Mempersolkan Kinerja BK DPR

Ketika penyidikan aliran dana kasus BLBI yang mengalir hingga ke anggota DPR berlangsung, pada awalnya Badan Kehormatan (BK) yang diketuai Gayus Lumbuun rajin memberikan keterangan seputar pemeriksaan terhadap para wakil rakyat tersebut. BK seolah menjadi superbodi dan ditakuti. BK menjadi tumpuan harapan untuk menindak anggota dan mantan anggota yang dinilai nakal. Belakangan nyali BK seperti makin ciut ketika, ternyata, dana itu meluber ke berbagai arah dan menyeret nama-nama pejabat tinggi serta mantan pejabat tinggi.

Tak hanya di Jakarta, di Surabaya dugaan suap dari eksekutif ke legislatif untuk memuluskan pembahasan APBD sebesar Rp 250 juta dan suap beberapa proyek mencuat ke permukaan. Di sini bahkan tak terdengar kinerja BK menghadapi anggota DPRD yang dirundung masalah. Dipertanyakan, bagaimana sebenarnya posisi BK yang diharapkan menjadi self control bagi para wakil rakyat itu.

Acuan Normatif
Batas yang seharusnya tegas tetapi ternyata tidak tegas adalah soal bagaimana kinerja anggota BK yang secara normatif harus mengawasi moral dan perilaku para anggota dewan itu. Pada ranah tersebut, begitu sulit membedakan kapan terjadi pelanggaran hukum pada satu sisi dan pelanggaran etika pada sisi yang lain. Pada kasus tertentu, berbekal izin instansi terkait, ternyata aparat penegak hukum bisa saja langsung memeriksa anggota dewan tanpa memandang BK.

Untuk itu, paling aman kiranya kalau etika diletakkan sebagai domain internal, sementara itu hukum diletakkan pada domain eksternal. Batasan antara etika dan hukum itu harus dituangkan dalam produk hukum yang jelas, yaitu dalam peraturan DPR/D (vide UU No 10 Tahun 2004) yang mengikat tidak saja anggota dewan, tetapi juga instansi di luar, termasuk penegak hukum. Sebagai akibat ketidakjelasalan ranah tersebut, kinerja BK berada antara ada dan tiada. Eksistensinya ada. Kinerjanya tiada.

Mencermati acuan normatif tentang BK, lembaga yang dilengkapi sekretariat -tentunya juga anggaran- idealnya bertugas mengamati, mengevaluasi disiplin, etika, dan moral para anggota DPR/D dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan kode etik DPR/D.

BK juga meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPR/D terhadap peraturan tata tertib dan kode etik DPR/D serta sumpah/janji. Tetapi, bagaimana mau berkinerja, wong anggota BK berkedudukan sama.

Normatifnya, BK punya kewenangan untuk menyelidiki, memverifikasi, dan mengklarifikasi pengaduan pimpinan DPR/D, masyarakat dan atau pemilih. Berikutnya, BK menyampaikan kesimpulan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagai rekomendasi untuk ditindaklanjuti DPR/D. Pada dimensi itu, kinerja BK terbentur dengan tugas anggotanya yang notabene tidak punya keterampilan khusus untuk melakukan penyidikan sampai eksekusi.

Dari kinerja BK, baik di pusat maupun daerah, benturan yang mengemuka sehingga keberadaannya nyaris tak terdengar disebabkan ketidaktegasan, apakah pelanggaran-pelanggaran etika menjadi domain fraksi, komisi atau lembaga secara umum dan di manakah batas-batasnya. Siapa yang berwenang mengadukan terjadinya pelanggaran etika dan bagaimana menyidik jika terjadi pelanggaran tersebut.

Sifat tidak permanennya lembaga juga menjadi kendala ketika etika yang telah digariskan akan ditegakkan. Bersumber dari sifat fungsional dari kelembagaan DPR/D, konkretnya mengemuka sifat ewuh pakewuh dan proteksi yang diberikan kelompok (khususnya fraksi) terhadap anggota yang diindikasikan melanggar. Proteksi itu sebenarnya wajar, namun menjadi kendala dalam penegakan etika tersebut.

Ketika undang-undang menyatakan bahwa yang dijaga dan diawasi Badan Kehormatan adalah disiplin, etika, dan moral, ukuran kuantitas seperti apakah yang menjadi dasarnya. Demikian pula ketika ada indikasi terjadi pelanggaran, pelanggaran mana yang jadi kewenangan BK untuk selanjutnya dapat diverifikasi dan diklarifikasi. Berikutnya, batas mana yang bisa dijadikan acuan untuk menentukan, apakah pelanggaran tertentu berada pada pelanggaran etika atau pelanggaran hukum (norma).

Aspek lain yang menjadi penyebab disfungsionalisasi BK adalah kualitas kelembagaan BK. Secara struktural, seharusnya lembaga apa lagi yang mempunyai kompetensi untuk menindaklanjuti dalam bentuk sanksi, mempunyai akses yang lebih kuat. Hal itu tidak dimiliki BK. Sementara itu, pada aspek personal, mereka juga harus tetap berposisi sebagai anggota biasa yang berhadapan dengan rutinitas problematika kelembagaan dan tugas-tugas DPRD. Profesionalitas dan efektivikasi lembaga menghendaki kinerja personal yang secara khusus berada pada domain tersebut .

Kelemahan Praktis
Pada tataran praktis, permasalahan yang berhubungan dengan kode etik DPR/D memang sudah mencerminkan kelemahan sejak awal, yaitu berupa peletakan instrumen hukum dari kode etik sebagai lampiran dari tata tertib. Mengingat substansi, relevansi, dan pengaruhnya yang cukup besar pada kinerja wakil rakyat, seharusnya kode etik itu dibuat dalam satu bentuk tersendiri dengan legitimasi peraturan DPR atau DPRD (vide UU No 10 Tahun 2004).

Selain itu, akan memberikan keluasan bobot terhadap kinerja BK yang tidak semata berdimensi politis terhadap berbagai tindakan yang akan diambil. Secara operasional, mengacu pada penerapan etika berbagai profesi, khususnya tentang hukum acara, ternyata kode etik tidak memuat klausul yang dapat dijabarkan dalam ukuran yang bersifat kuantitatif dalam arti bisa diukur tentang perilaku yang distandardisasi sebagai etika. Akibatnya, tak jelas batas kapan seorang anggota melanggar etika.

Pada sisi lain, ternyata, tidak diberikan payung hukum yang memadai bagi perlindungan terhadap kinerja anggota BK. Ketegasan legitimasi penting bagi BK, yang mempunyai kewenangan untuk menindak yang melanggar etika DPR/D dan mekanisme internal yang menjadi dasar kinerja BK. Di sini diperlukan ketegasan prosedural, mulai memanggil, menyidangkan, melaksanakan rapat, sampai pada eksekusi ketika terjadi pelanggaran etika. Termasuk, di dalamnya batasan waktu yang jelas.

Berikutnya, perlu menetapkan sanksi yang secara kuantitatif juga terukur beserta konsekuensi yang seharusnya dijadikan sebagai parameter ketika ada anggota dewan yang melanggar etika.***

* Samsul Wahidin, guru besar Ilmu Hukum Unmer Malang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 11 Februari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan