Mendesak Komisi Informasi Perintahkan Buka rekening Gendut!
Press Rilis
Tuntutan publik agar Mabes Polri mengungkapkan pemilik rekening anggotanya yang dianggap mencurigakan merupakan bagian dari upaya mendorong akuntabilitas aparat penegak hukum. Namun ternyata resistensi instistusi kepolisian begitu tinggi, hingga saat ini Mabes tak bergeming atas berbagai tuntutan transparansi tersebut.
Seperti diketahui, sekitar bulan juli 2010, Mabes Polri mengumumkan hasil pemeriksaan 23 rekening anggotanya yang dianggap mencurigakan menurut laporan hasil analisa (LHA) Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK).
Berdasarkan hasil verifikasi mabes Polri terhadap 23 rekening tersebut, 2 rekening yang terindikasi pidana telah dalam proses hukum, 2 rekening masih menunggu pembuktian, 1 rekening belum bisa ditindaklanjuti karena objek sedang mengikuti pilkada, 1 rekening pemiliknya telah meninggal dunia dan sebagian besar yaitu 17 rekening dikategorikan wajar. Parameter untuk 17 rekening yang dikategorikan wajar adalah karena diperoleh dari cara-cara yang legal baik dari hasil kebun, usaha angkot, hingga warisan keluarga.
Namun yang patut disesalkan Mabes Polri ternyata tak mempublikasikan siapa pemilik 17 rekening yang telah dikategorikan wajar sesuai permintaan Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahkan hingga proses sengketa dalam sidang ajudikasi Komisi Informasi (KI) Pusat, wakil kepolisian tetap bersikukuh bahwa rekening anggota tetap rahasia.
Menurut catatan ICW terdapat beberapa fakta persidangan ajudikasi di KI Pusat yang menjadi dasar kuat mengapa pemilik dan jumlah 17 rekening wajib dibuka kepada public.
1. Wakil Polri tidak mampu menjelaskan prosedur pengujian konsekuensi atas informasi yang dikecualikan.
Berdasarkan fakta persidangan di sidang pertama, kedua dan ketiga, pihak Polri, kami nilai gagal membuktikan bahwa Polri sudah melakukan pengujian konsekuensi. Mengingat tidak pernah dijelaskan secara terang dalam persidangan ajudikasi ini, perihal telah diujinya penutupan informasi dengan kepentingan umum yang lebih luas.
Hal ini juga terlihat dari surat penolakan yang diberikan oleh pihak Polri pada ICW. Bahwa, di surat penolakan sama sekali tidak disebutkan pelaksanaan uji konsekuensi sebelum melakukan penolakan. Dengan demikian, Polri telah melanggar syarat utama sesuai yang diatur UU KIP dalam menentukan informasi yang dikecualikan (dirahasiakan). Sehingga, penolakan yang dilakukan oleh Polri dapat disebut cacat hukum.
2. Wakil Kepolisian berbelit-belit atau tidak dapat menjelaskan secara jelas definisi ”Kriteria Wajar” dalam mengklasifikasikan 17 rekening hasil pemeriksaan internal mabes Polri
Berdasarkan sidang ajudikasi ketiga, Wakil Kepolisian tidak dapat menjelaskan secara jelas (clear) pertanyaan Majelis Sidang Ajudikasi terkait definisi Kategori Wajar sesuai hasil pengumuman Kadiv Humas bulan juli 2010.
Bahkan penjelasan penyidik Bareskrim yang dihadirkan oleh Polri untuk menjelaskan kriteria wajar, ternyata lebih memaparkan prosedur, mekanisme kerja, pengelolaan serta penanganan pasca Bareskrim menerima Laporan Hasil Analisis (LHA) dari PPATK. Intinya, pemaparan Penyidik Bareskrim menjelaskan bahwa 17 rekening yang telah dikategorikan wajar adalah wajar secara proses/ prosedur penanganan LHA.
Pemaparan penyidik Bareskrim tidak menyentuh substansi persoalan sesuai yang diharapkan pemohon. Sehingga saat ini persoalan ”kriteria wajar” masih kabur, apakah wajar yang dimaksud sudah tidak ada pelanggaran hukum atau masih dalam proses hukum baik penyelidikan maupun penyidikan.
3. PPATK tidak mengenal terminologi pengembalian berkas dari kepolisian serta tidak memiliki kewenangan mengumumkan kepada publik.
Pada saat ICW mengajukan permintaan informasi kepada Mabes Polri tanggal 2 Agustus 2010, kadiv Humas yang menemui ICW menjelaskan bahwa Mabes sudah mengembalikan hasil pemeriksaan kepada PPATK, oleh karena itu PPATK lah yang seharusnya memiliki kewenangan mengumumkan kepada Publik
Keterangan tersebut ternyata berbeda dengan keterangan saksi ahli PPATK dalam Sidang ajudikasi yang menyatakan PPATK tidak mengenal pengembalian berkas serta tidak memiliki kewenangan untuk mengumumkan hasil pemeriksaan yang telah diselesaikan Mabes Polri karena PPATK tidak mengenal adanya pengembalian berkas dari Mabes Polri termasuk LHA yang telah selesai diperiksa.
4. Belum SP3 merupakan wujud inkonsistensi serta dalih Polri untuk menghindar dari tuntutan transparansi.
pada sidang ajudikasi ketiga, Polri menyatakan surat perintah penyelidikan perkara (SP3) belum dikeluarkan oleh mabes polri maka informasi yang diminta pemohon tidak bisa dipenuhi karena dikhawatirkan menghambat proses penegakan hukum.
Merujuk pada pada pernyataan mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri[1], Kapolri Timoer Pradopo[2] dan Kabareskrim Ito Sumardi[3] di berbagai media bahwa kasus rekening sudah selesai pasca diumumkan bulan juli 2010. Oleh karena itu, pemohon menilai bahwa upaya Polri sekedar dalih semata.
Patut diingat bila Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Against Corruption,UNCAC) pada tahun 2006. Dalam konvensi UNCAC dikenal prinsip illicit enrichment, yang menekankan pada prinsip keseimbangan antara kekayaan pejabat publik dengan penghasilannya yang sah.
Untuk itu kami menuntut :
- KI Pusat memerintahkan Mabes POLRI buka rekening gendut yang dianggap wajar dalam putusan sidang ajudikasi ICW dengan Mabes POLRI..
- Presiden ikut serta mendorong Mabes Polri untuk menerapkan prinsip-prinsi transparansi dan akuntabilitas pada kinerja institusi dan harta kekayaan anggotanya.
Catatan:
[1] http://nasional.vivanews.com/news/read/169409-kapolri-anggap-kasus-reken...
[2] http://www.detiknews.com/read/2010/12/29/104739/1534857/10/timur-pradopo...
[3] http://www.jpnn.com/berita.detail-68880