Memperdagangkan Label "Kepatuhan"
Tuesday, 13 June 2017 - 00:00
Aroma busuk pemberian label kepatuhan Wajar Tanpa Pengecualian oleh Badan Pemeriksa Keuangan terbongkar sudah. Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil melakukan operasi tangkap tangan terhadap auditor BPK beserta mitranya dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Publik sangat mengapresiasi kinerja KPK yang membongkar "persekongkolan" untuk mendapatkan label kepatuhan tertinggi ini. Namun, temuan ini juga memberikan gambaran beban berat terhadap pemerintahan Jokowi untuk membersihkan "tikus-tikus" dalam tubuh birokrasi. Penyakit korupsi tidak hanya menjangkiti aparatur pelaksana program, tetapi juga BPK dan Inspektorat Jenderal. Kedua organisasi ini merupakan garda terdepan yang seharusnya turut menjaga amanah uang rakyat yang dikelola oleh lembaga-lembaga negara.
Dalam perspektif regulatory approach, fenomena memperdagangkan label kepatuhan ini merupakan cerminan rapuhnya sistem kepatuhan di kalangan birokrasi. Kerapuhan ini bersumber pada dua hal. Pertama, monopoli pengawasan sistem kepatuhan oleh aparatur negara. Kedua, lahirnya birokrat "instan" yang mengadopsi cara pandang label oriented dalam pendekatan public disclosure. Ibarat gayung bersambut, birokrat instan merupakan demand bagi auditor-auditor nakal di BPK yang memiliki kewenangan penuh dalam mendefinisikan kepatuhan sistem pelaporan keuangan.
Monopoli pengawasan
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016, BPK adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
BPK merupakan satu-satunya instansi yang memiliki kewenangan untuk melakukan audit dan memberikan penilaian terhadap laporan keuangan lembaga pemerintah, baik pada tingkat pusat maupun daerah. BPK dapat melibatkan akuntan publik untuk membantu melakukan tugasnya atas perintah BPK.
Hasilnya pun wajib diserahkan kepada BPK. Ketentuan ini tegas menjelaskan bahwa BPK memonopoli kewenangan untuk mendefinisikan apakah laporan keuangan instansi pemerintah telah memenuhi standar kepatuhan menurut regulasi yang berlaku.
Para ahli regulatory approach telah memperingatkan bahwa sistem kepatuhan yang mengadopsi pendekatan monopoli rentan terhadap praktik koruptif antara regulatory agency dan obyek audit (regulatory target).
Atas dasar argumentasi inilah BPK sebagai pemegang tunggal kewenangan melakukan pemeriksaan keuangan lembaga-lembaga negara rentan ketika menjalankan tugasnya.
Sebagai regulatory agency, BPK menjadi satu-satunya institusi yang diharapkan dapat menutupi kesalahan atau ketidakwajaran laporan keuangan lembaga-lembaga pemerintah. Tentunya, harapan ini disampaikan oleh regulatory target tidak dengan "tangan kosong". Pemberian fasilitas khusus pada saat pemeriksaan dan "komitmen komisi" pasca-pengumuman status laporan keuangan telah disiapkan organisasi pemerintah yang menjadi obyek audit BPK.
Kedua modus inilah yang senantiasa akan menggoda auditor BPK dalam menjalankan tugasnya. Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 2005 hingga 27 Mei 2017, sedikitnya terdapat enam kasus suap yang melibatkan 23 auditor/pejabat/anggota staf BPK (Kompas.com, 27/5/2017). Publik meyakini data ini hanya puncak dari gunung es praktik memperdagangkan label kepatuhan di BPK.
Birokrat "instan"
BPK menggunakan pendekatan public disclosure dalam menciptakan sistem kepatuhan laporan keuangan di lembaga-lembaga negara. Hasil audit laporan keuangan oleh BPK diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan secara terbuka untuk umum. Sistem audit yang kompleks disederhanakan dengan pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar, dan Tidak Menyatakan Pendapat.
Sebagai peringkat tertinggi, label WTP diberikan ketika auditor meyakini bahwa laporan mencerminkan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang menjadi dasar penilaian. Adapun WDP diberikan ketika laporan keuangan bebas dari salah saji material, kecuali untuk bagian-bagian tertentu.
Label "tidak wajar" mencerminkan adanya keraguan auditor terhadap laporan keuangan yang disajikan. Laporan keuangan tersebut berpotensi menyesatkan penggunanya dalam pengambilan kebijakan. Label paling buruk yang diterbitkan BPK adalah tidak menyatakan pendapat (disclaimer of opinion). Label ini diberikan ketika auditor tidak dapat mengakses bukti-bukti yang diperlukan sebagai dasar perumusan opini terhadap laporan keuangan yang disajikan.
Empat klasifikasi opini ini mempermudah publik untuk menilai pengelolaan keuangan di lembaga-lembaga negara. Selain itu, opini BPK juga menjadi dasar bagi Presiden untuk menilai kinerja reformasi birokrasi. Presiden Jokowi sangat mengapresiasi kinerja kementerian-kementerian yang telah berhasil mendapatkan opini WTP dari BPK. Presiden juga memberikan pekerjaan rumah khusus bagi lembaga-lembaga yang masih belum mencapai WTP.
Naming and shaming benar-benar diaplikasikan oleh Presiden dalam rangka membangun sistem kepatuhan dalam birokrasi. Banyak ahli regulasi menyarankan penggunaan naming and shaming untuk membangun sistem kepatuhan organisasi, baik publik maupun swasta. Namun, pendekatan ini menjadi bermasalah ketika aktor-aktor dalam organisasi merespons dengan cara pandang instan atau label oriented. Bagi birokrat-birokrat instan, pencapaian label kepatuhan, misalnya WTP, lebih penting daripada membangun sistem kepatuhan yang berkelanjutan. Bahan-bahan laporan keuangan disiapkan khusus untuk menghadapi audit bukan sebagai sistem keseharian. Jadi, hasil audit tidak mencerminkan perilaku berorganisasi yang senyatanya.
Tiga pilar
Operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang melibatkan auditor BPK dan Inspektorat Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menggambarkan akutnya penyakit yang menggerogoti sistem kepatuhan birokrasi. Oleh sebab itu, diperlukan langkah-langkah ekstra untuk mencegah penyakit ini menyebar ke lembaga-lembaga negara lainnya.
Pertama, sudah saatnya pemerintah menerapkan sistem audit yang inklusif. Sistem ini mensyaratkan pelibatan aktor-aktor di luar negara untuk masuk dalam sistem pengawasan laporan keuangan lembaga-lembaga negara. BPK perlu berkolaborasi dengan akuntan publik dan juga akademisi untuk melakukan audit bersama. Tentunya dengan relasi kerja yang seimbang. Akuntan publik atau akademisi dimungkinkan memiliki penilaian yang berbeda (dissenting opinion) terhadap hasil penilaian BPK. Perbedaan penilaian inilah yang akan membuka ruang dialog untuk memastikan sistem pengawasan yang lebih komprehensif dan kontekstual.
Kedua, tempatkan publikasi audit sebagai bagian dari pembinaan, bukan untuk penghakiman. Logika tit for tat atau sanksi menurut komitmen perbaikan dapat diterapkan. Artinya, temuan-temuan audit jadi dasar untuk perbaikan. Lembaga-lembaga negara yang laporan keuangannya belum mencapai WTP perlu dibina secara khusus untuk mengurai akar masalahnya. Apakah masalahnya terkait kapasitas dan kapabilitas organisasi atau merupakan bentuk kesengajaan oknum-oknum birokrat karena kepentingan tertentu.
Apabila unsur kesengajaan lebih mendominasi ketidakpatuhan dalam laporan keuangan, pendekatan kriminalisasi menjadi pilihan terakhir. KPK atau Polri wajib memastikan bahwa indikasi ketidakpatuhan administrasi ini merupakan bentuk pelanggaran hukum yang dapat menjadi dasar penghukuman.
Ketiga strategi inilah yang memungkinkan sebagai langkah awal untuk mengobati rapuhnya sistem pengawasan kepatuhan dalam birokrasi di Indonesia. Sistem pengawasan yang inklusif, pembinaan yang berkelanjutan, dan sanksi yang tegas menjadi prasyarat untuk membersihkan "tikus-tikus" dalam birokrasi. Uang rakyat perlu dikelola secara amanah untuk dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
BAHRUDDIN, Mahasiswa Doktoral di University of Melbourne; Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) UGM
------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Memperdagangkan Label "Kepatuhan"".