Mengapa korupsi tumbuh begitu subur?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan membasmi praktik korupsi membutuhkan waktu satu generasi. Itu berarti praktik korupsi di negeri ini sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.
Kesimpulan ini cukup beralasan mengingat hampir setiap hari media massa Ibu Kota dan daerah begitu gencar memberitakan mengenai praktik korupsi. Apalagi ada indikasi bahwa birokrat, dari pusat hingga daerah, 'tidak berih' dalam mengelola keuangan negara.
Pertanyaannya, apa yang menjadi biang keladi begitu suburnya praktik korupsi di negeri ini? Jawabannya, karena kalangan birokrat tidak serius membasmi praktik korupsi. Bahkan peran aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) juga pengacara-yang seharusnya menjadi tumpuhan harapan publik dalam memberantas praktik korupsi-justru tidak dilakukan secara optimal. Apa yang mereka lakukan tidak lebih sebagai adegan dalam sinetron semata.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa kalangan birokrat, dari pusat hingga daerah, berlomba-lomba merampok uang rakyat tanpa rasa malu dan bersalah. Ini karena tekad membasmi praktik korupsi yang dicanangkan pemerintah masih sekadar wacana.
Media massa memang memberitakan sejumlah birokrat didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Namun sayangnya, belum terdengar berapa jumlah koruptor yang ditangkap dan dikerangkeng di bui. Kondisi ini membuat masyarakat perlu terus mengawal proses pemeriksaan terhadap oknum yang disangka bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Aparat hukum lihai
Sudah bukan rahasia lagi adanya konspirasi antara birokrat dan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum begitu lihai dalam mempermainkan pasal-pasal hukum untuk meloloskan/meringankan para pelaku tindak pidana korupsi. Lebih celaka lagi, para penegak hukum bahkan lihai mengalihkan pelaku dari tindak pidana korupsi ke pelanggaran administrasi dan perdata biasa.
Dengan kata lain, uang dan kekuasaan telah memutarbalik dan memorakporandakan kebenaran dan keadilan. Akibatnya, hukum bukan lagi melindungi kaum yang lemah dan benar tetapi senjata bagi yang berkuasa. Hal ini tampak dari vonis terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang jauh lebih ringan ketimbang uang hasil rampokannya.
Mengapa praktik korupsi tumbuh begitu subur? Apakah karena korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga sulit membuktikannya, bahkan membutuhkan waktu yang lama untuk membuktikannya? Atau karena menggunakan alasan sulitnya pembuktian sebagai senjata untuk bernegosiasi dengan koruptor agar sanksi hukum diperingan atau kasus tersebut dipetieskan?
Konspirasi murahan ini sering dirasakan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat begitu pesimistis terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi. Sebab ketika birokrat yang terindikasi korupsi, dia akan berkorban habis-habisan, berapapun besarnya biaya yang harus dikeluarkan, agar bisa lolos dari jeratan hukum.
Di sisi lain, ketika mengetahui seorang birokrat melakukan tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum menjadikannya sebagai 'sumber rezeki'. Caranya, lewat media massa oknum tersebut dipanggil, ditakut-takuti, bahkan diancam harus segera ditangkap atau diproses hukum. Tetapi apakah oknum yang disangka melakukan tindak pidana korupsi itu benar-benar diproses sesuai prosedur hukum dan dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan, Wallahu'alam?
'Santapan lezat'
Apalagi ada trend baru bahwa praktik korupsi adalah tindakan yang merugikan keuangan negara, maka pelakunya tidak perlu dihukum, bahkan diperingan hukumannya asalkan sanggup mengembalikan kerugian negara. Hal ini justru menjadi 'santapan lezat' bagi aparat penegak hukum, sehingga mereka mempermainkan si pesakitan.
Dengan adanya BPK. BPKP, Ombudsman, KPK, dan Pengadilan Ad Hoc Korupsi, apakah ada jaminan praktik korupsi akan hilang? Jawabannya, ada pada hati nurani birokrat dan aparat penegak hukum itu sendiri.
Berdasarkan hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) diketahui bahwa belum ada prestasi memuaskan dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di bidang ekonomi dan penegakan hukum. Kasus korupsi ratusan juta bahkan miliaran rupiah tidak jelas penanganannya tersebar di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum anjlok ke level sangat rendah dan buruk.
Untuk itu, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung (MA) harus satu tekad dalam memberantas penyakit yang menyengsarakan rakyat tersebut. Begitu kuat sinyalemen bahwa tekad pemberantasan korupsi di kalangan aparat penegak hukum hanya lips services. Bahkan ditengarai begitu suburnya konspirasi di kalangan internal Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman.
Kalau dahulu praktik korupsi hanya terjadi di lingkungan legislatif dan eksekutif, sekarang beralih ke lembaga judikatif dan kepolisian. Kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan mendapat limpahan 'rezeki' dari lembaga eksekutif dan legislatif.
Karena itu, Kejakgung, Kepolisian, dan MA harus berani membersihkan aparatnya yang nakal sebelum membersihkan eksekutif dan legislatif. Persoalannya, apakah bentuk pengawasan intern sungguh dilaksanakan atau hanya basa-basi?
Untuk itu, menurut hemat saya, perlu diintensifkan lagi bentuk pengawasan berupa: Pertama, pengawasan intern. Harus digunakan satu bahasa yang sama dalam mengenakan sanksi kepada bawahan yang nakal.
Jangan sampai ketika ada laporan masyarakat bahwa polisi, jaksa atau hakim ada 'main' dalam menangani perkara tindak pidana korupsi, pimpinannya malah menutup-nutupi karena menganggap perkara tersebut 'basah'. Sebab bukan rahasia lagi seorang klien sudah habis sekian ratus juta bahkan miliaran rupiah untuk oknum polisi dan jaksa, tetapi tuntutan jaksa tidak seperti yang diharapkan, sehingga klien tersebut akhirnya 'nyanyi' di pengadilan.
Contoh lain, pernah terjadi dugaan kuat adanya praktik korupsi dengan bukti permulaan yang cukup. Tetapi karena polisi dan jaksa berkonspirasi dalam penerapan pasal tuntutan, maka putusan hakim pun bebas. Atau kalau pun dihukum, hukumannya sangat ringan dibandingkan dengan uang yang dikorupsi.
Kedua, pengawasan dalam bentuk eksaminasi (uji). Artinya, polisi, jaksa, bahkan hakim harus secara objektif dan profesional menilai berkas perkara (penahanan, tuntutan, dakwaan terlebih SP3). Jangan ada kesan kasus korupsi yang telah merugikan negara tetapi begitu gampang dikeluarkan SP3 terhadap pelakunya.
Ketiga, eksaminasi publik (uji publik). Masyarakat, Ombudsman, Ormas, Ornop, LSM, dan pemerhati penegakan hukum tidak cukup hanya melaporkan temuan praktik penyimpangan proses peradilan tindak pidana korupsi di media massa. Mereka bahkan harus berani melakukan eksaminasi terhadap penyidikan, dakwaan/tuntutan jaksa dan putusan pengadilan dengan cara melakukan legal reasoning dan legal argumentation agar bisa sedikit membantu mengurangi konspirasi murahan antara birokrat dan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi.
Oleh Marianus Y. Gaharpung, Ketua Biro Bantuan Hukum Universitas Surabaya
Tulisan ini disalin dari Bisnis Indonesia, 13 Juli 2006