Menanti Nyali Partai Golkar dan MKD DPR
Meski sudah menjadi tersangka kasus mega korupsi KTP Elektronik dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setya Novanto bersikukuh enggan mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar.
Melalui surat, pada Selasa (21/11) lalu, Setya meminta DPP Partai Golkar dan pimpinan DPR tidak membahas pemberhentian dirinya sebagai Ketua Umum Golkar ataupun Ketua DPR dan memberinya kesempatan untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Sikap Setya Novanto dinilai banyak kalangan merugikan citra DPR dan Partai Golkar. Wakil Presiden Jusuf Kalla, misalnya, menyebut sikap Setya Novanto semakin memberikan efek negatif terhadap citra DPR. Penilaian serupa juga disampaikan Ketua MPR Zulkifli Hasan dan elit politik lainnya yang menyebut Setya merusak marwah DPR.
Tidak hanya marwah DPR yang dipertaruhkan. Sejumlah politisi Golkar mulai melihat adanya dampak buruk ulah Setya Novanto terhadap partainya. Anggota dewan dari Fraksi Golkar Ade Komaruddin bahkan menyebut masalah Setya Novanto berdampak pada menurunnya elektabilitas partai. Kondisi ini tentu mengancam keterpilihan Golkar pada Pemilu tahun 2019 mendatang.
Meski Setya Novanto menolak mundur, bukan berarti dirinya tidak bisa dicopot dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Penggantian Setya Novanto selaku Ketua DPR dapat dilakukan melalui dua cara lain. Pertama, melalui pengusulan oleh Partai Golkar sebagai partai yang mengusung Setya sebagai Ketua DPR. Sayangnya rapat pleno strategis Partai Golkar pada 21 November lalu dikabarkan justru mengakomodasi keinginan Setya Novanto. Salah satu keputusan yang disepakati adalah menunjuk Sekjen Idrus Marham sebagai Plt. Ketua Umum yang masa jabatannya akan berakhir apabila Setya Novanto memenangkan praperadilan.
Keputusan DPP Golkar yang mempertahankan Setya sebagai Ketua Umum tidak saja mengecewakan publik namun juga pihak internal dan simpatisan Partai Golkar. Salah satunya adalah Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG) yang berharap DPP membahas Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pada rapat pleno untuk menyelamatkan Golkar.
Kedua, melalui langkah aktif Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dalam memproses dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Setya Novanto ketika menghadapi proses hukum. Politisi berusia 65 tahun tersebut diduga melakukan lima pelanggaran etik, diantaranya adalah berkelit dari upaya hukum dan menjadi buron. Sikap tersebut diduga melanggar pasal 3 ayat 1 dan 4 Peraturan DPR No. 1 tahun 2014 tentang Kode Etik. Setya Novanto juga diduga melanggar pasal 5 dengan menggunakan nama Sekjen DPR untuk mangkir dari panggilan KPK. (Koran Tempo, 23 November 2017)
Dalam memproses dugaan pelanggaran ini, MKD patut juga mempertimbangkan menjatuhkan sanksi pemberhentian jabatan pimpinan DPR atau bahkan pemberhentian sebagai anggota DPR. Dalam catatan ICW, Setya Novanto telah berulang kali bermasalah etik. Jangan sampai, MKD terpengaruh permintaan Setya Novanto dan mengabaikan kepentingan DPR yang lebih luas.
Jabatan sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar sejatinya bukan merupakan jabatan privat melainkan jabatan publik yang sangat strategis. Oleh karenanya mempertahankan Setya Novanto selaku Ketua Umum Golkar maupun Ketua DPR tentu saja merupakan sebuah kesalahan sejarah dan pastinya semakin menggerus citra Partai Golkar maupun DPR RI di mata rakyat Indonesia. (Almas/Emerson)