Mendobrak Posisi Negara Terkorup
Hasil survei Transparency International (TI) 2005 yang dirilis beberapa waktu lalu kembali menempatkan Indonesia pada peringkat keenam di antara negara terkorup di dunia.
Hasil survei Transparency International (TI) 2005 yang dirilis beberapa waktu lalu kembali menempatkan Indonesia pada peringkat keenam di antara negara terkorup di dunia. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 159 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-137 atau keenam dari bawah dengan corruption perceptions index (CPI) 2,2. Skala nilai dalam CPI adalah 0 sampai 10 (skor 10 menunjukkan peringkat tebersih). Indonesia mendapat nilai yang sama dengan Azerbaijan, Kamerun, Ethiopia, Irak, Liberia, dan Uzbekistan. Di kawasan Asia Tenggara, hanya Myanmar, dengan skor 1,8, yang peringkatnya lebih buruk daripada Indonesia, sehingga Indonesia menjadi runner-up negara paling korup di Asia Tenggara.
Pandangan internasional terhadap Indonesia yang enggan bergeser ke sentimen positif seharusnya melecut pemerintah menangani problem korupsi secara lebih serius. Respons yang terkesan menolak hasil survei itu tidak sepatutnya dilontarkan oleh para pejabat negara. Misalnya Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie. Ical, panggilan akrab Aburizal, justru menanyakan ukuran yang dipakai untuk menempatkan Indonesia pada posisi keenam negara terkorup di dunia (Kompas, 20/10/05).
Pernyataan itu menjadi kehilangan konteksnya mengingat survei TI justru menitikberatkan praktek korupsi yang terjadi dalam dunia usaha, khususnya perilaku koruptif yang menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi. Sebagaimana disebutkan TI dalam laporannya, praktek suap, sogokan, kick-back proyek, macam-macam pungutan, permainan pajak, bea-cukai, uang jago, uang keamanan, servis khusus kepada pejabat, dan lain-lainnya telah menghalangi kalangan dunia usaha untuk menjalankan usahanya secara fair.
Di satu sisi, ekonomi biaya tinggi kemudian memberikan pembenaran bagi dunia usaha untuk membebankan semua biaya siluman tersebut kepada konsumen, sekaligus memberikan tekanan terhadap upah buruh. Upah pekerja sulit mengalami penyesuaian dengan keadaan. Masyarakat pun terpaksa membayar produk lebih mahal yang tidak jarang melebihi kemampuan daya belinya. Dari hubungan kausalitas tersebut, tak dapat disangkal, praktek korupsi yang melahirkan ekonomi biaya tinggi hanya akan melahirkan efek berantai yang mengarah pada iklim usaha yang tidak kompetitif, kemandekan ekonomi, dan kemiskinan.
Kondisi lingkungan bisnis yang penuh dengan praktek korupsi tidak hanya dirasakan oleh kalangan ekspatriat yang menjadi responden survei TI. Di kalangan pelaku ekonomi domestik, keresahan yang sama dapat ditemukan. Mengacu pada hasil survei persepsi pasar triwulan III 2005 oleh Bank Indonesia, disimpulkan bahwa kondisi perekonomian pada triwulan IV 2005 lebih buruk dibandingkan dengan kondisi perekonomian triwulan II 2005.
Survei yang respondennya terdiri atas pengamat/peneliti ekonomi, analis pasar modal/uang, dan akademisi ini menginventarisasi beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Dari 35 faktor yang disebutkan, inkonsistensi kebijakan pemerintah, lemahnya penegakan hukum, korupsi, kemudahan perizinan dan prosedur, sumber daya manusia yang bersih dan profesional, serta transparansi dalam pelaksanaan kebijakan merupakan beberapa masalah utama yang dipersoalkan.
Perbaikan ekonomi
Mengacu pada fakta di atas, menjadi semakin jelas bahwa agenda pemberantasan korupsi dan perbaikan ekonomi memiliki hubungan yang signifikan. Dengan demikian, seharusnya tidak ada keraguan bagi pembuat kebijakan untuk mengaitkan keduanya secara sinergis. Sebab, ada kaitan antara sebab perilaku korupsi yang telah melembaga di berbagai sektor dengan akibat yang ditimbulkannya pada sektor tersebut.
Ini berarti desain pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah perlu dievaluasi kembali karena nyatanya tidak memberikan dampak yang cukup baik bagi perbaikan di sektor ekonomi. Pembuat kebijakan harus yakin bahwa pemberantasan korupsi sangat terkait dengan perbaikan di sektor lain. Sehingga agenda pemberantasan korupsi bukanlah wilayah yang terpisahkan dari usaha pemerintah untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih luas.
Di samping pentingnya reorientasi pemberantasan korupsi, secara pragmatis pemerintah sebenarnya berhadapan dengan berbagai keterbatasan, antara lain luasnya praktek korupsi yang terjadi, jangkauan aparat penegak hukum yang terbatas, dan kompleksnya permasalahan dalam negeri yang harus diselesaikan. Dengan segala keterbatasan tersebut, pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan pada semua titik secara bersamaan.
Karena itu, pemerintah harus memfokuskan pemberantasan korupsi pada bidang yang berimplikasi langsung pada perbaikan pelayanan di sektor-sektor yang meliputi usaha, pelayanan publik, dan peningkatan sumber daya manusia. Pilihan untuk memprioritaskan medan pertempuran pemberantasan korupsi pada tiga wilayah tersebut didasari oleh beberapa pertimbangan.
Pertama, ketiga sektor tersebut dalam jangka panjang merupakan wilayah yang sangat vital untuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi peningkatan kualitas dan kesejahteraan masyarakat. Terbebasnya lingkungan bisnis dari perilaku koruptif akan menyingkirkan berbagai macam biaya yang tidak perlu, mempercepat proses dan meningkatkan kapasitas produksi, menempatkan produk secara lebih kompetitif, membuka peluang lebih besar bagi pekerja untuk memperoleh insentif, membuka peluang bagi lapangan pekerjaan baru, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Sementara itu, perbaikan kualitas sumber daya manusia akan sangat berhubungan dengan kian kompetitifnya manusia Indonesia dalam berbagai aktivitas lapangan kehidupan.
Titik berat pada perbaikan pelayanan publik mengindikasikan bahwa penegakan hukum hanyalah bagian kecil dari upaya yang lebih luas dari program pemberantasan korupsi. Atau, dengan kata lain, program pemberantasan korupsi bukan sekadar penegakan hukum yang berujung pada penghukuman bagi koruptor yang terbukti bersalah, melainkan--jauh lebih penting dari itu--adanya reformasi birokrasi yang selama ini telah menjadi mesin yang menghambat dan merusak segala macam aktivitas kehidupan warga negara.
Kedua, sebagaimana telah disinggung di atas, program pemberantasan korupsi dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Di satu sisi, praktek korupsi telah menyebar ke berbagai sektor. Sedangkan realitas lain juga mengatakan bahwa kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum tidak setara dengan praktek korupsi itu sendiri. Dengan demikian, pilihan-pilihan yang strategis dalam upaya pemberantasan korupsi memang sudah selayaknya dilakukan supaya masyarakat--baik domestik maupun internasional--bisa secara langsung merasakan dampak positif dari program pemberantasan korupsi yang selama ini telah digulirkan. Jika beberapa hal tersebut dipertimbangkan, niscaya secara perlahan tapi pasti kita akan dapat beranjak dari penilaian sebagai negara terkorup.
Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 17 November 2005