Menelusuri Dugaan Korupsi di Perhutani (Bagian 4)
Semua Peserta Lelang Satu Sindikat
INDONESIA, Myanmar, dan Thailand, merupakan negara penghasil kayu jati di dunia. Jati sangat disukai karena tergolong kayu berkualitas tinggi dan tahan lama. Di antara tiga negara tadi, hanya Indonesia yang mengelola hutan jati secara lestari.
Hutan jati di Indonesia merupakan kekayaan alam yang luar biasa. Pengelola tunggalnya adalah Perhutani. Ia menguasai 2,5 juta hektare hutan di Pulau Jawa. Oleh karena itu, Perhutani menjadi perusahaan yang sangat dibutuhkan pengusaha kayu maupun perajin di seluruh dunia.
Perum Perhutani didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 15/1972. Selain memproduksi kayu jati, Perhutani juga memproduksi kayu rimba indah, rimba industri, serta rimba lain.
Rimba indah terdiri dari kayu sonokeling, sonokembang, sonobrits, mahoni, dan kaya. Rimba industri adalah kayu pinus, damar, sengon, jabon, gmelina arborea, dan akasia mangium. kayu selain itu digolongkan sebagai kayu rimba lain.
Dalam memasarkan kayu, Perhutani menerapkan tiga sistem pemasaran/penjualan. Dengan cara lelang, kontrak, atau langsung. Untuk penjualan lelang, Perhutani menentukan harga penawaran lelang (HPL). Sedangkan penjualan dengan cara kontrak dan langsung, harganya sesuai dengan harga jual dasar (HJD) yang ditetapkan direksi.
Dalam sistem lelang, mafia kayu selalu bermain. HPL ditetapkan di bawah HJD. Jadi harga kayu sangat murah. Tujuannya mungkin agar saat penawaran harganya di atas HJD. Kenyataannya tidak. Akhirnya, proses lelang ini pun merugikan negara, ujar pegawai Perhutani yang selama ini ikut berurusan dengan penjualan kayu.
Modusnya, semua peserta lelang merupakan satu sindikat. Dengan cara ini, mereka bisa mengatur harganya dalam proses lelang. Jika ada niat baik, direksi seharusnya sudah memperbaiki HPL jauh-jauh hari untuk mencegah kerugian yang berkepanjangan.
Dalam penjualan cara kontrak, yang diuntungkan tentu direksi dan unit. Berdasarkan keputusan direksi nomor 347/2004, penjualan kontrak hanya dapat dilakukan direksi dan unit. Direksi melayani penjualan kayu jati AIII dengan sistem kontrak per tahun per perusahaan di atas 500 m3. Sedangkan unit melayani penjualan jati sebesar 500 m3 sampai seribu m3 per tahun per perusahaan.
Anehnya, sistem kontrak ini tidak mengharuskan perusahaan membayar di muka. Juga tidak ditetapkan sanksi yang jelas bilamana sebuah perusahaan tidak jadi membeli kayu. HJD yang dipakai pun sangat murah dibandingkan harga pasar. Ini sangat merugikan negara, ujar seorang pejabat Perhutani yang namanya diketahui Media.
Cara terakhir disebut penjualan langsung. Pada zaman Belanda, penjualan langsung hanya diperuntukkan bagi pembangunan sarana kepentingan umum, seperti tempat ibadah, sekolah, dan lainnya. Setelah hutan jati dikelola Perhutani, penjualan langsung tidak lagi diperuntukkan bagi kepentingan umum.
Dalam pasal 24 keputusan direksi nomor 347/2004, penjualan langsung hasil hutan seperti jati diperuntukkan bagi industri besar, menengah, dan kecil. Lainnya, untuk koperasi, masyarakat desa hutan, dan warung kayu yang bergerak di bidang pengolahan dan penggunaan hasil hutan.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan, Perhutani dilarang menjual kayu kepada pedagang kayu atau distributor kayu. Kayu hanya diperuntukkan bagi end user.
Fakta di lapangan berkata lain. Industri kecil membeli kayu jati dari pedagang kayu, bukan dari Perhutani. Padahal, menurut peraturan, kayu jati yang dibeli dari Perhutani haruslah diolah, bukan untuk dijual.
Saat ini, dengan mudah dapat ditemukan pengusaha atau pedagang kayu jati yang menjual kayu secara bebas. Mereka mengambil atau membeli dari Perhutani. Kemudian dijual kembali tanpa mengubah bentuknya. Hal ini menandakan, Perhutani telah melanggar peraturan dalam proses penjualan kayu.
Sebenarnya, Perhutani wajib memeriksa pembeli kayu jati. Tugas pemeriksa merupakan wewenang administratur atau pejabat lainnya yang dituangkan dalam bukti acara pemeriksaan. Hal itu tercantum dalam pasal 24 ayat 3 keputusan direksi nomor 347/2004.
Lalu mengapa kayu jati bundar bisa beredar bebas di pasaran? Menurut seorang administratur, mereka yang berwenang menjual kayu tidak memikirkan masalah tersebut. Bagi mereka, yang penting kayu laku dan mendapatkan untung besar. Selisih harga dari penjualan itu akan masuk ke saku masing-masing. Modus ini sudah berlangsung sangat lama.
Yang berwenang menjual kayu adalah direksi dibantu kepala divisi pemasaran, kepala unit dibantu kepala biro, serta administratur di 61 KPH seluruh Jawa.
Marsanto yang pekan lalu menyerahkan jabatannya sebagai Dirut Perhutani kepada Transtoto Handadari menjelaskan, pedagang kayu muncul karena industri kecil malas mengurus pembelian langsung ke Perhutani. Mereka meminta bantuan pihak-pihak tertentu untuk membeli kayu ke Perhutani. Padahal Perhutani wajib memeriksa setiap pembeli.
Mereka sendiri yang menciptakan pengusaha-pengusaha atau pedagang kayu. Kita membuka tangan selebar-lebarnya bagi mereka yang ingin membeli kayu dari Perhutani. Terutama industri kecil, ujar Marsanto.
Menurut seorang administratur, industri kecil malas berurusan dengan Perhutani karena sistemnya dibuat sulit. Selain itu, karena terjadi konspirasi antara pengusaha kayu dan pejabat Perhutani setempat. Pejabat Perhutani lebih untung menjual kayu ke pengusaha karena baru memesan saja, mereka sudah memberikan uang. Padahal, kayunya belum tentu ada. Akhirnya, timbullah terkesan liar.
Mengapa hal ini terus berlangsung? Apakah tidak ada pemeriksaan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)? Administratur tadi menambahkan, pemeriksaan dari auditor BPKP selalu ada. Namun, mereka hanya memeriksa bukti-bukti formal di atas kertas. Mereka tidak pernah mengecek ke lapangan.
Selain itu, setiap ada pemeriksaan, para pejabat Perhutani sudah menyiapkan sejumlah uang kepada auditor. Auditor dilayani seperti raja. Pendekatan kemanusiaan ini yang membuat hasil audit selalu menyatakan wajar tanpa syarat, ungkap administratur di Unit II Jawa Timur.
Situasi seperti inilah, menurut seorang pejabat di Unit II Jawa Timur, membuat Perhutani rugi besar pada 2003. Ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah Perhutani. Sudah hutannya rusak, rugi pula.
Menteri Kehutanan MS Kaban berpendapat sama. Belum ada sejarahnya, Perhutani rugi, sindirnya. Oleh karena itu, pejabat di Unit II itu berharap pergantian direksi dapat membuat Perhutani menjadi lebih baik dan hutan di Pulau Jawa bisa diperbaiki kembali. (HA/Rdn/Yes/X-9)
Sumber: Media Indonesia, 8 Juli 2005