Menakar Syarat Penahanan
Jika kekuasaan penegakan hukum tidak dibarengi kapasitas intelektual memadai aparatnya, maka atas nama hukum, kekuasaan cenderung disalahgunakan.
Saat ini Polri sedang mempertontonkan kekuasaan dan bertangan besi menyusul penahanan terhadap kedua unsur pimpinan KPK (nonaktif), Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. Situasi semacam ini amat tidak menguntungkan bagi Polri dalam menjunjung tinggi semboyan polisi modern, melayani dan menjaga.
Di mana pun di dunia, sifat dan karakter dasar instrumen hukum acara pidana sedikit-banyak mengekang hak asasi manusia. Seseorang yang ditangkap, ditahan, digeledah, dan disita belum tentu bersalah. Karena itu, pelaksanaan hukum acara pidana harus berdasar prinsip kehati-hatian sehingga aspek perlindungan terhadap hak asasi manusia tetap terjaga.
Hak dan kewenangan yang melekat pada aparat hukum sesuai KUHAP tidak boleh ditafsirkan selain apa yang tertulis. Kalaupun dilakukan penafsiran terhadap suatu ketentuan dalam hukum acara pidana, penafsiran itu harus dilakukan secara restriktif.
Menakar syarat penahanan
Apakah penahanan terhadap Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah memiliki alasan hukum yang kuat?
Jawaban atas pertanyaan itu akan jelas dengan menakar syarat penahanan sebagaimana tercantum dalam KUHAP. Berdasar Pasal 21 KUHAP yang terdiri dari empat ayat, secara implisit ada tiga syarat penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa. Tiga syarat itu adalah syarat subyektif (Pasal 21 Ayat 1), syarat kelengkapan formal (Pasal 21 Ayat 2 dan Ayat 3), dan syarat obyektif penahanan (Pasal 21 Ayat 4). Ihwal syarat kelengkapan formal dan syarat obyektif tidak akan diulas dalam tulisan ini karena ukurannya jelas dan pasti.
Syarat kelengkapan formal berarti surat perintah penahanan harus mencantumkan identitas, menyebut alasan penahanan, dan uraian singkat perkara yang disangkakan dengan memberikan tembusan surat perintah penahanan kepada keluarga.
Sementara syarat obyektif adalah penahanan dilakukan jika suatu tindak pidana diancam lima tahun atau lebih, atau tindak pidana tertentu sebagaimana diuraikan dalam Pasal 21 Ayat 4 KUHAP. Sementara syarat subyektif penahanan yang diulas dalam tulisan ini adalah syarat yang amat rentan dengan penyalahgunaan kekuasaan karena hanya berdasar pandangan subyektif pribadi aparat hukum.
Syarat subyektif penahanan berdasar Pasal 21 Ayat 1 KUHAP adalah jika ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Bagaimana menakar syarat subyektif penahanan tentu tidak terlepas dari kasus yang dihadapi.
Dalam kasus Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, keterangan resmi Wakabareskrim Polri menyatakan keduanya ditahan terkait kasus penyalahgunaan wewenang (penyadapan dan pencekalan) dan pemerasan. Masih menurut Wakabareskrim Polri, kedua tersangka bebas melakukan jumpa pers yang dapat memengaruhi opini publik. Selanjutnya terkait pemerasan Polri memiliki bukti yang cukup.
Syarat subyektif
Jika dikaitkan dengan kekhawatiran Polri sebagai syarat subyektif penahanan dapat diukur sebagai berikut:
Pertama, jika kedua tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, bukankah selama ini kedua tersangka menunjukkan sikap yang amat kooperatif dengan melakukan wajib lapor sebagaimana disyaratkan. Selain itu, setiap kali dibutuhkan keterangannya, kedua tersangka siap menghadap sewaktu-waktu ke Mabes Polri. Dengan demikian, kekhawatiran ini tidak terbukti secara faktual.
Kedua, jika Polri menganggap kedua tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti, kekhawatiran ini justru kontradiktif dengan pernyataan Mabes Polri bahwa Polri telah memiliki bukti cukup dan bukankah Polri mempunyai kewenangan untuk menyita barang bukti itu jika masih ada pada tangan tersangka. Barang bukti apa yang akan dirusak atau dihilangkan? Tegasnya, kekhawatiran atas hal ini terkesan mengada-ada.
Ketiga, adanya anggapan tersangka akan mengulangi tindak pidana. Harap diingat, kedua tersangka dijerat dengan pasal penyalahgunaan kewenangan dan penyuapan. Saat ini status mereka adalah nonaktif, lalu kewenangan apa lagi yang akan mereka salah gunakan sebagai indikasi mengulangi tindak pidana atau adakah indikasi mereka akan melakukan pemerasan selama proses ini berlangsung?
Lebih celaka lagi jika jumpa pers yang dilakukan kedua tersangka dianggap Polri sebagai indikasi melakukan tindak pidana. Adakah aturan perundang-undangan di Indonesia yang menyatakan kebebasan untuk melakukan jumpa pers adalah tindak pidana? Berdasar fakta itu, kekhawatiran Polri terhadap kedua tersangka sebagai alasan subyektif penahanan sama sekali tidak berdasar dan hanya menunjukkan kekuasaan tanpa dilandasi akal sehat dan cenderung sesat.
Solusi nyata untuk menyudahi perseteruan KPK-polisi, Presiden sebagai Kepala Negara dapat melakukan intervensi dengan hak prerogatif yang melekat padanya dalam hal penegakan hukum, yakni abolisi. Terlebih ada indikasi kuat, penetapan kedua unsur pimpinan KPK sebagai tersangka adalah hasil rekayasa. Maka, dengan meminta pertimbangan DPR (Pasal 14 Ayat 2 UUD 1945), Presiden dapat memberi abolisi, yakni hak untuk menghapus penuntutan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Eddy O S Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 31 Oktober 2009