PTN secara luas untuk memilih dan menentukan sendiri dosen-dosen terbaiknya untuk memimpin PTN.
Jika Kemristek dan Dikti ingin mengambil peran dalam pemilihan rektor cukup dalam bentuk menetapkan tata tertib pemilihan. Proses pemilihan dan penentuannya dilakukan secara otonom. Intervensi menteri pada PTN tidak selayaknya ada di level kepemilikan saham 35 persen suara, tetapi dapat juga diwujudkan dalam bentuk pengawasan ketat saat pemilihan rektor agar dapat berlangsung secara transparan, akuntabel, dan demokratis.
AGUS RIEWANTO, DOKTOR ILMU HUKUM, PENGAJAR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 November 2016, di halaman 6 dengan judul "Membongkar Suap Pemilihan Rektor PTN".