Menelusuri Dugaan Korupsi di Perhutani (Bagian 2)
Peraturan Direksi Melegalisasi Penyimpangan
Sebuah bangunan tua bercat putih berdiri kukuh di tengah-tengah kawasan hutan jati Ngawi, Jawa Timur. Letaknya sekitar lima kilometer dari Jalan Raya Solo-Surabaya. Bangunan tua berbentuk rumah itu terbuat dari kayu, sepertinya, peninggalan Belanda.
Bangunan itulah yang menjadi kantor Asisten Perhutani (Asper) Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ngawi, Unit II Jawa Timur. Walaupun hari itu hari kerja (Senin, 20/6), di kantor tersebut tidak tampak aktivitas. Mungkin para pegawai Perhutani sedang bertugas ke lapangan mengurusi tanaman jati.
Tugas seorang Asper (setingkat kapolsek) cukup berat karena mengelola sekitar tiga ribuan hektare kawasan hutan jati. Di atasnya, terdapat administratur yang biasa disebut adm (setingkat kapolres). Adm berwenang atas satu KPH. Biasanya satu KPH meliputi satu kabupaten. Di atasnya lagi, kepala unit (setingkat kapolda), yang membawahi beberapa KPH dalam satu provinsi di Pulau Jawa.
Perhutani terdiri atas tiga Unit. Unit I mengelola hutan jati di Jawa Tengah membawahi 22 KPH, Unit II di Jawa Timur dengan 25 KPH, dan Unit III mengelola kawasan Jawa Barat dan Banten meliputi 14 KPH.
Para kepala unit dibantu beberapa kepala biro (karo). Di antaranya, karo pemasaran yang bertugas mengurus penjualan hasil produksi Perhutani di unit masing-masing. Para kepala unit bertanggung jawab langsung kepada direksi meliputi direktur utama, keuangan, pemasaran, produksi, dan umum. Direksi pun dibantu beberapa kepala divisi, antara lain, divisi pemasaran.
Sebagai pengelola hutan jati yang ada di seluruh Jawa, para adm, karo, kepala unit, kepala divisi pemasaran, direktur pemasaran serta dirut, memiliki wewenang menjual kayu hasil hutan, salah satunya jati. Jati merupakan produk unggulan Perhutani yang harganya paling mahal.
Posisi adm hingga dirut itu 'basah' karena berhubungan langsung dengan penjualan. Di sinilah indikasi korupsi terjadi. Pada umumnya dilakukan oleh para administratur, ujar seorang mantan administratur di Unit II Perhutani, Sabtu (18/6).
Modus korupsi yang dilakukan pejabat Perhutani dan menjadi tradisi serta dilegalisasi oleh peraturan perusahaan terjadi pada proses penjualan kayu. Mereka yang berwenang menjual kayu dapat memanfaatkan selisih harga yang ditetapkan oleh direksi dengan harga pasar.
Direksi, dalam jangka waktu tertentu, menerapkan harga jual dasar (HJD) kayu jati berbagai tipe dan mutu. Saat ini, HJD yang berlaku sesuai dengan Keputusan Direksi No 428/2004. Keputusan itu ditandatangani Dirut Perhutani Marsanto pada 23 Desember 2004. Keputusan itu kemudian diperbarui oleh Direktur Pemasaran Baginda Sitanggang pada 17 Februari 2005.
Isinya, menaikkan HJD sebesar 5% untuk kayu bundar jati sortimen AIII. Sortimen AIII adalah kayu jati yang berdiameter di atas 30 cm. Perhutani mengelompokkan kayu bundar jati dalam tiga kelompok.
Sortimen AI berdiameter 4 cm sampai 19 cm. AII berdiameter 24 cm sampai 29 cm. Diameter lebih besar lagi masuk dalam sortimen AIII. Setiap sortimen memiliki tiga jenis. Kualitas terbaik disebut mutu utama (U). Kualitas kedua masuk dalam mutu pertama (P).
Selanjutnya disebut mutu kedua (D), mutu ketiga (T), mutu keempat (M), dan mutu kelima (L). Mutu L adalah mutu terjelek. Untuk sortimen AI tidak terdapat mutu U dan L, sedangkan sortimen AII tidak ada mutu L.
HJD kayu jati sortimen A1 mutu P yang ditetapkan Perhutani berkisar Rp300 ribu sampai Rp1,5 juta per m3. Jati AI mutu P dengan panjang antara 1 m-2 m3 berharga Rp319.000. Semakin panjang dan semakin besar diameternya, maka harganya semakin mahal. Jati AI dengan panjang 5 m-5,9 m3 diameter 16 cm-19 cm berharga Rp1,6 juta.
Di pasaran, pengusaha kayu besar yang langsung membeli dari Perhutani setempat, harganya jauh di atas itu. Kayu jati jenis AI mutu P dijual seharga Rp1,3 juta-Rp2,7 juta per m3. Artinya, ada selisih harga minimal Rp1 juta antara harga Perhutani dan yang di pasaran.
Selisih harga kayu jati ukuran besar dengan kualitas bagus lebih tinggi lagi. Kayu jati sortimen AII mutu P ditetapkan Perhutani seharga Rp2,2 juta-Rp3,2 juta. Semua kayu jati AII yang dijual memiliki panjang di bawah 3 meter.
Jika membeli dari pengusaha kayu, harganya lebih tinggi, minimal Rp1 juta. Padahal, pengusaha membeli langsung dari Perhutani. Kayu bundar jati AII mutu P harganya berkisar Rp2,5 juta-Rp4 juta. Kayu jati AIII mutu P memiliki HJD mulai Rp3,1 juta-Rp8,6 juta. Misalnya, kayu jati AIII mutu P dengan diameter 30-34 cm dan panjang 2-2,4 meter dijual Perhutani hanya Rp3 juta per m3.
Di pasaran, jati AIII mutu P diperdagangkan mulai harga Rp5 juta. Misalnya, jati AIII mutu P dengan diameter 30-34 cm dan panjang 2-2,4 m3 memiliki harga Rp5,2 juta per m3. Artinya, ada selisih harga sebesar Rp2,2 juta per m3 antara harga Perhutani dan harga pasar.
Selisih harga itu tidak dinikmati pengusaha kayu. Pengusaha justru mengaku membeli kayu dengan harga hampir sama dengan harga pasar dari Perhutani setempat. Kalau memang saya beli murah, kenapa saya jual mahal. Untung dagang jati itu enggak terlalu besar. Kita tidak mungkin membeli kayu dengan harga sesuai HJD. Itu mustahil, ungkap Andi, pengusaha kayu di Jawa Timur.
Selisih harga
Ketika hal ini dipertanyakan, Marsanto yang melepaskan jabatannya sebagai Dirut Perhutani, Rabu (29/6) lalu, mengatakan selisih harga terjadi karena biaya transportasi dan lainnya. Perhutani selalu menetapkan HJD sesuai dengan harga pasar yang ada. Kalau Mas bisa jual dengan harga segitu (harga pasar), saya bisa minta tolong Mas untuk menjualkan kayu? tantang Marsanto yang langsung disanggupi oleh Media.
Menurut pengakuan seorang mantan adm di wilayah Jawa Timur, selisih harga itulah yang masuk ke kantong pribadi pejabat Perhutani. Oleh karena itu, Media tidak terlalu kaget ketika mendapati kediaman dan kendaraan para adm dan mantan adm di Yogyakarta cukup mewah.
Bayangkan, pada 2001, Perhutani menjual 655.000 m3 kayu jati. Bertambah menjadi 668.000 m3 pada 2002. Setahun kemudian, turun sedikit menjadi 428.000 m3 kayu jati. Tapi pada 2004 naik lagi menjadi 521.000 m3. Jadi, Perhutani telah menjual 2,3 juta m3 kayu jati dalam empat tahun itu.
Seandainya Perhutani menetapkan harga jati sesuai harga pasar, maka keuntungan Perhutani akan sangat besar masuk ke kas negara. Kenyataannya, selisih harga sebesar Rp1,5 juta per m3 masuk ke kantong pribadi. Akibatnya, Perhutani kehilangan setoran sekitar Rp3,45 triliun dari hasil penjualan kayu jati.
Jika harga jual dasar kayu jati yang ditetapkan direksi tetap dipakai, maka 2005 ini Perhutani akan rugi dalam jumlah sangat besar. Dengan selisih harga sekitar Rp1,5 juta per m3, Perhutani kehilangan pemasukan sebesar Rp750 miliar untuk penjualan 500.000 m3.
Menurut mantan Ajun KPH Ngawi Unit II Jawa Timur yang minta dirahasiakan namanya, jika keuntungan yang hilang itu masuk ke kas negara, beban APBN akan semakin ringan. Paling tidak, uang tersebut dapat menutupi biaya perawatan dan pelestarian dalam rangka merehabilitasi hutan yang telah rusak seluas 1,1 juta hektare. (HA/Rdn/Yes/X-9)
Sumber: Media Indonesia, 6 Juli 2005