Memilih Pemimpin KPK
MULAI 25 Mei sampai 14 Juni mendatang, panitia seleksi (pansel) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka pendaftaran untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Antasari Azhar. Kekurangan jumlah komisioner membuat posisi ketua KPK hingga kini kosong dan pola kepemimpinan dilakukan bergilir secara kolektif. Kekosongan itulah yang ingin diisi untuk melengkapi jumlah lima pimpinan KPK.
Ada yang menarik dalam proses kali ini. Ada semangat untuk menyelamatkan sekaligus semangat melemahkan. Dua semangat itu tecermin dari deretan pendaftar. Bisa terbaca dengan jelas mana yang mewakili kepentingan yang konsen terhadap penyelamatan KPK dan kelompok yang ingin melemahkan KPK. Lalu, siapa pemenangnya? Itulah yang menarik untuk kita cermati.
Sudah menjadi tradisi, pemilihan pimpinan KPK selalu diawali dengan pikiran-pikiran kritis dan diakhiri dengan pesimisme atas figur-figur yang lolos seleksi. Hal itu tidak bisa dihindari karena hingga kini harapan masyarakat terhadap KPK untuk memberantas korupsi masih terlalu besar.
Mencari figur yang mumpuni secara keilmuan dan berpengalaman sungguh banyak dan tidak terlalu sulit. Namun, mencari figur yang berintegritas dan independen untuk Indonesia saat ini bisa diibaratkan mencari jarum di dalam jerami pada malam gelap gulita. Hal tersebut tidak terlepas dari jagat politik kita yang dipenuhi aktor-aktor yang tidak bersih dari masalah, sehingga tidak mungkin meloloskan orang yang berintegritas dan independen.
Memilih pemimpin KPK jauh lebih sulit daripada memilih presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Sebab, secara realita, walaupun para gubernur, bupati, dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat yang diasumsikan bisa memilih pemimpin yang bersih dari korupsi, ternyata yang bisa memenangi pemilukada biasanya justru figur yang bermasalah. Orang-orang yang relatif bersih akan tersisih dan kalah dalam kompetisi karena kalah uang dan taktik.
Pemimpin KPK nanti adalah sosok yang berhadapan dengan pemimpin-pemimpin politik yang memiliki masalah tersebut, mulai level bawah sampai orang nomor satu di Indonesia. Seleksi juga akan berhadapan dengan figur-figur yang mayoritas bermasalah. Atau, kalau ada yang bersih, dia harus mewakili yang tidak bersih. Karena itu, teramat sulit bisa memunculkan pemimpin baru KPK yang ideal, walaupun itu bukan hal yang mustahil.
Seleksi Politik
Sulitnya memunculkan figur yang bersih dari korupsi sebagai pimpinan KPK ke depan disebabkan proses pemilihannya berupa seleksi politik, bukan seleksi secara profesional dan independen. Setiap jenjang seleksi selalu sarat dengan kepentingan politik. Sementara itu, dunia politik kita penuh dengan permainan dan transaksi-transaksi. Tarik-menarik politik akan sulit dihindari dalam seleksi pimpinan KPK ini.
Namun, di tengah ruwetnya benang kusut perpolitikan di Indonesia, kita berharap KPK sebagai lembaga yang memiliki independensi bisa memotong lingkaran setan tersebut dengan tampilnya figur-figur yang berintegritas serta independen. Tanpa bisa melahirkan kepemimpinan yang ideal, mau tidak mau KPK akan menjadi bagian dari lingkaran setan itu sendiri. Hanya, sayang harapan yang besar terhadap figur ideal tersebut akan mengalami proses dan melewati panggung sinetron politik. Karena itu, semua pihak bisa menebak bagaimana ending ceritanya.
Memang, kita tidak meragukan integritas tim seleksi pemerintah yang dibentuk saat ini. Misalnya, sosok Syafi'i Ma'arif, Todung Mulya Lubis, dan Fajrul Falah. Namun, mereka hanya bekerja setengah jalan. Sebab, setelah figur-figur yang layak memimpin KPK terpilih, hasil seleksi itu diserahkan ke DPR. DPR-lah yang menentukan merah hijaunya pimpinan KPK nanti.
Ketika masuk ke lembaga DPR, SDM sebaik apa pun dan sebersih apa pun, tidak bisa tidak kalau ingin lolos menjadi pimpinan KPK, harus bisa berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan politik di Senayan. Komunikasi tersebut tidak sekadar memiliki kolega, teman, atau dikenal di parlemen. Mereka harus berani melakukan transaksi-transaksi politik, baik dengan eksekutif maupun legislatif.
Bahkan ditengarai, waktu pemilihan para pimpinan KPK yang lalu, muncul rumor bukan hanya politisi yang bermain, tapi banyak pengusaha yang menawarkan diri menjadi cukong dan menyediakan dana besar untuk meloloskan figur-figur yang akan mengisi KPK.
Kiranya, tidak terlalu naif bila berpandangan bahwa untuk waktu mendatang, hal-hal semacam itu juga sulit dihindari. Apalagi, masalah Century dan kasus-kasus korupsi besar lainnya hingga kini masih sangat banyak. Century hingga kini belum menunjukkan titik terang. Isu Century dan korupsi-korupsi besar lainnya tidak bisa tidak akan menjadi isu krusial dan mewarnai pemilihan KPK mendatang.
Keterlibatan dunia usaha terkait dengan pemilihan ketua KPK tidak terlepas dari fakta bahwa akhir-akhir ini banyak kalangan dunia usaha yang kesandung masalah hukum dan banyak ditangani KPK. Selanjutnya, pertemuan antara kepentingan pengusaha dan politisi di Senayan itulah yang akan menjadi pemotong cita-cita dan harapan masyarakat tentang KPK. Kelompok-kelompok yang mengandalkan hati nurani akan sulit memenangi kompetisi.
Selain itu, relasi eksekutif dan pengusaha terkait dengan kongkalikong pengerjaan proyek kini sedikit demi sedikit mulai terkuak. KPK merupakan lembaga yang diharapkan bisa menerobos kebuntuan tembok penutup kasus-kasus tersebut. Dengan demikian, pemilihan pimpinan KPK nanti jauh lebih seksi daripada pemilihan kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), kepala MA, dan ketua Mahkamah Konstitusi. Semua kepentingan akan bermain, baik yang berkuasa maupun yang oposisi, baik yang diuntungkan secara politis maupun yang dirugikan. (*)
Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN), Jawa Tengah
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 2 Juni 2010