Deretan kepala daerah yang terjerat berbagai kasus korupsi yang diproses hukum oleh KPK dan penegak hukum lain menjadi indikasi tidak wajarnya tata kelola pemerintahan yang baik di aras otonomi daerah.
Berita terakhir, tertangkap tangannya Bupati Klaten Sri Hartini telah menggenapkan jumlah 11 kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang 2016.
Sampai Maret 2016, dari 541 kepala daerah, ada 360 kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi (tipikor) di berbagai tingkatan, mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga yang sudah diputus oleh pengadilan tipikor sebagai terpidana. Jumlah itu ditambah dengan 11 kepala daerah yang terkena OTT KPK 2016.
Berbagai modus korupsi yang lazimnya menjerat kepala daerah selama ini tercatat, antara lain, di ranah perizinan, kewenangan di bidang sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan gratifikasi/suap. Berbagai modus korupsi tersebut berakar pada penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan para kepala daerah tersebut. Tak jarang modus itu berkelindan dengan persekongkolan politik antara kepala daerah dan elite birokrat daerah dengan aktor-aktor politik di DPRD.
Banyak faktor yang menjadi pendorong perilaku koruptif yang dilakukan di daerah. Salah satu faktor penting untuk dicatat adalah tingginya biaya politik dalam kontestasi pilkada. Hal ini telah membuat banyak elite politik lokal jadi ”gelap mata” mencari sumber-sumber pembiayaan untuk menutup ”utang politik” yang digunakan dalam kontestasi politik lokal tersebut.
Mahar politik seorang calon kepala daerah yang akan maju dalam kontestasi pilkada mencapai Rp 100 miliar sampai Rp200 miliar. Padahal, gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 6 juta setiap bulan. Di samping gaji, seorang kepala daerah lazimnya juga menerima pendapatan sah berupa honor-honor. Jika ditotal, setiap bulan pendapatan sah seorang kepala daerah tidak lebih dari Rp 50 juta. Bandingkan dengan mahar politik yang harus dikeluarkan seorang calon kepala daerah yang berniat mengikuti kontestasi politik di pilkada.
Besarnya kewenangan yang dimiliki daerah melalui aliran kewenangan otonomi daerah melalui desentralisasi politik, yang seharusnya menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik dan meningkatnya kesejahteraan rakyat, ternyata justru lebih banyak menghasilkan ”bosisme” lokal dalam pembangunan lokal yang cenderung elitis. Dalam kondisi demikian, amat sulit mengharapkan kian meningkatnya kesejahteraan rakyat yang berjalan seiring dengan meningkatnya kewenangan daerah.
Monster-monster politik
UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang telah menempatkan status kedudukan kepala daerah sebagai penyelenggara negara, seharusnya menyadarkan para elite daerah tersebut mengenai kedudukannya sebagai representasi negara di daerah yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan rakyat di daerah. Kepala daerah adalah ”wajah negara” di daerah yang mewujudkan kehadiran negara bagi rakyatnya di daerah.
Siklus korupsi di daerah sebenarnya tak terlalu sulit untuk diurai.Mahalnya biaya politik yang harus ditanggung calon kepala daerah berujung pada ”kebutuhan” sebagian oknum kepala daerah untuk menggali ”sumber pembiayaan politik”. Dan itu diperoleh melalui berbagai modus, seperti gratifikasi dalam perizinan serta pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sangat sedikit kepala daerah yang benar-benar ”bersih” dari siklus koruptif di daerah ini.
Di sinilah seharusnya rakyat pemilih memiliki kepekaan politik untuk memutuskan calon- calon kepala daerah yang akan dipilihnya saat pilkada digelar. Siklus koruptif di daerah pada ujungnya menguras kekayaan rakyat di daerah karena menggerogoti uang APBD. Uang itu seharusnya mengalir untuk biaya kesejahteraan rakyat di sektor pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, dan infrastruktur.
Dengan demikian, pintu masuk untuk memperbaiki sistem pemerintahan daerah terletak pada ranah politik dan administratif (menata sistem birokrasi pelayanan publik) serta integritas pribadi para (calon) kepala daerah. Hal inilah yang menjadi moralitas politik dalam menata pemerintahan daerah. Tanpa itu semua otonomi daerah hanya membesarkan ”monster-monster politik lokal” yang haus terhadap darah rakyatnya sendiri meski bertopeng senyum dan janji-janji manis politik.
W RIAWAN TJANDRA, PENGAJAR HUKUM ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA, WAKIL SEKJEN PENGURUS PUSAT ASOSIASI PENGAJAR HTN-HAN
-------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Menelisik Akar Korupsi di Daerah".