Menertibkan Rekening Liar
Heboh rekening liar yang digunakan di hampir semua pejabat lingkungan departemen dan lembaga negara dalam beberapa hari terakhir menarik untuk dicermati. Hal ini mencuat setelah Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan, Hekinus Manao, belum lama ini mengungkapkan bahwa Departemen Keuangan kembali menemukan 2.000 rekening baru yang tidak jelas atau liar di 23 kementerian dan lembaga negara.
Temuan baru tersebut menambah jumlah rekening liar yang ditemukan pemerintah menjadi 5.195 rekening. Sebelumnya, yakni pada Februari 2006, Departemen Keuangan berhasil menemukan 3.195 rekening tidak jelas senilai Rp 17,6 triliun. Jumlah ini lebih lebih besar dibandingkan 1.303 rekening yang bisa juga disebut liar yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai Rp 8,5 triliun.
Rekening seperti ini disebut liar karena karena pemilik rekening menyimpan uang negara dan menampung sejumlah penerimaan negara, tetapi mereka tidak menyetorkannya ke kas negara. Selain itu, rekening tersebut tidak pernah dilaporkan kepada menteri keuangan sebagai bendahara umum negara. Penggunaannya pun bermacam-macam. Sebagian dana yang tersimpan di rekening-rekening liar itu ada yang dipakai untuk menyimpan pungutan tak resmi atau dana nonbujeter. Biasanya dana tersebut digunakan menjadi dana taktis yang peruntukannya seringkali tidak sesuai dengan fungsi dari departemen atau lembaga negara yang bersangkutan.
Belajar pada pengalaman
Belajar dari kasus korupsi yang terjadi di Bulog, terlihat bahwa keberadaan dana nonbujeter memang secara sengaja dan sistematis dirancang dengan sifat dan tujuan ganda yang mencerminkan kebijakan di Bulog sebagai lembaga penyangga ketahanan pangan, sekaligus menjadi instrumen kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaaan dari aspek pendukung finansial.
Contohnya adalah penggunaan dana nonbujeter dalam jumlah besar yang bagi aktivitas yang tak ada hubungannya dengan kegiatan Bulog, seperti mendirikan Pusat Kanker Rumah Sakit Harapan Kita, Museum Purnabhakti Pertiwi, dan sebagainya. Sebagian dana Bulog itu juga mengucur untuk memutar roda politik dan gelap pertanggungjawabannya.
Gara-gara dana nonbujeter ini, Rahardi Ramelan, mantan kepala Bulog dan Sapuan,mantan wakil kepala Bulog diadili dan telah dijatuhi vonis penjara. Kasus serupa belakangan juga dilakukan mantan menteri kelautan Rokhmin Dahuri. Dia diadili karena didakwa melakukan penyalahgunaan dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan.
Selain itu dalam rekening liar ada juga yang dipakai untuk menampung sebagian dana anggaran negara, tapi tidak dilaporkan. Pola ini banyak dilakukan oleh para pejabat di daerah. Mereka menyimpan dana bantuan pusat untuk daerahnya dalam rekening gelap seperti itu. Akibatnya banyak pembangunan yang terbengkalai karena dana tersebut sulit dikeluarkan. Praktik penggunaan rekening liar tersebut jelas merupakan pelanggaran hukum. Pejabat tidak dibenarkan mengumpulkan pungutan bukan pajak tanpa menyetornya ke kas negara. Hal ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997
tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pembuatan rekening untuk menampung anggaran pun tetap harus dilaporkan sebagaiamana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pada intinya, UU ini menyebutkan bahwa menteri atau pemimpin lembaga dapat membuka rekening untuk penerimaan hanya setelah mendapat persetujuan bendahara negara, dalam hal ini menteri keuangan. Tanpa persetujuan menteri keuangan, maka rekening itu meskipun berada di bawah departemen atau lembaga negara harus dianggap sebagai rekening liar.
Tidak saja membuat uang negara triliuan rupiah menguap setiap tahun, rekening liar juga menyebabkan laporan keuangan pemerintah kacau-balau dan sulit dipertanggungjawabkan. Sejak Undang-Undang Keuangan Negara disahkan pada 2003, BPK selalu tidak memberikan pendapat (disclaimer) terhadap laporan keuangan pemerintah pusat. Salah satu penyebabnya adalah akibat banyaknya rekening liar tersebut.
Penilaian disclaimer sebetulnya sangat memalukan karena berarti pemerintah dianggap tak sanggup mengelola keuangan negara secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Hasil pemeriksaan BPK itu juga mengindikasikan kemungkinan korupsi masih merajalela di departemen dan lembaga-lembaga pemerintah. Tidak ada jalan lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya lebih giat membongkar dugaan korupsi yang dilakukan para pejabat. Tak hanya Departemen Kelautan, praktik kotor di departemen-departemen lain harus pula diusut.
Cara penyelesaian
Paling tidak ada empat langkah yang harus segera diambil dalam menertibkan rekening-rekening liar tersebut. Langkah yag pertama adalah, pemerintah melalui menteri keuangan harus menutup seluruh rekening liar milik departemen dan lembaga pemerintahan. Salah satu jalan alternatif yang dapat diambil adalah rekening liar tersebut harus dimasukkan ke rekening resmi yang ada sehingga keberadaannya menjadi transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Langkah yang kedua, sebagai bagian dari upaya pencegahan dan penindakan korupsi, pemerintah dan DPR harus meminta BPK menggelar audit khusus (special audit) terhadap rekening-rekening tidak jelas atau rekening liar di sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah. BPK juga perlu meneruskan ke proses hukum dengan melaporkan hasil audit ini kepada pihak kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi jika terdapat indikasi kuat terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan rekening tersebut. Uang yang tidak dapat dipertanggungjawabakan harus disita untuk negara.
Sedangkan langkah yang ketiga, Departemen Keuangan perlu mengumumkan kementerian yang masih memiliki rekening liar dan rekening-rekening ini harus segera ditutup. Pengumuman ini diharapkan dapat menjadi efek kejut (shock therapy) terhadap pejabat publik yang membuat rekening liar atau yang berencana membuat rekening resmi lainnya. Perlu juga dipikirkan mengenai pemberian sanksi administratif kepada aparatur negara yang melakukan penyimpangan.
Yang terakhir, langkah kelima berupa pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara yang juga harus ditingkatkan secara terus-menerus. Pemerintah semestinya memberdayakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawasi departemen dan lembaga negara dalam mengelola uang negara. Semestinya, selain BPK , BPKP sebagai institusi pengawas keuangan di bawah pemerintah, juga harus diberi wewenang mengawasi lebih intensif. Mereka seharusnya tidak hanya menjalankan audit rutin setahun sekali.
Ditertibkan atau tidaknya rekening liar lagi-lagi sangat tergantung pada kemauan baik dari kemauan pemerintah untuk menertibkan pencatatan pendapatan dan pengeluaran anggaran belanja negara. Seharusnya, momentum ini dapat menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk membersihkan dirinya dari praktik korupsi. Saat ini, diakui atau tidak, praktik korupsi telah menjalar ke semua lingkungan departemen dan lembaga-lembaga negara yang lain.
Emerson Yuntho, anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Republika, 11 Juni 2007