Mempertahankan KPK
Testimoni Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Antasari Azhar tentang pemberian suap kepada pimpinan KPK amat mengagetkan publik.
Namun, bagi masyarakat yang lebih mengetahui rekam jejak dan duduk persoalan, empat lembar surat tulisan tangan itu dinilai lebih berakibat menyudutkan dan menyerang KPK. Atau, dalam potret lebih makro, bukan tidak mungkin, testimoni itu hanya bagian kecil dari desain besar. Tepatnya, berbagai kepentingan mematikan KPK bertemu di sebuah titik.
Serangan balik terhadap KPK memang bukan hal baru. Ada empat lembaga serupa yang sempat dimatikan saat mulai menyentuh kekuasaan. Untuk KPK, sejak era pertama, saat dibentuk, berbagai upaya pelemahan telah dilakukan. Uji materi UU Nomor 30 Tahun 2002 tercatat sering diajukan. Tujuannya, UU KPK dibatalkan dan KPK bubar.
Selain melalui uji materi, KPK pun diserang dengan berbagai manuver politik dan birokrasi. ICW mencatat rinci upaya fight back itu. Setidaknya ada 11 jurus mematikan KPK. Namun, KPK masih kokoh, hingga sebuah testimoni dari mantan ”orang dalam” muncul.
Dari materinya terlihat berkas itu terkait rekaman pembicaraan yang ditemukan polisi di laptop Antasari. Di situ ada empat orang. Namun, yang paling intens bicara diduga Antasari Azhar dan Anggoro W. Bertempat di Singapura, Anggoro mengatakan, sejumlah uang sudah diserahkan kepada elemen KPK di sebuah restoran di Kuningan, Jakarta. Tujuan suap itu agar kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan dengan rekanan PT Masaro tidak diusut KPK. Namun, jika diteliti, rekaman berdurasi 18 menit itu mengandung banyak kejanggalan.
Struktur suap
Sebagai sebuah keterangan awal, informasi apa pun terkait korupsi tidak mungkin langsung dibuang. Jika ada bukti kuat, tentu tak satu pun yang mampu melindungi pelaku kejahatan.
Namun, yang dikhawatirkan, testimoni itu diniatkan menyerang moralitas institusi KPK. Jika tak dijelaskan kepada masyarakat luas, terkikisnya kepercayaan publik dapat berakibat buruk bagi pemberantasan korupsi. Apalagi, hingga kini, menurut ICW, hanya KPK dan Pengadilan Tipikor yang bisa dipercaya lebih serius melawan korupsi.
Dari aspek ilmu hukum pidana, substansi rekaman dan testimoni itu bisa didekati dari struktur pidana suap/gratifikasi. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi mengatur beberapa ancaman pidana suap.
Namun, pada prinsipnya, dari sudut pandang pejabat publik, struktur logika suap terletak pada dua poin. Pertama, menerima sesuatu, baik dalam bentuk uang, janji, fasilitas khusus, atau apa pun yang dapat dinilai dengan uang. Kedua, pemberian itu ditujukan agar sebuah kewajiban si pejabat tidak dilakukan, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tugasnya.
Pertanyaannya, apakah tujuan dari sejumlah uang yang katanya diberikan Anggoro? Menghentikan kasus Masaro? Ternyata, fakta saat ini, KPK justru sudah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus korupsi SKRT-Masaro, baik berasal dari Masaro, Departemen Kehutanan, maupun anggota DPR. Apalagi, kasus korupsi ini merupakan lanjutan dari kasus lain yang sudah berjalan jauh hari sebelum Antasari bertemu Anggoro di Singapura.
Dalam konsepsi mafia peradilan, jika benar Anggoro memberi sejumlah uang melalui kurir, belum tentu uang itu diserahkan kepada pimpinan KPK. Dengan kata lain, ada banyak hal yang harus dibuktikan dalam pidana suap, mulai dari transaksi pemberian dan penerimaan uang, kesaksian pemberi, pelaksana, hingga apakah tujuan pemberian uang itu tercapai. Jika satu saja tidak terpenuhi, gugurlah tuduhan suap.
Dalam ilmu hukum pidana pun dikenal istilah geen straf zonder schuld beginsel. Kurang lebih berarti, tiada pidana tanpa kesalahan. Konsekuensi asas ini bagi penegak hukum adalah pada kewajiban membuktikan semua unsur pidana dalam suap dan memastikan apakah orang yang dituduh benar-benar dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Dengan kata lain, jika satu saja tidak terbukti, runtuhlah dugaan pidana itu.
Legitimasi bukti
Dari penjelasan singkat ini, mudah dipahami testimoni dan rekaman belumlah bukti kuat. Apalagi pertemuan Antasari dengan Anggoro di Singapura itu juga dinilai melanggar UU KPK. Pasal 36 dan 65 mengatur, pimpinan KPK dilarang bertemu tersangka atau pihak lain yang terkait kasus korupsi.
Kita tahu, saat ini orang yang ditemui adalah tersangka dan buron kasus korupsi. Pelanggaran ini berakibat tidak sederhana, selain semakin meruntuhkan nilai alat bukti rekaman dan testimoni, ia juga memberi kewajiban kepada Polri untuk menyidik Antasari dengan dugaan pelanggaran UU KPK. Ancaman pidana ”pertemuan ilegal” itu maksimal lima tahun penjara.
Atau, kalaupun benar Anggoro memberi sejumlah uang terhadap pimpinan KPK, ia justru masuk kualifikasi penyuap. Maka tindakan yang seharusnya dilakukan Ketua KPK selaku penegak hukum adalah menangkap, atau minimal melakukan proses hukum, bukan sebaliknya.
Apalagi kita tahu informasi rekaman dan testimoni justru baru muncul saat Antasari sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam kasus pembunuhan berencana Direktur PT RPB Nasrudin Zulkarnaen. Karena itu, wajar banyak pihak meragukan kebenaran dan motif di balik rekaman dan testimoni kontroversial itu. Legitimasi bukti itu sejauh ini amat lemah.
Dalam kacamata yang lebih makro, semua pihak perlu hati-hati dan siaga dengan semua rekayasa, desain sistematis, dan serangan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Alasannya, banyak pihak yang tidak senang, terganggu dengan pemberantasan korupsi, atau minimal terancam dengan keberadaan KPK. Mereka yang ingin KPK mati adalah pihak yang ingin korupsi tetap berjaya.
Siapa mereka? Menggabungkan analisis penanganan kasus korupsi di KPK dan Pengadilan Tipikor dengan teori akar korupsi, perhatian perlu lebih difokuskan pada persekongkolan kelompok bisnis dengan politisi dan penegak hukum. Terminologi rent-seeking behaviour, di mana mafia bisnis menggunakan pengaruh dan kedekatannya dengan pengambil kebijakan, pimpinan politik, dan penegak hukum tertentu untuk meraup keuntungan besar, amat relevan dicermati. Mengapa? Karena KPK sudah beberapa kali menjerat dan masuk ranah mafioso akar korupsi itu, mulai kasus Agus Condro, KPPU, hingga aliran dana Bank Indonesia.
Karena itu, kasus ini merupakan pertaruhan bagi Polri yang sedang mereformasi diri. Dengan kata kunci, semua pihak, kecuali koruptor, seharusnya bertujuan mempertahankan KPK. Segala upaya corruptor fight back harus dilawan.
Febri Diansyah Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 10 Agustus 2009