Membuka Kontrak, Mencegah Korupsi
Antikorupsi.org, Jakarta, 27 September 2018 – Pada akhir 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan para Menteri dan Kepala Lembaga untuk mengawasi area-area rawan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Presiden menegaskan bahwa praktek itu tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga berpengaruh pada kualitas barang dan jasa. (Setkab, 2016).
Selain perintah tersebut, dalam Nawacita Presiden nomer 2 juga dikatakan hal serupa, yakni terkait membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan terpercaya. Hal ini dapat diartikan transparansi pengadaan barang dan jasa harus dikedepankan. Tetapi agaknya hal tersebut belum tercermin dalam aturan dan implementasi pengadaan barang dan jasa pemerintah di lembaga, kementerian, ataupun daerah.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadakan diskusi terfokus untuk membahas gagasan keterbukaan kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah. Diskusi ini berlatarbelakang perbedaan pandangan instansi pemerintah mengenai keterbukaan informasi publik. Diskusi yang bertempat di Restoran Sulawesi (18/9) mengundang para anggota FoINI (Freedom of Information Network Indonesia). FoINI adalah jaringan organisasi masyarakat sipil dan individu yang intensif mendorong keterbukaan informasi di Indonesia. Anggota FoINI yang hadir dalam diskusi yaitu Transparency International Indonesia (TII), Media Link, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Indonesia Budget Center (IBC), Indonesia Parliamentari Center (IPC), Open Government Indonesia (OGI), Hivos Open Contracting, dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.
Diskusi dibuka dengan presentasi oleh Koordinator Divisi Kampanye Publik ICW, Siti Juliantari, biasa dipanggil Tari. Tari menjelaskan betapa pentingnya keterbukaan kontrak untuk memberi akses kepada masyarakat guna turut serta mengawasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Selain itu, keterbukaan kontrak juga bertujuan untuk mencegah terjadinya praktek korupsi dan sebagai bentuk transparansi serta akuntabilitas pemerintah.
Data ICW menjelaskan bahwa korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah cenderung meningkat setiap tahunnya. “Pada tahun 2017 ada 241 kasus korupsi pengadaaan barang dan jasa, dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 195 kasus”, ungkap Tari. Jika melihat Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) No.14/2008, adalah hak bagi masyarakat untuk mengakses berbagai informasi yang dikelola pemerintah. “Salah satunya ada kontrak sehingga tidak ada ‘permainan’ spek untuk menjaga kualitas barang dan jasa itu”, tambah Tari.
UU KIP pasal 11 menyebutkan bahwa semua badan publik wajib menyediakan informasi publik meliputi diantaranya Daftar Informasi Publik (DIP) yang berada di bawah penguasaannya, serta perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga. Dalam sektor pengadaan barang dan jasa, penerapan informasi publik dimulai dari Rencana Umum Pengadaan (RUP), pengumuman, hingga pemenang lelang.
Implementasi di lapangan sangatlah berbeda. “Kami baru menemukan DIP di LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah)”, kata Tari. Menurut DIP LKPP disebutkan bahwa pagu anggaran, Harga Perkiraan Sendiri (HPS), Kerangka Acuan Kegiatan (KAK), rancangan kontrak, dokumen pemilihan, dokumen kualifikasi, dan berita acara hasil pelelangan dapat dibuka ke masyarakat. Prinsipnya adalah tidak ada rahasia setelah pengumuman pemenang. “Terbatasnya instansi pemerintah yang menurunkan UU KIP dalam bentuk DIP membuat transparansi yang menjadi concern Jokowi sulit dilakukan”, kata Ahmad Hanafi dari IPC.
Selain permasalahan ketaatan instansi pemerintah dalam membuat DIP, interpretasi dalam UU KIP Pasal 11 mengenai pihak ketiga juga menjadi polemik tersendiri dalam Komisi Informasi (KI). Peserta diskusi memandang bahwa pihak ketiga adalah perusahaan pemenang lelang, yang mana pihak pertama adalah masyarakat dan pihak kedua adalah pemerintah. “Oleh karena itu sudah seharusnya kontrak masuk dalam DIP”, kata Darwanto dari Media Link. Akan tetapi KI tidak memiliki pandangan yang sama bahkan menganggap kontrak adalah dokumen rahasia dan sensitif. Hal ini akhirnya berdampak pada banyaknya gugatan yang masuk ke KI untuk meminta kontrak pengadaan dibuka.*** (Dewi)