Meneropong Kejahatan Korupsi
Upaya penanganan kejahatan korupsi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah belum mampu menyentuh akar persoalan korupsi itu sendiri. Penegakan hukum dengan membawa para koruptor kemeja hijau adalah persoalan taktis dari penanganan korupsi.
Genderang perang terhadap korupsi yang dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu, baru-baru ini mendapatkan sambutan yang cukup antusias dari masyarakat. Gebrakan 100 hari yang dilakukan pemerintah untuk menyeret para koruptor ke pengadilan adalah salah satu langkah maju bagi upaya penegakan hukum terhadap para koruptor kakap yang selama ini dianggap kebal hukum, kendati implementasinya masih jauh dari harapan.
Sejauh ini serangkaian kasus-kasus korupsi memagn terus saja menguak ke permukaan, dan selalu melibatkan pejabat tinggi negara serta anggota legislatif. Simak saja, dugaan korupsi di Sumbar, Banten, Jateng, Kendari dan daerah-daerah lain. Sejalan dengan itu, muncul harapan dari masyarakat tentang keseriusan pemerintah untuk melakukan pemberantasan KKN di amat mengurita di Indonesia.
Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1967, dengan dibentuknya Tim Pemberantas Korupsi yang diketuai oleh Mayjen Sutopo Yuwono, SH, IJ Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, Prof Ir Yohanes dan Mayjen Sutopo Yuwono. Kemudian Opstib-1977 dengan koordinator pelaksana Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, di tingkat pusat pelaksana operasionalnya oleh Pangkokamtib, sementara di daerah oleh Laksusda. Tim Pemberantas Korupsi 1982 pelaksananya melibatkan pula Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Pangkokamtim, Ketua MA, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kapolri. Sementara Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) Tahun 1999, berdasarkan putusan Hak Uji Materiil MA, lembaga ini terpaksa dibubarkan.
Pada tahun 2002 terbentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga telah memasukkan fungsi KPKPN dalam tugasnya sehingga diharapkan akan menjadi instrumen yang melembaga dan bersifat independen, bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun sehingga mampu maksimal dalam menjalankan tugasnya. Tetapi tampaknya upaya-upaya tersebut tidak cukup mampu mengatasi persoalan pemberantasan korupsi. Hal ini lebih dikarenakan belum adanya keseriusan dari pemerintah untuk mengadili secara tegas para pelaku korupsi di Indonesia. Karena, persoalan korupsi bukan hanya melibatkan satu sisi saja, tetapi telah merasuki seluruh aspek kehidupan dan pemerintahan.
Dari sisi peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi tertuang dalam Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelengaraan negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelengaraan negara yang bersih dan bebas KKN, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini mengartikan bahwa persoalan korupsi bukan hanya perilaku, tindakan atau upaya penyelewengan anggaran negara. Tetapi, praktik korupsi sudah dapat diaartikan sebagai pemerkosaan perundang-undangan di Indonesia atau yang sering disebut dengan crime against constitution. Dengan demikian pengadilan atas para koruptor secara tidak langsung adalah upaya untuk menegakkan konstitusi atau perundang-undangan.
Pada perkembangan selanjutnya, karena tidak adanya keseriusan pemerintah untuk melakukan pemberantasan korupsi, maka korupsi memiliki kecenderungan untuk menjadi masalah publik, yang dilakukan secara bersama-sama atau yang juga disebut dengan korupsi berjamaah, sebagaimana praktik korupsi atau penyelewengan anggaran yang dilakukan oleh para anggota dewan yang terhormat.
Upaya penanganan kejahatan korupsi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah, menurut penulis, belum mampu menyentuh pada akar persoalan korupsi itu sendiri. Penegakan hukum dengan membawa para koruptor ke meja hijau adalah persoalan taktis dari penanganan korupsi. Sekali lagi, bahwa kejahatan korupsi adalah crime against constitution, maka mendasarkan penanganan korupsi pada sistem pembuatan kebijakan adalah lebih strategis dan menjadi langkah pertama yang harus dilakukan sebelum menguak kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat publik dan konglomerat besar. Dengan demikian langkah-langkah yang bisa dilakukan meliputi:
Pertama, meletakkan persoalaan korupsi dalam perspektif sistem, khususnya sistem negara sebagaimana yang diatur oleh konstitusi. Hal ini penting mengingat kejahatan korupsi adalah crime against constitution, sehingga meletakkan penanganan korupsi dalam konstitusi atau undang-undang menjadi satu langkah maju penanganan. Selain itu persoalan korupsi menyangkut seluruh aspek dan sisi kehidupan rakyat dan negara. Maka, dengan menempatkan persoalan korupsi sebagai persoalan sistem maka langkah-langkah penanggulanganya tidak bisa dilakukan secara parsial. Tetapi harus diikuti dengan langkah-langkah strategis dalam kerangka sistem itu, yaitu melakukan perubahan konstitusi yang akan mengatur mekanisme penanganan dan sanksi atas para koruptor. Baik dari sisi pembuatan kebijakan, aparatur penegak hukum, seperti kepolisian, pengadilan (jaksa dan hakim), masyarakat itu sendiri maupun lembaga-lembaga yang berkompeten dalam pemberantasan korupsi yang dalam hal ini adalah KPK.
Kedua, melakukan pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan menjadi penting untuk menjaga profesionalisme kelembagaan. Hal ini menjadi strategis untuk menjaga independensi lembaga-lembaga tersebut khususnya dalam rangka pembuatan kebijakan-kebijakan publik. Serta dalam rangka meminimalisir segala bentuk intervensi kekuasaan, baik kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legeslatif. Pada sisi lain pembagian kekuasaan dalam lembaga-lembaga tinggi negara baik eksekutif, yudikatif dan legislatif menjadi penting untuk sama-sama menjalankan fungsinya secara substantif dan prinsipiil. Serta melakukan pembagian kerja dalam struktur pemerintahan secara profesional sesuai dengan pembidangan masing-masing. Dengan tetap menempatkan fungsi pengawasan dan kontrol sebagai manifestasi dari prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Pembagian kekuasaaan ini juga strategis dalam rangka untuk mewujudkan profesional kelembagaan, khususnya KPK sebagai lembaga yang berkompeten terhadap penanganan korupsi di Indonesia. Selain itu penanggaulangan secara berkelanjutan dengan kerjasama semua aparaturpenegak hukum, baik kepolisian, jaksa, hakim, MA dan pemerintah itu sendiri.
Ketiga, menghindari politisasi dan intervensi politik terhadap upaya hukum penanganan korupsi. Hal ini strategis mengingat fenomena maraknya korupsi di Indonesia juga sangat potensial dipolitisir oleh elite-elite politik kita, sehingga kecenderungan terjadinya intervensi terhadap upaya penegakan korupsi cukup dominan mewarnai pengadilan-pengadilan terhadap kasus-kasus korupsi di Indonesia. Baik dilakukan oleh penguasa maupun dilakukan oleh para elit politik kita. Dalam suasana euforia demokrasi dan reformasi seperti sekarang ini, persoalan korupsi juga telah merebak dalam proses-proses politik yang terjadi di Indonesia, baik di tingkat legislasi maupun dalam proses politik yang lain, seperti suksesi. Maka menjadi sangat penting untuk mengedepankan prinsip-prinsip etika politik karena telah tereduksir sedemikian rupa yang lambat laun akan menjadi krisis etika politik, sehingga elit politik tidak sadar lagi akan posisinya atas hak dan kewajiban yang harus ditanggungnya sebagai konsekuensi dari kekuasaannya di dalam lembaga publik yang juga berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari masyarakat (baca: partai politik)
Keempat, membangun cara pandang baru negara atas penanganan korupsi dengan jalan meletakkan persoalan korupsi dalam persoalan sistem sama halnya dengan melakukan perubahan perilaku negara dalam praktik penanganan korupsi. Maka, keseriusan pemerintah akan menjadi indikator penting dalam menilai keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia. (Eko Setio Budi, Wakil Sekjen Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia - PB PMII, peserta Magister Perencanaan Kebijakan Publik Universitas Indonesia).
Tulisan ini diambil dari Suara Karya, 18 Februari 2005