Mengadili Korupsi Mengapa Dipersulit?
Judul tulisan ini seharusnya lebih panjang, Mengapa di Negara Hukum Ini Mengadili Orang yang Diduga Korupsi Dipersulit? Pertanyaan itu coba mencerminkan kerisauan publik dalam menghadapi silang sengketa pendapat di antara orang-orang hukum tentang boleh tidaknya digunakan asas retroaktif untuk mengadili koruptor di pengadilan.
Sebagian orang hukum bisa saja menjawab bahwa itu bukan mempersulit, tetapi aturan dan asas hukumnya demikian. Apa pun alasannya, kenyataannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa menjamah korupsi yang dilakukan pada masa tertentu.
Sudah makin serak suara bangsa ini meneriakkan pemberantasan korupsi. Tetapi akan datang alasan, mengapa macam-macam alasan diajukan dengan efek menjegal pemberantasan korupsi? Buat apa dibuat UU Anti-Korupsi yang berkali-kali disempurnakan, buat apa dibuat KPK, jika harus berakhir seperti ini?
KITA ingin menjadi bangsa beradab. Baik. Kita tidak ingin sembarangan memberantas korupsi. Baik. Kita melawan korupsi dengan hukum. Baik. Korupsi menjadi sulit diberantas. Ini tidak baik.
Bahwa Indonesia adalah negara hukum adalah satu hal, sedang menjadikannya negara yang hidup, bersemangat melindungi rakyat, memajukan kesejahteraan rakyat, adalah hal berbeda. Untuk mencapai cita-cita itu, teks UUD saja tidak banyak berguna. Yang lebih diperlukan adalah aksi-aksi progresif guna membuat janji-janji UUD menjadi kenyataan.
Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjaga UUD. Bagus. Tetapi, tugas dan pekerjaan menjaga konstitusi menjadi tidak bagus jika tidak diresapi semangat menjadikannya sebagai living constitution. Living di sini berarti penuh semangat dan kegairahan, bervisi ke depan bagaimana membawa bangsa menuju kesejahteraan dan kebahagiaan.
Kepada siapa UUD akan kita percayakan sehingga menjadi dokumen yang hidup, bukan sekadar black-letter constitution? Seluruh bangsa tidak mungkin bersama-sama mengemudikan kapal negara hukum. Hanya ada sekelompok kecil, seperti presiden, pemimpin politik, dan MK. Keadaan menjadi amat dramatis, mengingat nasib 200 juta orang diserahkan kepada kepiawaian dan kearifan sejumlah kecil orang-orang itu. Belum lagi masalah tentang seberapa besar kepiawaian dan kearifan mereka?
Kita ingin agar elite benar-benar terdiri dari mereka yang memiliki vision, pandangan ke depan dan kesadaran amanah (sense of mission). Mereka tidak boleh sekadar menjalankan peran sebagai pekerja yang tidak berpandangan ke depan, tidak merasa mengemban amanah ke mana bangsa akan dibawa. Singkat kata, pertama-tama mereka perlu memiliki kualitas kenegarawanan, statesmanship. Jangan kualitas kenegarawanan hanya dituntut dari presiden, tetapi juga yang lain-lain. Bangsa ini akan amat berbahagia jika anggota DPR memiliki legislative statesmanship dan para hakim agung memiliki judicial statesmanship.
MK tidak bisa diserahkan kepada hakim-hakim biasa, tetapi kepada mereka yang memiliki vision dan kenegarawanan. MK bertugas menjaga konstitusi. Tetapi, masalah yang lebih penting dan mendasar adalah bagaimana para hakim agung menjaga UUD? Apakah mereka akan menerima tugasnya sebagai pengeja UUD? Ataukah mereka menerima peran sebagai pejuang yang akan membawa bangsanya mengarungi samudra dunia dengan determinasi cita-cita yang kokoh? Apakah mereka akan menjadi penerjemah yang memberi makna progresif atas UUD?
BARU-baru ini ada seorang psikiater mengutarakan, pendapat MK tentang larangan KPK mengadili kasus-kasus sebelum 27 Desember 2002 akan menjadikan bangsa ini mengidap amnesia, menjadi bangsa amnestik (Kita Dipaksa Jadi Bangsa Amnestik, Kompas, 19/2/2005). Efek psikiatris dari putusan MK menjadikan kita bangsa pelupa, bangsa yang mudah melupakan kejahatan masa lalu. Kita menerimanya sebagai pendapat pakar di bidangnya. Haruskah hakim MK yang terdiri dari ahli hukum mengabaikan pendapat psikiater itu, semata-mata berdasarkan alasan bukan ahli hukum? Mudah-mudahan tidak ada sikap seperti itu. Mudah-mudahan kita bisa menerima, psikiatri yang sudah memasuki ranah hukum akan menjadikan hukum lebih kaya dan sehat.
Apabila diterima, MK perlu memiliki wawasan kenegarawanan (judicial statesmanship), maka sebaiknya MK memikirkan dan memedulikan efek serta tujuan sosiologis, ekonomis, politik, dan kultural dari putusan yang diambil atau pernyataan yang dibuat. Inilah intisari yang ingin dikatakan melalui pandangan jauh ke depan dan judicial statesmanship. Produk MK bukan hanya putusan hukum (judicial legal decision). Tidak bisa putusan hanya dilarikan ke ranah perundang-undangan, doktrin, dan asas yang kaku. Hukum tidak hanya diukur dari penggunaan logika peraturan, tetapi lebih daripada itu, kelayakan sosial (social reasonableness). Apakah ini memberi kesejahteraan, keadilan, menyelamatkan?
Kehadiran MK yang progresif saat ini amat dibutuhkan. Progresif berarti tidak submisif, pasrah bongkokan terhadap kata-kata, terhadap doktrin, dan asas yang dominan. Kata kuncinya adalah berani melakukan pembebasan. UUD akan menjadi living constitution hanya jika penjaganya berdedikasi tinggi untuk membebaskan diri dari absolutisme pikiran dan teori serta dari penjara positivisme yang kaku dan dogmatis. Hukum, UUD, bukan hanya peraturan dan logika, tetapi lebih pada itu memiliki tujuan sosial lebih mulia untuk rakyat.
Kita suka mengobral pendapat, korupsi di negeri ini merupakan kebejatan yang berdimensi luar biasa. Maka, cara-cara yang digunakan untuk menghadapi juga berkualitas luar biasa. Ini berarti tidak tradisional dan konvensional, tetapi terbuka untuk bertindak lebih progresif dan berani melakukan pembebasan. Penjagaan dan pemaknaan terhadap UUD tidak boleh dibelenggu doktrin, asas, dan teori status quo. Alangkah bahagia bangsa ini jika para hakim agung bisa bertindak sebagai pembebas yang hanya peduli terhadap bagaimana bangsanya bangkit kembali dari aneka penderitaan, keterpurukan, dan ketidakadilan.
Keinginan untuk memberantas korupsi bukan hal baru, bukan ditandai garis start 27 Desember 2002, tetapi sudah sejak 1970-an, lebih dari 30 tahun. Lalu, mengapa para terdakwa koruptor harus menikmati kelonggaran release and discharge? Perdebatan tentang penggunaan asas retroaktif tidak menyentuh substansi karena sudah lebih dari 30 tahun kita ingin melakukan pemberantasan korupsi yang kini semakin parah. Jadi, yang kita hadapi dalam kontroversi penggunaan asas retroaktif sebenarnya tidak menyangkut hal substansial.
Penggunaan asas retroaktif memang bisa menjadi masalah besar jika kita memproyeksikannya pada latar belakang alam pikiran hukum liberal. Di situ asas nonretroaktif menjadi salah satu pilar penting untuk mengamankan bastion perlindungan individu. Untuk itu, prosedur menjadi andalan.
Dalam suasana serba luar biasa ini, marilah kita bertindak progresif dengan berani membebaskan diri dari dominasi teknikalitas, prosedur, doktrin, serta asas konvensional, jika itu membelenggu kita untuk keluar dari penderitaan. Aneka putusan MK sebaiknya berkualitas milestone dalam perjalanan negara hukum.(Satjipto Rahardjo Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI))
Tulisan ini diambil dari Kompas, 1 Maret 2005