Mengantar Anggaran Pemerintah Baru [19/08/04]
SEMENJAK kita kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) berakhir pada 2003, anggaran pemerintah selalu dibayangi tantangan dan paradigma baru. Bila pada 2004 kita dihadapkan pada upaya menuju kemandirian fiskal mengingat tidak ada lagi fasilitas penjadwalan ulang utang luar negeri melalui Paris Club seperti yang kita nikmati selama ini, maka pada tahun anggaran 2005 pemerintah sekarang ini dihadapkan pada masa transisi menuju pemerintahan baru. Selain itu dalam anggaran pemerintah tahun 2005 mulai diterapkannya sistem anggaran terpadu yang melebur anggaran rutin dan pembangunan dalam satu format anggaran yang diharapkan bisa mengurangi tumpang tindih alokasi.
Dengan akan berakhirnya masa pemerintahan sekarang ini, maka kita bisa melakukan sedikit evaluasi hasil yang diperoleh selama ini. Pada tahun 2003 nilai tukar rata-rata rupiah mencapai Rp 8.572,00 per 1 dolar AS atau menguat 16,4% dibandingkan dengan tahun 2001. Sedangkan laju inflasi menurun menjadi 5,1% atau lebih rendah dibandingkan dua tahun sebelumnya.
Rata-rata tertimbang suku bunga SBI 3 bulan juga turun menjadi 8,3%, jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2001 yaitu sebesar 17,6%. Demikian pula defisit APBN menurun menjadi 2,1% dari PDB, lebih rendah dibandingkan tahun 2001 yaitu sebesar 2,8% dari PDB. Stok utang pemerintah juga mengalami penurunan menjadi sekira 69% dari PDB, jauh menurun dibandingkan tahun 2001 yaitu sekira 87% dari PDB. Cadangan devisa meningkat menjadi 36,3 miliar dolar AS atau sekira 8 miliar lebih besar dibandingkan akhir tahun 2001.
Peningkatan stabilitas dan kinerja ekonomi makro tersebut telah memberikan dorongan kepercayaan pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta meningkat menjadi 691,9 atau 76,5% lebih tinggi dibandingkan akhir tahun 2001.
Stabilitas moneter yang membaik juga didukung oleh perbankan yang makin sehat. Pada periode 2001 sampai 2003, rasio kecukupan modal stabil sekira 20% jauh di atas ketentuan batas minimum rasio kecukupan modal yaitu sebesar 8%. Dalam periode yang sama, jumlah kredit bermasalah juga menurun tajam dari 12,1% menjadi 8,2%.
Pada akhir tahun 2003 jumlah dana yang disalurkan kepada masyarakat meningkat sebesar 15,4% per tahun dibandingkan akhir tahun 2001, termasuk di dalamnya penyaluran kredit usaha kecil yang meningkat sebesar 32,9% per tahun dalam periode yang sama. Dengan meningkatnya dana yang disalurkan kepada masyarakat maka rasio antara pinjaman terhadap deposito, meningkat dari 33% pada akhir tahun 2001 menjadi 43,2% pada akhir tahun 2003.
Peningkatan kinerja perekonomian Indonesia juga ditandai oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi dari 3,5% pada tahun 2001 menjadi 4,1% pada tahun 2003.
**
KENDATI pemerintahan sekarang hanya mengantar dan mengusulkan rancangan anggaran pemerintah yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dan DPR baru nanti, kita saksikan RAPBN 2005 masih sama seperti anggaran sebelumnya, sangat operasional.
Menteri Keuangan Boediono menegaskan hal ini dilakukan tanpa berusaha untuk memasung pemerintahan baru. Revisi APBN masih sangat terbuka dilakukan terutama yang menyangkut kebijakan strategis seperti di bidang belanja pegawai, subsidi BBM dan belanja daerah, serta beberapa prioritas sektoral lainnya.
Sama seperti anggaran tahun sebelumnya, penerimaan negara dari sektor pajak memegang peranan sangat dominan pada pos pendapatan negara. Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB juga meningkat dari 11,9% pada tahun 2001 menjadi 13,6% dalam APBN 2004. Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) diperkirakan mengalami penurunan karena: Pertama, penerimaan sumber daya alam yang bersumber dari minyak bumi dan pertambangan umum yang saat ini sedang dalam pengembangan investasi baru; Kedua, penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan masih dalam program pengurangan jumlah penebangan guna pelestarian hutan dan lingkungan; Ketiga, terbatasnya penerimaan dividen dari BUMN. Sektor-sektor PNBP lain yang masih berpotensi untuk ditingkatkan antara lain bersumber dari sektor gas alam dan dari jasa telekomunikasi, seperti pendapatan hak dan perizinan dari penyelenggaraan telekomunikasi.
Secara keseluruhan, pendapatan negara dan hibah direncanakan sebesar Rp 377,9 triliun atau naik sebesar Rp 28 triliun (8%) dibandingkan tahun 2004. Sumber pendapatan negara terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 297,5 triliun dan penerimaan bukan pajak Rp 79,6 triliun. Jumlah tersebut sekira 78,7% dari total penerimaan negara dan hibah tahun 2005.
Presiden Megawati Soekarnoputri menyatakan kontribusi penerimaan sektor perpajakan yang semakin meningkat tersebut, menunjukkan bahwa pemerintah tetap konsisten untuk terus menggali sumber-sumber pendanaan dari dalam negeri dalam rangka mewujudkan kemandirian APBN.
Dari jumlah tersebut, penerimaan PPh diperkirakan sekira Rp 141,9 triliun atau naik 5,9% dibandingkan APBN 2004. Sedangkan penerimaan PPN dan PPnBM diperkirakan sekira Rp 98,8 triliun atau naik sebesar 14,6% dibandingkan tahun 2004. Selanjutnya, penerimaan cukai diperkirakan sebesar Rp 28,9 triliun.
Dari sisi belanja negara, sesuai amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, dimulai penerapan sistem penganggaran terpadu yang melebur anggaran rutin dan pembangunan dalam satu format anggaran. Penggabungan belanja rutin (terutama gaji dan belanja barang) dengan belanja pembangunan dimaksudkan untuk mengurangi alokasi yang tumpang tindih. Walau hasilnya mungkin baru dapat dinikmati beberapa tahun lagi, saya yakin upaya ini dapat menghemat dan mengurangi praktik KKN di bidang keuangan negara. Untuk itu, pemerintah dan DPR hasil Pemilu 2004 nanti diharapkan dapat melanjutkan proses konsolidasi tersebut, ujar presiden.
Di sisi belanja pegawai ditetapkan Rp 62,2 triliun atau meningkat 8,7% dibandingkan tahun 2004, dan belanja barang sebesar Rp 31 triliun atau turun 12,9% dari tahun 2004. Kenaikan belanja pegawai tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki besaran manfaat tunjangan hari tua (THT) pegawai negeri setelah memasuki masa pensiun, pembayaran beban iuran pensiun, dan penyediaan anggaran untuk penerimaan pegawai baru, utamanya di bidang pendidikan, kesehatan dan agama.
Masih dalam kelompok belanja negara ini adalah anggaran untuk pembayaran bunga utang sebesar Rp 64 triliun, yang terdiri dari bunga utang dalam negeri Rp 38,8 triliun dan bunga utang luar negeri Rp 25,1 triliun.
Dibandingkan tahun 2004, keseluruhan beban bunga utang tersebut menunjukkan penurunan 2,6%. Selanjutnya dalam rangka mendukung pembangunan nasional dianggarkan belanja modal Rp 43 triliun, yang berarti kenaikan 8% dari anggaran yang sama tahun 2004. Belanja modal tersebut akan digunakan untuk kegiatan investasi sarana dan prasarana pembangunan, yaitu dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta belanja modal fisik lainnya.
Dalam tahun 2005 dianggarkan subsidi sebesar Rp 33,6 triliun, atau 26,3% lebih tinggi dibandingkan anggaran subsidi tahun 2004. Pemberian subsidi ini dilakukan antara lain untuk membantu masyarakat kurang mampu serta usaha kecil dan menengah, membantu BUMN yang melaksanakan tugas pelayanan umum, dan menjaga stabilitas harga komoditas tertentu. Sebagian besar anggaran subsidi dialokasikan melalui BUMN tertentu dalam bentuk harga yang lebih murah untuk barang dan jasa yang disubsidi, seperti PT Pertamina sebesar Rp 21 triliun yang diprioritaskan pada minyak tanah untuk konsumsi rumah tangga; Perum Bulog sebesar Rp 5,9 triliun untuk subsidi pangan bagi sekira 8,3 juta keluarga miskin dan menjalankan penugasan mengelola stok beras nasional; PT PLN sebesar Rp 3,4 triliun untuk subsidi listrik bagi pelanggan listrik dengan daya terpasang sampai 450 VA dan konsumsi listrik dibawah 60 kwh/bulan; beberapa BUMN di bidang pupuk sebesar Rp 1,3 triliun untuk subsidi pupuk; serta beberapa BUMN lainnya sebesar Rp 0,8 triliun untuk menjalankan penugasan pemerintah di bidang pelayanan umum. Di luar itu, disediakan subsidi sekira Rp 1,2 triliun yang disalurkan melalui perusahaan negara berbentuk lembaga keuangan untuk mengelola subsidi bunga kredit program.
Berdasarkan rencana anggaran pendapatan dan belanja negara tersebut, maka RAPBN 2005 akan mengalami defisit anggaran sekira Rp 16,9 triliun atau 0,8% dari PDB. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan sasaran defisit pada APBN 2004, yakni sebesar Rp 24,4 triliun atau 1,2% dari PDB. Meskipun besaran defisit anggaran dalam RAPBN 2005 lebih rendah dari sasaran dalam APBN 2004, akan tetapi tantangan yang dihadapi di sisi pembiayaan tidaklah semakin ringan. Pembiayaan yang perlu disediakan tidak hanya dibutuhkan untuk menutupi defisit APBN semata-mata, akan tetapi juga diperlukan untuk memenuhi kewajiban pembayaran cicilan pokok utang dalam negeri dan utang luar negeri yang akan jatuh tempo dalam tahun 2005, dalam jumlah yang makin besar. Kebutuhan pembiayaan tersebut akan diupayakan dapat dipenuhi dari sumber-sumber pembiayaan dalam dan luar negeri.
Dalam RAPBN 2005, pembiayaan anggaran yang bersumber dari dalam negeri direncanakan mencapai Rp 66,7 triliun. Pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri ini direncanakan berasal dari penggunaan saldo rekening pemerintah yang disimpan di Bank Indonesia, antara lain Rekening Dana Investasi (RDI), dan rekening non-RDI.
Sementara itu, pembiayaan anggaran yang berasal dari sumber-sumber dalam negeri lainnya direncanakan mencapai Rp 57,7 triliun. Jumlah ini berasal dari, pertama, hasil privatisasi BUMN dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan eks BPPN; dan kedua, penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Privatisasi BUMN yang akan dilakukan dalam tahun 2005 pada dasarnya merupakan kelanjutan dari program divestasi atau pelepasan saham pemerintah di BUMN pada tahun sebelumnya. Sementara itu, penjualan aset eks BPPN yang sekarang dikelola oleh PT (Persero) Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) akan diupayakan secara optimal untuk memperoleh hasil dan harga yang terbaik, sesuai dengan kondisi pasar. Dalam hal penerbitan SUN, sesuai dengan kesepakatan pemerintah dengan DPR-RI, Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam hal jangka waktu maupun denominasi mata uangnya dengan mempertimbangkan faktor kondisi pasar, biaya, pengelolaan risiko, dan kebutuhan pembiayaan.(Dadang Hermawan, wartawan Pikiran Rakyat Bandung)
Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 19 Agustus 2004