Mencari Arah Korupsi Biaya Perkara MA
Kebiasaan mark-up biaya perkara dari tarif resmi menjadi praktik yang hampir lazim di berbagai tempat. Biaya Kasasi dan Peninjauan Kembali perkara Niaga misalnya. tarif resmi Rp5 juta untuk Kasasi di Mahkamah Agung ternyata dipungut Rp6,5 juta. Selisih Rp1,5 juta. Demikian juga untuk tingkat Peninjauan Kembali (PK). Demikian juga dengan Pengadilan Negeri. Di PN Sleman, Yogyakarta, biaya Kasasi Perdata Umum yang seharusnya Rp500 ribu, ternyata dipungut Rp1,5 juta. Biaya tersebut pun belum termasuk pungutan untuk pemanggilan para pihak, saksi, persidangan di tempat, dan sebagainya.
Persoalan ini tentu saja memberatkan pencari keadilan. Bahkan, ketidakjelasan aturan, tarif dan mekanisme pertanggungjawaban menjadikan praktik pungutan biaya perkara rentan terhadap korupsi. ICW mencatat setidaknya Rp31,12 miliar biaya perkara di Mahkamah Agung yang tidak jelas pengelolaannya dari tahun 2005-maret 2008. Jumlah ini masih sangat kecil dibanding kalkulasi total biaya perkara, "pungutan lain" dan dugaan penyimpangannya di seluruh Indonesia.
Korupsi
Seperti diketahui, hingga saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan penyelidikan Biaya Perkara di MA. Beberapa saksi telah diperiksa, bahkan KPK sempat menyita sejumlah dokumen. Namun, dalam perkembangannya bekum cukup jelas, apakah KPK serius. Tiga bulan berselang, KPK belum menetapkan satupun tersangka.
Merunut kebelakang, kemelut indikasi korupsi dalam pengelolaan biaya perkara mulai muncul pasca Temuan BPK yang disampaikan melalui Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2004-2006. Fenomena ini terkait maraknya rekening liar di sejumlah instansi.
Sembilan rekening dari LKPP 2005, tercatat atas nama Ketua MA. Temuan itu terdiri dari 4 rekening biro dan 5 deposito, total Rp7,45 miliar. Laporan tersebut mengejutkan publik, terutama karena analisis BPK yang menduga, sejumlah uang liar atas nama Ketua MA berasal dari biaya perkara. Atas dasar itulah, BPK ingin agar biaya perkara, khususnya di MA dapat diaudit.
Akan tetapi, hingga saat ini MA menolak kewenangan Audit BPK. MA mendasarkan argumentasinya pada dua hal. Pertama, biaya perkara merupakan uang titipan pihak ketiga, sehingga tidak dapat diklasifikasikan sebagai Keuangan Negara. Oleh karena itu, BPK tidak berwenang mengaudit Biaya Perkara di MA. Dan, kedua, biaya perkara sendiri diatur pada HIR dan RBg sebagai syarat mulai dapat didaftarkannya perkara.
Argumentasi MA tentu saja menyesatkan. Pasal 2 huruf (b) dan (h), UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara jelas mengategorikan biaya perkara sebagai Keuangan Negara. Disebutkan Keuangan Negara meliputi kewajiban negara menyelenggarakan tugas layanan umum dan membayar tagihan pihak ketiga (b), dan kekayaan pihak lain yang dikuasasi institusi negara (pemerintah dalam arti luas) dalam rangka penyelenggaraan kepentingan umum (h).
Merujuk dari poin diatas, sesuai dengan kewenangan BPK yang diatur pada Pasal 23 E UUD 1945 dan UU 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan dan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara, maka penolakan MA terhadap audit BPK sama artinya dengan pembangkangan konsitusi. Karena, pada prinsipnya, tidak satu pun institusi negara ini yang boleh tertutup serta kebal dari pemeriksaan dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan.
PP PNBP
Dalam perkembangannya, dalih MA diarahkan pada argumentasi belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur khusus tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). BPK dinilai baru bisa mengaudit MA pasca Presiden menerbitkan PP PNBP, itu pun terbatas pada PNBP semata. Selama itu pulalah, MA bersikukuh BPK tidak bisa melakukan pemeriksaan pengelolaan biaya perkara.
Sayangnya, tirani ketertutupan MA justru serasa diperkuat pasca PP No 53 Tahun 2008 tentang PNBP terbit. MA merasa punya legitimasi yang lebih kuat untuk menolak BPK, karena PP sama sekali tidak menegaskan kewenangan audit Biaya Perkara. Sesat pikir seperti inilah yang sebenarnya sudah diperkirakan jauh hari. PP PNBP tidak akan menyelesaikan konflik tafsir soal kewenangan BPK dan MA.
Di tataran implementasi, MA pun rentan menerapkan pola terpisah dalam pungutan Biaya Perkara (permohonan) dengan PNBP. Pada praktiknya, PNBP yang seharusnya dipotong dari biaya perkara yang dibayarkan justru dapat dipungut sebagai beban tambahan bagi pencari keadilan. Berdasarkan wawancara ICW dengan sejumlah advokat, ketika PNBP pernah diterapkan, selain memungut biaya perkara (biasanya lebih dari jumlah resmi), pengadilan juga meletakkan PNBP sebagai biaya tambahan diluar biaya permohonan perkara. Hal ini berkibat, pengadilan menerima biaya perkara secara utuh, dan bahkan mendapat "perlindungan" untuk mengelolanya secara tertutup. Tanpa dipertanggungjawabkan layaknya keuangan negara.
Kerancuan, penyimpangan dan pembangkangan terhadap hukum inilah yang harus dibersihkan dari MA. Cara paling efektif adalah mendorong KPK untuk terus mengungkap indikasi korupsi biaya perkara. Memeriksa sejumlah saksi, menyita dokumen, dan menggunakan kewenangannya untuk memerintahkan Audit Investigatif terhadap keuangan MA.
Di sisi lain, BPK harus diyakinkan untuk terus menuntut kewenangan konstitusionalnya melakukan audit biaya perkara MA. Satu-satunya jalan yang paling memungkinkan adalah menyelesaikan di meja Mahkamah Konstitusi. Persoalannya, apakah BPK bersedia menempuh jalur Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) di meja merah MK? Demi pelurusan benang kusut keuangan dan korupsi di MA, selayaknya BPK segera menempuh jalur tersebut.
Febri Diansyah, Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW
Tulisan ini disalin dari Jurnal Nasional, 5 September 2008