Mencermati Pola Pajak Akhir Tahun
Saat ini kita sudah memasuki triwulan terakhir 2008. Berkaitan dengan penerimaan pajak, prediksi pencapaian penerimaan pajak wajib dilakukan. Salah satu analisis yang penting dilakukan segenap jajaran Ditjen Pajak adalah meneliti pola penerimaan pajak pada triwulan terakhir ini serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
Setidaknya, dengan mengetahui pola historis penerimaan pajak, jajaran Ditjen Pajak bisa segera mengidentifikasi masalah, menerapkan kebijakan, dan melakukan tindakan terhadap permasalahan tersebut.
Sedikitnya ada tiga hal yang berkaitan langsung dengan penerimaan pajak pada akhir tiwulan tahun ini. Yakni, Lebaran, pencairan dana proyek pemerintah (APBD/APBN), serta realisasi penyerapan anggaran pemerintah (APBN).
Lebaran dan Winfall Tax
Ketika memasuki pertengahan Ramadan (nanti) -menuju Lebaran-, masyarakat akan lebih banyak melakukan kegiatan konsumsi terhadap barang-barang selain kebutuhan pokok seperti belanja pakaian baru dan sepatu baru. Indikatornya mulai tampak ketika omzet penjualan naik 30 persen (Jawa Pos, 8/9/2008).
Ketika permintaan tersebut semakin besar, mau tak mau akan meningkatkan inflasi yang diperkirakan 5-10 persen. Walaupun begitu, daya beli masyarakat bukannya malah menurun, tapi cenderung semakin tinggi. Fenomena musiman yang anomali tersebut terjadi setiap tahun dan akan terjadi berulang pada tahun-tahun berikutnya.
Ada dua jenis pajak yang akan mengalami keberuntungan akibat fenomena Lebaran ini (winfall tax). Yaitu, pajak penghasilan badan/orang pribadi dan pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN). Kenaikan peredaran usaha (omzet) badan usaha atau orang pribadi akan meningkatkan penghasilan kena pajaknya (PKP).
Tapi, karena menganut sistem angsuran (lumpsum), keputusan menaikkan nilai setoran angsuran pajak harus dilakukan secepatnya oleh kantor pajak setempat. Kalau tidak, wajib pajak (WP) tetap membayar angsuran pajaknya sama dengan bulan-bulan sebelum ada lonjakan omzet.
Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi, inflasi tertinggi akan terjadi pada September ini. Salah satu faktor penyebabnya adalah konsumsi masyarakat yang tinggi karena fenomena puasa dan Lebaran. Karena dasar pengenaan PPN DN adalah harga jual, kenaikan harga jual (inflasi) akan otomatis mendorong kenaikan PPN DN.
Namun, persoalan utamanya, karena wajib pajak yang dapat memungut PPN DN adalah WP dengan status pengusaha kena pajak (PKP), efektivitas pemungutan tersebut akan sangat bergantung pada jumlah PKP yang terdaftar di wilayah itu.
Data di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan, pengenaan PPN masih kecil dibanding potensinya, diperkirakan potensi PPN setidaknya 7 persen dari PDB, sedangkan saat ini realisasi PPN baru mencapai 3,5 persen dari PDB.
Menurut saya, hilangnya potensi PPN tersebut disebabkan faktor belum banyaknya WP yang terdaftar sebagai PKP. Padahal, WP itu telah melakukan transaksi barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) yang secara UU terutang PPN.
Setelah sukses menggali penerimaan pajak di sektor kelapa sawit dan batu bara -walaupun juga sangat dipengaruhi melonjaknya harga dunia saat ini-, Ditjen Pajak akan fokus pada penggalian pajak dari sektor konstruksi dan realestat (Jawa Pos, 10/9/2008). Di beberapa kantor pelayanan pajak (terutama di daerah), dua sektor tersebut sangat mendominasi.
Pola penerimaan pajaknya sangat mirip dari tahun ke tahun. Mulai Januari sampai Juli, penerimaan di sektor tersebut cenderung rendah. Tapi, ketika masuk Agustus, penerimaan pajak akan bergerak secara eksponensial.
Penelitian menunjukkan, sektor konstruksi sangat berkaitan erat dengan proyek-proyek pemerintah, yang notabene dananya baru mulai cair sekitar Agustus. Alhasil, pada bulan-bulan berikutnya, penerimaan pajak sumbangan sektor itu akan meningkat tajam.
Salah satu sumber penerimaan pajak yang juga patut dicermati adalah penerimaan pajak yang dananya bersumber dari belanja modal dan barang pemerintah (APBN). Kalau dilihat, pola penyerapan anggaran masih kurang dari 100 persen. Walaupun beberapa tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan penyerapan anggaran, nilainya tidak mencapai 100 persen. Akibatnya, potensi pajak yang seharusnya masuk menjadi terhalang.
Padahal, dana sudah tersedia di depan mata. Seperti tahun-tahun sebelumnya, jangka waktu penyerapannya pun akan terjadi pada triwulan terakhir ini. Karena itu, fokus Ditjen Pajak untuk terus mengawasi lebih ketat setidaknya bisa dimulai sejak sekarang.
Pengamanan Penerimaan
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan Ditjen Pajak adalah membuat kebijakan serta kegiatan yang mengakibatkan potensi pajak yang ada tidak hilang atau tidak bisa digali. Untuk peningkatan angsuran, langkah yang bisa dilakukan adalah memberikan instruksi kepada setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia untuk meningkatkan angsuran bagi WP yang bergerak di sektor perdagangan.
Walaupun penghasilan dan perhitungan pajak secara keseluruhan akan juga dilaporkan ketika SPT tahunan WP tahun berikutnya, untuk menghindarkan rekayasa laporan keuangan dan memberatkan WP pada tahun berikutnya karena kesulitan likuidas, Ditjen Pajak harus segera memanfaatkan momen itu.
Menggali pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri bisa dimulai dengan program pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) secara jabatan tanpa pemeriksaan. Dengan database Ditjen Pajak dan berprinsip pada kehomogenan sektor (sektoral) dan wilayah (jalan utama), saya pikir PKP secara jabatan tanpa pemeriksaan bisa dilakukan.
Mengapa? Sebab, program pengukuhan PKP selama ini hanya berpatokan pada batas minimal omzet yang dilaporkan memiliki kelemahan dalam hal keakuratan serta kevalidan data omzet yang dilaporkan WP.
Langkah itu akan menjaring langsung PPN. Sebab, setiap PKP diwajibkan memungut PPN dalam setiap transaksi yang dilakukannya. Dus, bila tidak melaporkan SPT masa PPN-nya, denda yang diberikan cukup besar, yaitu Rp 500.000.
Terkait dengan pencairan dana APBD dan atau APBN, Ditjen Pajak bisa menjalin kerja sama dengan pemda setempat untuk mengawasi pemungutan dan pemotongan pajak. Sebab, ditengarai masih banyak bendaharawan yang tidak melaksanakan kewajibannya selaku pemotong dan pemungut pajak.
Data terakhir menyebutkan, realisasi penerimaan pajak sampai Agustus 2008 mencapai Rp 318,74 triliun atau tumbuh 45,99 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Tren yang baik ini seyogianya dipertahankan.
Chandra Budi, staf Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 15 September 2008