Menanti Reformasi Kejaksaan oleh Komisi Kejaksaan
Sebagai salah satu institusi penyelenggara negara di bidang hukum, 22 Juli 2005 merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-44 terhitung sejak dipisahkannya secara institusional dari Departemen Kehakiman pada 22 Juli 1960. Setahun kemudian Jaksa Agungnya Mr Gunawan mencanangkan sebagai Hari Bhakti Adhyaksa.
Tak seperti HUT institusi hukum yang lain (polisi dan hakim), HUT institusi kejaksaan relatif kecil memperoleh perhatian dari publik, bahkan mungkin hanya segelintir orang yang tahu akan hari Bhakti Adhyaksa. Wajar saja, bila institusi hukum yang satu ini relatif minim memperoleh sanjungan, kritik maupun cacian dari publik.
Padahal institusi ini begitu penting dan besar perannya dalam membawa gerbong keadilan di negeri ini. Sebab di institusi inilah hukum yang secara verbal dan tekstual dapat diterjemahkan dalam realitas hukum yang adil dan fleksibel. Institusi ini adalah institusi tertinggi negara di bidang penuntutan mewakili publik terhadap aneka bentuk pelanggaran hukum. Institusi ini pulalah hitam-putihnya hukum dapat terbaca dan dirasakan publik sebelum diproses menuju peradilan.
Oleh karenanya, sebenarnya mutu dan kualitas dari dakwaan dan tuntutan hasil produksi jaksa dari institusi ini adalah garansi bagi terciptanya keadilan hukum. Bila rendah mutu dan kualitasnya, maka tak bermutu dan rendah pula kualitas putusan hukum atas suatu peristiwa hukum. Sebaliknya semakin bermutu dan berkualitas dakwaan dan tuntutannya, maka semakin mutu keadilan yang dihasilkan. Dengan demikian, menaruh perhatian dan sekaligus harapan pada kualitas institusi ini guna terwujudnya hukum sebagai panglima di negeri ini adalah keniscayaan yang tak dapat ditawar lagi.
Agenda Reformasi
Hari-hari ini publik kita begitu rendah tingkat kepercayaannya (public distrust) pada institusi hukum, tak terkecuali kejaksaan karena tak mampu menjalankan imperatif hukum secara serius dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral keadilan. Tengoklah belakangan ini hukum tak memihak pada keadilan. Bahkan lebih banyak menyisakan duka dan kekecewaan publik tatkala melihat proses jalannya prosedur hukum. Ratusan bahkan ribuan kasus kejahatan terutama korupsi yang melibatkan kekuasaan politik dan uang dilepas begitu saja (SP-3). Tapi terhadap kasus kejahatan yang menimpa rakyat jelata dan miskin relasi uang dan kekuasaan justru diburu untuk dilibat dengan baju hukum.
Ini menunjukkan sebuah realitas bahwa hukum hanya tegas pada rakyat jelata, tetapi tumpul dan bergeming pada uang dan kekuasaan. Hukum kita hari ini seolah telah mendengungkan lonceng kematiannya. Persis seperti ungkapan Hugo Black (156), there can be no equal justice where the kind of trial a man gets depen on the amount of he has (tak akan pernah tercapai keadilan jika keadilan masih didasarkan pada besar kecilnya uang yang didapat).
Memang begitulah kondisi hukum di banyak negara yang tengah mengalami masa pemerintahan yang transisional dari otoritarian menuju demokrasi yang tak jelas. Seperti diungkapkan oleh Guillarmo O